Bahasa Indonesia dan Jawa Pengaruhi Bahasa Hadhramaut
“Susah-susah kita ngapalin bahasa Arabnya sarung itu izar, eh di sini yang dipakai ‘sarung’ juga,” kelakar teman saya dari Lombok, saat mendapati sebagian kata dalam bahasa Indonesia, ternyata dipakai oleh sebagian orang Hadhramaut.
Selain kata ‘sarung’, bahasa Indonesia yang dipakai dalam bahasa sehari-hari oleh hadhrami (orang Hadhramaut) adalah kata ‘sambal’, ‘sandal’, ‘kerupuk’, ‘plafon’, ‘selimut’, dan sebagainya. Bahkan untuk kata terakhir (selimut), tidak hanya bahasa Indoenesia yang mereka pakai, tapi juga bahasa Jawa, yakni ‘kemul’. Hanya saja, barangkali karena sulit melafalkan dengan tepat, mereka mengatakan ‘qenbul’. Bila selimutnya banyak, mereka mengatakan ‘qanabil’. Padahal menurut bahasa fushah (yang benar), ‘qanabil’ adalah bentuk plural dari ‘qunbulah’ yang berarti ‘bom’. Sangat jauh makna dan kegunaannya dengan selimut.
Bila orang Hadhramaut mengajak berfoto bersama, biasanya mereka mengatakan, “Yallah, natagambar (ayo, kita berfoto)”. Mereka menyebut ‘kita berfoto’ dengan istilah ‘natagambar’. ‘Na’ berarti kita, sedang ‘gambar’; yang dimaksud adalah bahasa kita, yakni foto.
Fakta bahasa serapan dari bahasa Indonesia dan Jawa ini menjadi dalil bahwa ikatan historis Hadhramaut dan Indonesia memang telah berlangsung lama. Dengan kata lain, kata-kata dari bahasa Indonesia atau Jawa itu tidak dipakai barusan saja, yakni saat pelajar Indonesia mulai membanjiri Hadhramaut sejak 1995, namun memang sudah dipakai sejak baheula.
Setidaknya ada dua bukti untuk menjelaskan hal itu. Pertama, ada kata dalam bahasa Jawa yang dipakai orang Hadhramaut, yang justru telah dilupakan oleh sebagian orang Jawa sendiri. Kata itu adalah ‘sengkeh’. Syaikh saya di universitas, saat menyampaikan perkuliahan, sering menyebut kata itu. Ketika saya tanyakan pada teman-teman dari Yaman –paling tidak setengah tahun kami harus ‘belajar’ bahasa-bahasa prokem Hadhramaut untuk memahami ucapan dosen-, mereka justru balik bertanya, “Bukannya itu bahasa kalian (orang Jawa, red)?”
Setelah menggali informasi dari beberapa teman Indonesia, ternyata kata ‘sengkeh’ memang berasal dari bahasa Jawa agak kuno dan kini jarang dipakai. Di Hadhramaut, kata itu justru masih diucapkan sehari-hari. ‘Sengkeh’ sendiri artinya ngeyel alias sulit diatur.
Kedua, pengguna kata-kata serapan dari Bahasa Indonesia dan Jawa itu ternyata bukan hanya masyarakat perkotaan. Orang-orang badui (Arab udik) pun menggunakan kata-kata itu. Hal ini mendalilkan bahwa penyerapan bahasa itu telah terjadi sekian lama dan meluas, karena pelajar Indonesia yang banyak datang ke Hadhramaut, bermukim di daerah perkotaan, bukan di pedalaman.
Saya punya pengalaman unik ketika selama hampir dua bulan tinggal di sebuah desa bernama Khuraibah di wadi (lembah) Dou’an. Daerah ini masuk kategori Hadhramaut ad-Dakhil alias pedalaman Hadhramaut. Saya dan beberapa teman berada di sana untuk mengisi liburan musim panas dengan praktik mengajar anak-anak usia Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD).
Selama dua hari kami menempuh perjalanan dari Tarim untuk sampai ke Khuraibah. Bila memakai mobil pribadi mungkin tidak selama itu kami harus menempuhnya. Namun karena belum terdapat angkutan umum dan kondisi jalan kebanyakan makadam (belum diaspal), kami harus pindah dari mobil satu ke mobil yang lain. Terkadang menumpang mobil yang mengangkut barang dagangan. Terkadang menumpang mobil yang mengangkut hewan ternak. Terkadang juga harus berjalan kaki untuk menunggu mobil tumpangan. Wal hasil, desa yang kami datangi benar-benar di pelosok dan belum dimasuki aliran listrik.
Selama tinggal di daerah pedalaman inilah, kami dapati ternyata kata ‘selimut’, ‘qenbul’, ‘sarung’, juga dipergunakan masyarakat setempat. Kami juga memiliki pengalaman lucu terkait bahasa serapan ini. Selama di sana, kami tinggal di asrama ma’had atau pesantren yang ada di atas masjid yang berdiri di lereng bukit. Karena belum ada listrik, kami memakai petromak. Pada suatu malam, kaos petromak kami jatuh dan otomatis tak bisa lagi digunakan. Akhirnya, saya dan teman asal Lampung bermaksud membeli barang itu di pasar desa. Tapi, teman saya berpikir, “Apa bahasa Arabnya kaos itu?” Maklum, kaos di Indonesia kini jadi “barang langka” karena sudah jarang orang yang memakai petromak, dan saat di pesantren di Indonesia dulu, kami tidak pernah mempelajari maknanya dalam bahasa Arab.
Akhirnya kami putuskan, kita berangkat saja ke pasar. Urusan apa bahasa Arabnya ‘kaos’, kita terangkan saja sifat-sifatnya. Nanti orangnya juga bakal ngeh. Sesampainya di salah satu toko yang terletak di dasar lembah, kami sampaikan ‘isi hati’ kami. Dalam bahasa Arab, kami jelaskan, “Pak, kami ingin membeli sebuah barang, warnanya putih, nempel di petromak, dari benda itu keluar cahaya, namun jika ia jatuh dan rusak, cahayanya mati.”
Setelah menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi seperti itu, eh, si penjual dengan ringan menyimpulkan, “Oh, batasytari kaos (Oh, kamu mau beli kaos).” Lah, ia menyebut ‘kaos’ dalam bahasa Arab itu juga ‘kaos’.
Menurut hemat saya, hadharim memakai kata-kata bahasa Indonesia dan Jawa itu, salah satunya, karena hubungan dagang yang sangat lama. Pasalnya, kata-kata serapan itu rata-rata adalah komoditi perdagangan. Sejak ratusan tahun lalu, pedagang dari Hadhramaut datang ke Nusantara untuk berdagang, dan kembali ke negerinya dengan membawa barang-barang dari Indonesia. Secara turun temurun, kata-kata itu digunakan, tidak hanya di daerah perkotaan, namun juga oleh orang Hadhramaut pedalaman.
Fenomena ini menunjukkan timbal balik dari proses akulturasi budaya. Karena selain bahasa Indonesia diserap dan dipakai oleh orang Hadhramaut, banyak sekali bahasa Indonesia (Melayu) yang merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Sebagai misal ‘khatulistiwa’. Kata ini berasal dari bahasa Arab, yakni “khat al-istiwa” yang berarti garis lurus. Kepanjangan DPR, yakni Dewan Perwakilan Rakyat, semua unsur katanya berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘diwan’, ‘wakalah’ (perwakilan), dan ‘ra’iyyah’ (rakyat). Dari kepanjangan DPRD pun, kata ‘daerah’ juga berasal dari bahasa Arab, yakni ‘da-irah’ (daerah atau distrik). Atau sebut saja MPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis berasal dari bahasa Arab, demikian pula dengan permusyawaratan (dari kata ’musyawarah’)
Dalam proses akulturasi budaya bahasa inilah, kata-kata dari bahasa Indonesia dan Jawa melengkapi khazanah bahasa ‘amiyah di provinsi terbesar di Yaman ini. Di Arab, ada dua bahasa yang berlaku, yakni fushah dan ‘amiyah. Fushah adalah bahasa yang baik dan benar, sesuai dengan kaidah dan grammar Arab (nahwu). Sedang ‘amiyah adalah bahasa prokem alias bahasa pasaran.
Setidaknya, ada dua penyebab munculnya bahasa pasaran. Pertama, dari bahasa serapan. Kedua, cepatnya pengucapan. Kalimat yang asalnya fushah, bila diucapkan secara cepat, akhirnya yang terdengar hanya beberapa suku kata. Misalnya kata “lesy”, asalnya adalah “li ayyi syai-in”. Keduanya berarti sama, yakni ‘mengapa’, namun pelafalannya berbeda karena “disingkat”. Contoh lain adalah “ba aqra”, berasal dari “baghaitu aqra” (saya akan membaca); “menderi isy”, berasal dari “ma ana dari isy” (saya tidak tahu apa lagi); dan lain sebagainya.
Selain itu, bahasa prokem juga terbentuk karena sebagian penduduk di suatu daerah di Arab tidak bisa mengucapkan huruf tertentu. Sebagai contoh, orang Aden Yaman tidak bisa menyebutkan huruf ‘jim’ (J) dan menggantikannya dengan ‘gaf’ (G). Sedangkan orang Hadhramaut, melafalkan kata ‘jim’ (J) dengan ‘ya’ (Y). Ya’juj wa ma’juj menurut orang Aden adalah ‘Ya’gug wa ma’gug’, sedang menurut Hadhrami, ‘Ya’yuy wa ma’yuy’.
Oleh: Faris Khoirul Anam
Bersambung...