Mengenang Tarim di Awal Millenium Ketiga
Seandainya dunia ini ada ujungnya, mungkin Tarim-lah ujung itu. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di kota ini Pebruari 2000, saya merasa amat terasing. Jalan banyak yang belum diaspal. Tak ada tempat untuk “refreshing”. Akses informasi pun relatif terbatas.
Tarim adalah sebuah kota kecil di Provinsi Hadhramaut. Besarnya tidak melebihi ibukota kecamatan di Indonesia. Dalam struktur pemerintahan di Hadhramaut, Tarim merupakan salah satu mudiriyah (distrik) di antara lima mudiriyah yang ada di provinsi itu.
Di awal tahun 2000, alias saat dunia ini sudah memasuki millenium ketiga, masih belum ada internet di kota ini. Kami mendapatkan kabar tentang tanah air dari download-an berita yang dibendel dan dikirim oleh pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Sana’a, ibukota Yaman. Bendelan-bendelan berita itu cukuplah untuk mengobati kerinduan pada tanah air, meski beritanya basi, karena yang kami baca adalah berita satu bulan sebelumnya.
Selain lewat kiriman berita dari kedutaan itu, kami memperoleh kabar tanah air dari radio BBC siaran Indonesia. Pukul empat sore, selama setengah jam, kami “istiqamah” menyimaknya di asrama kampus. Bila Anda pernah lihat film dokumenter di jaman Bung Karno, mungkin seperti itulah suasana saat kami mendengarkan berita radio kala itu. Satu radio, dikelilingi sekitar delapan sampai sepuluh pendengar.
Baru kemudian di tahun 2000, internet mulai masuk ke Tarim. Warung-warung internet mulai bertebaran, meski pada mulanya harga aksesnya relatif mahal. Sekitar satu tahun kemudian, setelah warnet makin banyak, harga penggunaan makin murah. Ada satu kebijakan menarik untuk usaha-usaha yang menyediakan jasa internet ini di Yaman, di mana pengelola warnet diwajibkan menghadapkan layar komputer ke bagian luar, alias tidak menghadap ke tembok. Hal ini untuk mengantisipasi penyalahgunaan internet untuk hal-hal yang tidak dibenarkan. Selain itu, biasanya di dinding-dinding warnet ditempeli peringatan-peringatan untuk tidak membuka situs-situs porno, dan tak jarang dengan disertai dalil-dalil. Wal hasil, suasana warnet seperti di dalam mushalla saja.
Bila pemerintah Indonesia melalui Depkominfo baru mengeluarkan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk memblokir situs porno pada bulan April 2008, di Yaman pemblokiran itu sudah ada sejak awal tahun 2000. Setiap alamat atau contain situs yang mengandung kata-kata yang menjurus ke hal-hal porno, otomatis akan terkena blok. Jadi, bila mengeklik menu yang sebenarnya tidak mengandung pornografi “seratus persen”, menu tersebut tidak akan bisa diakses. Misalnya di www.detik.com, di situ terdapat menu “berita hot”. Karena kata “hot” menjurus ke arah pornografi, menu tersebut tidak akan bisa dibuka.
Dus, meski sudah memasuki millenium ketiga, kami benar-benar merasakan “kehidupan ukhrawi” yang nyata di sini. Kaum wanita tidak berkeliaran di jalan. Kalaupun harus keluar rumah, semuanya bercadar. Di pasar, penjual dan pembeli semua laki-laki, kecuali di suq al-nisa (pasar wanita). Di sana, dijual berbagai kebutuhan wanita. Tidak ada pemisah semisal pagar antara pasar umum dengan pasar wanita. Dengan kata lain, semua orang sebenarnya bisa masuk ke suq al-nisa itu, tapi orang lelaki akan merasa malu sendiri bila masuk ke sana. Karena baik pengunjung dan komoditi yang dijual semua serba wanita.
Di Tarim, juga di seluruh Propinsi Hadhramaut, tidak ada mall atau super market. Bahkan sepengetahuan kami, di seluruh daratan Yaman waktu itu baru ada satu mall, yakni di ibukota Yaman, Sana’a. Itupun “perkawinan” atau kerjasama antara perusahaan Matahari Indonesia dan perusahaan Shumaila Yaman. Mall yang berdiri tahun 2001 itu diberi nama Shumaila Hari. Shumaila dari Yaman, Hari dari Indonesia. Menurut pengetahuan kami juga, di Yaman juga hanya ada satu bioskop, yakni di bilangan Haddah, Sana’a Yaman. Pendek kalam, istilah sebagian teman, kalau di Indonesia “mudah sekali” mendapatkan peluang maksiat, di Yaman, maksiat harus “dicari” dulu dengan susah payah.
Perbedaan lain, dulu kami di pesantren merasakan suasana islami saat berada di dalam lokasi pondok, namun begitu keluar gerbang, kondisi sudah berbeda. Namun di Tarim, luar dan dalam lokasi kampus, semua sama. Gerbang asrama kami memang terbuka dan baru ditutup pukul 10.00 malam, namun kami akan keluar ke mana dan mau apa? Untuk membolos kuliah pun kami harus pikir-pikir, di “daerah di ujung” dunia seperti ini, agenda membolos harus diisi dengan apa? Paling-paling di kamar saja, karena tak ada mall untuk nongkrong. Tak ada tempat rekreasi untuk janjian sama mahasiswi sekampus. Duh, impossible. Baik siswi maupun mahasiswi, semua harus menggunakan jasa antar jemput. Dunia mereka ya asrama dan kampus. Antara asrama dan kampus ya mobil atau bus jemputan itu. So, tak ada siswi-mahasiswi yang berkeliaran di jalanan atau pasar.
Bila dulu kami takut kepergok oleh keamanan pondok saat melanggar peraturan, di sini, seluruh penduduk kota seakan menjadi pengawas kami. Masuk warung bagi thalibul ‘ilmu (mahasiswa, pelajar, atau santri) merupakan aib atau perbuatan tercela. Apalagi antara Maghrib dan Isya. Kami sering mendapatkan nasihat dari seorang sopir taksi. Saat booming album Haddad Alwi Way of Live yang duet dengan Padi, kami membawa kaset itu ke Hadhramaut. Saat naik taksi, kami minta dia untuk memutar kaset kami itu. Eh, dia marah bukan main, karena meski baitnya islami, namun musiknya menurutnya sudah nge-rock. Dan dia nggak setuju.
Bila naik angkutan antara Tarim dan Seiyun, sebuah kota berjarak 25 Km di sebelah selatan Tarim, saat memasuki waktu shalat, sang sopir dengan sendirinya akan membelokkan kendaraannya ke masjid. Semua penumpang turun dan shalat. Masya Allah, benar-benar lingkungan kondusif untuk menuntut ilmu sekaligus menerapkannya dalam amal.
Tak heran, saat salah seorang dari Hadhramaut yang menjadi qadhi (hakim) di Mesir ditanya tentang bagaimana kalian (orang Hadhramaut) bisa menghafal ilmu dengan baik, sang qadhi itu menjawab, “Rabathna al-‘ilma bi al-‘amal (kami mengikat ilmu dengan amal)”.
Pelajar dan mahasiswa Indonesia yang pernah mendapatkan kesempatan belajar di negeri hikmah ini, tentu amat berbahagia mendapatkan kesempatan itu. Rata-rata mereka mengenyam pendidikan di Hadhramaut selama empat tahun. Menurut Imam Nawawi, “Man ‘asya ardhan arba’ sanawat nusiba ilaiha (barang siapa yang tinggal di suatu daerah selama empat tahun, berhak dinisbatkan pada daerah itu).” Meski nisbat al-Tarimi atau al-Hadhrami tak harus disematkan di belakang nama kami, namun yang terpenting semoga barakah dan kebaikannya selalu mengiringi sepanjang hayat.
Wa lau kuntu Indunisiyan maulidan
Wa Jawiyan nasaban
Wa lakinni Tarimiyan taratan ukhra
Wa Hadhramiyan tsaqafatan wa ‘ilma
Walaupun aku terlahir di Indonesia
Dan sebagai orang Jawa secara nasab
Namun aku adalah seorang Tarim di lain waktu
Dan orang Hadhramaut dalam budaya dan ilmu
Semoga saja...
Bersambung...