“Aden, 14 April 2004. Pertemuan Kedua. Dia tetap saja seperti dulu.”
Tiga
kalimat terpotong itu termaktub dalam diary. Meski hanya terdiri dari
beberapa deret kata, cukuplah itu membangkitkan sejuta kenangan. Hampir
lima tahun kalimat itu saya goreskan, dan kini saya baca kembali.
Setiap kali saya membaca, selalu saja ada hikmahnya, karena
kenangan-kenangan itu memang tak ingin saya lupakan begitu saja.
Kalimat itu melukiskan Aden, dan saya mengoleksi kalimat-kalimat lain
untuk merekam setiap jengkal yang pernah saya pijak di Yaman.
Saya
pertama kali mengunjungi Aden di bulan Ramadhan 1423 Hijriah, tujuh
tahun lalu, bersama Almahdi Akbar dan Faris Baqthayyan. Keduanya adalah
kakak kelas saya di Universitas al-Ahgaff Hadhramaut, Yaman. Pria
pertama berasal dari Medan Indonesia, dan pria kedua dari Aden Yaman.
Ya, saya sengaja “meluncur” ke Aden dengan berpindah-pindah empat kali
angkutan umum sekitar 15 jam, untuk beberapa hari tinggal di rumah
kakak tingkat saya itu. Perjalanan cukup melelahkan, namun pasti sudah
saya bayar terlebih dulu dengan keinginan kuat untuk berkunjung ke kota
yang dulunya menjadi ibukota Yaman Selatan, saat negeri ini belum
bersatu.
Tak ada hal yang membuat saya tertarik dengan Aden,
kecuali profil kota ini yang menyimpan khazanah berbagai-bagai.
Terletak di ujung selatan semenanjung Arab, berbatasan langsung dengan
Laut Arab di selatan dan Laut Merah di sebelah barat, Aden memiliki
posisi yang sangat strategis. Ia menjadi pintu masuk bagi kapal laut
menuju negara-negara Arab yang berbatasan dengan Laut Merah di sebelah
barat. Sejak dibukanya Terusan Suez, Aden menjadi jalur utama ke negeri
Eropa bagi kapal-kapal dari perairan Asia.
Saya segera
membayangkan indahnya kota di bibir Yaman ini. Lebih dari itu, menyebut
namanya saja, secara subyektif yang saya bayangkan adalah
kebagusan-kebagusan. Bagaimana tidak, surga saja ada yang bernama Aden.
Entah apakah ada hubungan antara Aden “versi” surga dengan Aden
“versi” Yaman. Atau karena keindahannya, sehingga kota ini dinamakan
dengan salah satu nama surga? Pertanyan-pertanyaan itu sekian kali
terbesit dalam benak saat sejak lama saya hanya menikmati Aden di peta.
Tak disangka dan tak dinyana, saya akan mengunjungi kota yang juga
memiliki teluk populer bernama Teluk Aden ini! Begitu pikir saya saat
Aden sudah ada di depan mata.
Satu kalimat dalam diary di awal
2004 itu saya tulis ketika saya berkesempatan mengunjungi Aden untuk
kedua kalinya. Kali ini saya bersama rombongan satu tingkat di
universitas. Sebagaimana adat tahunan, setelah kami duduk di tingkat
akhir, pihak fakultas mengadakan rihlah ilmiyah alias study tour.
Selama sepuluh hari, kami “mengelilingi” Yaman. Berangkat dari
Tarim
Hadhramaut, kemudian ke Sana’a, Taiz, Hudaidah, Zabid, Aden, kemudian
berputar ke Mukalla, Hadhramaut, lalu kembali ke Tarim.
Sama
seperti pertemuan pertama dulu, tour saya ke Aden kala itu juga
membekaskan unforgettable memories. Layaknya kota pelabuhan pada
umumnya, kultur masyarakat di sini relatif lebih terbuka. Tempat-tempat
rekreasi yang menawarkan budaya Timur Tengah disajikan. Berbagai
penganan khas laut terjaja di bibir-bibir pantai. Aden dulunya dijajah
Inggris, sama seperti India kala itu. Aden dan India “hanya” dipisah
oleh perairan. Kedekatan itu makin diperpendek sebab keduanya sama-sama
menjadi wilayah kekuasaan Inggris. Konon, orang India pun bebas keluar
masuk Aden, sebagaimana penduduk Aden bebas keluar masuk India, dengan
tanpa paspor. Sekarang, “keintiman bilateral” ini menyisakan sebuah
kampung India di salah satu bilangan kota Aden. Yang hidup di sana pun
peranakan India-Aden. Tentu saja dengan paras-paras yang “khas”. Di
Aden tidak semua wanita memakai cadar.
Bahkan lebih banyak
yang membuka wajahnya. Restoran dengan penganan India banyak ditemui.
Penjualnya orang India peranakan, pengunjungnya kebanyakan juga orang
India peranakan. Perpaduan kedua budaya pun tumbuh di sini. Makin
mempercantik Aden.
Selain indah, Aden juga menyimpan rahasia.
Teman saya itu pernah mengajak kami ke sebuah tempat di Aden bernama
Kraytar, yang dalam bahasa Inggris berarti kawah merapi. Saat tiba di
daerah itu, saya memang tak menemukan kawah. Hanya bukit-bukit
menjulang berwarna coklat. Puncaknya runcing dan terjal, berbeda dengan
bukit-bukit di Hadhramaut yang memiliki permukaan datar.
“Dinamakan
kraytar, karena dulunya tempat ini berupa kawah gunung,” ujar Faris
menjelaskan. “Ketika penjajah Inggris datang ke sini, mereka menemukan
fakta, bahwa di sini dulu ada gunung merapi, kemudian membeku dan mati.
Namun menurut ilmuwan Inggris itu, suatu saat nanti gunung ini
akan aktif kembali dan akan meletus,” tambah pria yang pernah menjabat
sebagai ketua mahasiswa atau semacam senat di kampus kami. Faris lantas
menghubungkan temuan itu dengan sebuah hadits Rasulullah, bahwa
kedatangan
kiamat nanti salah satunya ditandai dengan keluarnya api dari Aden.
Yang ia maksud adalah sabda Rasulullah SAW, “Tidak akan datang hari
kiamat sampai kalian melihat sepuluh tanda: terbitnya matahari dari
tempat terbenamnya, Ya’juj dan Ma’juj, keluarnya binatang, tiga khusuf
(longsor) di timur, di barat, dan di jazirah Arab, api yang keluar dari
negeri Aden yang menggiring manusia atau mengumpulkan manusia, di malam
dan siang hari tetap bersama mereka di manapun mereka berada.” (HR.
Muslim dan at-Tirmidzi no 2183).
Dalam hadits tersebut, Rasul
memang tidak merinci jenis api yang akan keluar dari Aden. Namun, lahar
letusan gunung berapi tentu juga api karena keduanya sama-sama memiliki
unsur efek membakar. Apabila gunung berapi meletus, magma di bawah
gunung berapi meletus keluar sebagai lahar atau lava. Semuanya bersifat
api atau menghancurkan seperti aliran lava, letusan gunung berapi,
aliran lumpur, abu, kebakaran hutan, gas beracun, gelombang tsunami,
gempa bumi. Letusan dahsyat itu akan muncul di Aden suatu saat nanti.
Dan, dunia akan centang perenang menjelang garis finish kiamat.
Allahu
Akbar! Petang hari itu kami berada di kawasan Kraytar Aden. Awan
menggelayut di pucuk-pucuk bukit. Di sebuah permukaan bumi yang tidak
rata, cenderung bertekstur miring, dan di balik kesunyiannya menyimpan
mukjizat ilmiah sabda Rasulullah! Subhanallah, di sinikah salah satu
tanda hari akhir itu? Di bawah tanah tempat kami berpijak inikah
tersimpan kekuatan dahsyat yang kelak akan menggiring manusia ke Syam,
seperti di-dawuh-kan Rasululullah? Amantu billahi wa birasulihi…
Kekaguman
saya terhadap fakta dan “misteri” Aden makin bertambah saat setahun
lalu, beberapa media, termasuk situs ini (www.hadhramaut.info), selama
beberapa hari merilis kabar bahwa salah satu dari enam pusat gunung api
di gunung Thair di Teluk Yaman di Laut Merah kembali aktif dan
mengeluarkan letusan.
Dalam studinya, Aden, Dimensi Historis dan
Peradaban, Ir. Ma’ruf Okbah menyatakan, “Gunung api Aden adalah salah
satu dari enam pusat gunung api yang terletak di satu garis gunung api
yang memanjang dari Bab al-Mandeb di sisi selatan laut merah hingga
kota Aden.”
Gambaran ilmiah sangat sesuai dengan ungkapan Rasul
dalam hadith tersebut di atas. Redaksi hadits itu menyebut “qa’r adn”
yang artinya lobang, rongga, ruang, atau kawah. Ini terlihat jelas
melalui foto luar angkasa. Dari pesawat terbang, penjajah Inggris
berhasil memotret kota-kota di udara. Ternyata mereka memang menemukan
kota Aden berada di atas kawah besar.
Karena itulah Inggris
kemudian menyebutnya Kraytar. Delegasi kerajaan Inggris dengan pimpinan
Prof. I.G. Gass pada 1964 meneliti kota Aden. Mengawali hasil
penelitian, I.G. Gass menyatakan, “Gunung-gunung api yang ada sekarang
hanya petasan dibandingkan dengan gunung api Aden.” Perbandingan ini
dilihat dari struktur konstruksi antara gunung-gunung api
itu
dengan gunung api Aden. Di Majalah Reader Digest tahun 1979 dimuat
artikel ilmiah yang menyatakan bahwa gunung api Krakatau (Krakatau
Volcano) di selat Sunda Indonesia yang meletus tahun 1883 dianggap
sebagai gunung terbesar yang pernah dikenal oleh manusia. Letusannya
menewaskan 36 ribu orang, suara letusannya terdengar hingga radius 5000
Km. Abu dan asap menutupi atmosfir bumi hingga satu minggu dan sejumlah
pulau lenyap. Para ahli memperkirakan kekuatan letusannya ratusan kali
lipat bom hidrogen.
Namun, “Gunung api Krakatau hanya seperti
petasan jika dibandingkan dengan gunung api Aden,” penulis itu
mengakhiri artikel ilmiahnya. Subhanallah…Jika letusan-letusan itu kini
sudah mulai ditampakkan Allah, bagaimanakah pertemuan ketiga kita
dengan Aden? Akankah ia selalu seperti dulu?
Oleh: Faris Khoirul Anam.
Alumni Fakultas Syari’ah Universitas al-Ahgaff Yaman 2003/2004, dosen
Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya (2008-sekarang).