http://www.english.hadhramaut.info Pelajaran dari Yaman (Bagian I) [The Source: indo.hadhramaut.info - 15/2/2009] Kawah Aden Jadi Tanda Kiamat
“Aden, 14 April 2004. Pertemuan Kedua. Dia tetap saja seperti dulu.”



Tiga kalimat terpotong itu termaktub dalam diary. Meski hanya terdiri dari beberapa deret kata, cukuplah itu membangkitkan sejuta kenangan. Hampir lima tahun kalimat itu saya goreskan, dan kini saya baca kembali. Setiap kali saya membaca, selalu saja ada hikmahnya, karena kenangan-kenangan itu memang tak ingin saya lupakan begitu saja. Kalimat itu melukiskan Aden, dan saya mengoleksi kalimat-kalimat lain untuk merekam setiap jengkal yang pernah saya pijak di Yaman.

Saya pertama kali mengunjungi Aden di bulan Ramadhan 1423 Hijriah, tujuh tahun lalu, bersama Almahdi Akbar dan Faris Baqthayyan. Keduanya adalah kakak kelas saya di Universitas al-Ahgaff Hadhramaut, Yaman. Pria pertama berasal dari Medan Indonesia, dan pria kedua dari Aden Yaman. Ya, saya sengaja “meluncur” ke Aden dengan berpindah-pindah empat kali angkutan umum sekitar 15 jam, untuk beberapa hari tinggal di rumah kakak tingkat saya itu. Perjalanan cukup melelahkan, namun pasti sudah saya bayar terlebih dulu dengan keinginan kuat untuk berkunjung ke kota yang dulunya menjadi ibukota Yaman Selatan, saat negeri ini belum bersatu.

Tak ada hal yang membuat saya tertarik dengan Aden, kecuali profil kota ini yang menyimpan khazanah berbagai-bagai. Terletak di ujung selatan semenanjung Arab, berbatasan langsung dengan Laut Arab di selatan dan Laut Merah di sebelah barat, Aden memiliki posisi yang sangat strategis. Ia menjadi pintu masuk bagi kapal laut menuju negara-negara Arab yang berbatasan dengan Laut Merah di sebelah barat. Sejak dibukanya Terusan Suez, Aden menjadi jalur utama ke negeri Eropa bagi kapal-kapal dari perairan Asia.

Saya segera membayangkan indahnya kota di bibir Yaman ini. Lebih dari itu, menyebut namanya saja, secara subyektif yang saya bayangkan adalah kebagusan-kebagusan. Bagaimana tidak, surga saja ada yang bernama Aden. Entah apakah ada hubungan antara Aden “versi” surga dengan Aden “versi” Yaman. Atau karena keindahannya, sehingga kota ini dinamakan dengan salah satu nama surga? Pertanyan-pertanyaan itu sekian kali terbesit dalam benak saat sejak lama saya hanya menikmati Aden di peta. Tak disangka dan tak dinyana, saya akan mengunjungi kota yang juga memiliki teluk populer bernama Teluk Aden ini! Begitu pikir saya saat Aden sudah ada di depan mata.

Satu kalimat dalam diary di awal 2004 itu saya tulis ketika saya berkesempatan mengunjungi Aden untuk kedua kalinya. Kali ini saya bersama rombongan satu tingkat di universitas. Sebagaimana adat tahunan, setelah kami duduk di tingkat akhir, pihak fakultas mengadakan rihlah ilmiyah alias study tour. Selama sepuluh hari, kami “mengelilingi” Yaman. Berangkat dari Tarim Hadhramaut, kemudian ke Sana’a, Taiz, Hudaidah, Zabid, Aden, kemudian berputar ke
Mukalla, Hadhramaut, lalu kembali ke Tarim.

Sama seperti pertemuan pertama dulu, tour saya ke Aden kala itu juga membekaskan unforgettable memories. Layaknya kota pelabuhan pada umumnya, kultur masyarakat di sini relatif lebih terbuka. Tempat-tempat rekreasi yang menawarkan budaya Timur Tengah disajikan. Berbagai penganan khas laut terjaja di bibir-bibir pantai. Aden dulunya dijajah Inggris, sama seperti India kala itu. Aden dan India “hanya” dipisah oleh perairan. Kedekatan itu makin diperpendek sebab keduanya sama-sama menjadi wilayah kekuasaan Inggris. Konon, orang India pun bebas keluar masuk Aden, sebagaimana penduduk Aden bebas keluar masuk India, dengan tanpa paspor. Sekarang,  “keintiman bilateral” ini menyisakan sebuah kampung India di salah satu bilangan kota Aden. Yang hidup di sana pun peranakan India-Aden. Tentu saja dengan paras-paras yang “khas”. Di Aden tidak semua wanita memakai cadar. Bahkan lebih banyak yang membuka wajahnya. Restoran dengan penganan India banyak ditemui. Penjualnya orang India peranakan, pengunjungnya kebanyakan juga orang India peranakan. Perpaduan kedua budaya pun tumbuh di sini. Makin mempercantik Aden.

Selain indah, Aden juga menyimpan rahasia. Teman saya itu pernah mengajak kami ke sebuah tempat di Aden bernama Kraytar, yang dalam bahasa Inggris berarti kawah merapi. Saat tiba di daerah itu, saya memang tak menemukan kawah. Hanya bukit-bukit menjulang berwarna coklat. Puncaknya runcing dan terjal, berbeda dengan bukit-bukit di Hadhramaut yang memiliki permukaan datar. “Dinamakan kraytar, karena dulunya tempat ini berupa kawah gunung,” ujar Faris menjelaskan. “Ketika penjajah Inggris datang ke sini, mereka menemukan fakta, bahwa di sini dulu ada gunung merapi, kemudian membeku dan mati. Namun menurut ilmuwan Inggris itu, suatu saat nanti gunung ini akan aktif kembali dan akan meletus,” tambah pria yang pernah menjabat sebagai ketua mahasiswa atau semacam senat di kampus kami.

Faris lantas menghubungkan temuan itu dengan sebuah hadits Rasulullah, bahwa kedatangan kiamat nanti salah satunya ditandai dengan keluarnya api dari Aden. Yang ia maksud adalah sabda Rasulullah SAW, “Tidak akan datang hari kiamat sampai kalian melihat sepuluh tanda: terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, Ya’juj dan Ma’juj, keluarnya binatang, tiga khusuf (longsor) di timur, di barat, dan di jazirah Arab, api yang keluar dari negeri Aden yang menggiring manusia atau mengumpulkan manusia, di malam dan siang hari tetap bersama mereka di manapun mereka berada.” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi no 2183).

Dalam hadits tersebut, Rasul memang tidak merinci jenis api yang akan keluar dari Aden. Namun, lahar letusan gunung berapi tentu juga api karena keduanya sama-sama memiliki unsur
efek membakar. Apabila gunung berapi meletus, magma di bawah gunung berapi meletus keluar sebagai lahar atau lava. Semuanya bersifat api atau menghancurkan seperti aliran lava, letusan gunung berapi, aliran lumpur, abu, kebakaran hutan, gas beracun, gelombang tsunami, gempa bumi. Letusan dahsyat itu akan muncul di Aden suatu saat nanti. Dan, dunia akan centang perenang menjelang garis finish kiamat.

Allahu Akbar! Petang hari itu kami berada di kawasan Kraytar Aden. Awan menggelayut di pucuk-pucuk bukit. Di sebuah permukaan bumi yang tidak rata, cenderung bertekstur miring, dan di balik kesunyiannya menyimpan mukjizat ilmiah sabda Rasulullah! Subhanallah, di sinikah salah satu tanda hari akhir itu? Di bawah tanah tempat kami berpijak inikah tersimpan kekuatan dahsyat yang kelak akan menggiring manusia ke Syam, seperti di-dawuh-kan Rasululullah? Amantu billahi wa birasulihi…

Kekaguman saya terhadap fakta dan “misteri” Aden makin bertambah saat setahun lalu, beberapa media, termasuk situs ini (www.hadhramaut.info), selama beberapa hari merilis kabar bahwa salah satu dari enam pusat gunung api di gunung Thair di Teluk Yaman di Laut Merah kembali aktif dan mengeluarkan letusan.

Dalam studinya, Aden, Dimensi Historis dan Peradaban, Ir. Ma’ruf Okbah menyatakan, “Gunung api Aden adalah salah satu dari enam pusat gunung api yang terletak di satu garis gunung api yang memanjang dari Bab al-Mandeb di sisi selatan laut merah hingga kota Aden.”

Gambaran ilmiah sangat sesuai dengan ungkapan Rasul dalam hadith tersebut di atas. Redaksi
hadits itu menyebut “qa’r adn” yang artinya lobang, rongga, ruang, atau kawah. Ini terlihat jelas melalui foto luar angkasa. Dari pesawat terbang, penjajah Inggris berhasil memotret kota-kota di udara. Ternyata mereka memang menemukan kota Aden berada di atas kawah besar. Karena itulah Inggris kemudian menyebutnya Kraytar.

Delegasi kerajaan Inggris dengan pimpinan Prof. I.G. Gass pada 1964 meneliti kota Aden. Mengawali hasil penelitian, I.G. Gass menyatakan, “Gunung-gunung api yang ada sekarang hanya petasan dibandingkan dengan gunung api Aden.” Perbandingan ini dilihat dari struktur konstruksi antara gunung-gunung api itu dengan gunung api Aden. Di Majalah Reader Digest tahun 1979 dimuat artikel ilmiah yang menyatakan bahwa gunung api Krakatau (Krakatau Volcano) di selat Sunda Indonesia yang meletus tahun 1883 dianggap sebagai gunung terbesar yang pernah dikenal oleh manusia. Letusannya menewaskan 36 ribu orang, suara letusannya terdengar hingga radius 5000 Km. Abu dan asap menutupi atmosfir bumi hingga satu minggu dan sejumlah pulau lenyap. Para ahli memperkirakan kekuatan letusannya ratusan kali lipat bom hidrogen.Namun, “Gunung api Krakatau  hanya seperti petasan jika dibandingkan dengan gunung api Aden,” penulis itu mengakhiri artikel ilmiahnya. Subhanallah…Jika letusan-letusan itu kini sudah mulai ditampakkan Allah, bagaimanakah pertemuan ketiga kita dengan Aden? Akankah ia selalu seperti dulu?

Oleh: Faris Khoirul Anam. Alumni Fakultas Syari’ah Universitas al-Ahgaff Yaman 2003/2004, dosen Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya (2008-sekarang).

Bersambung...