Dari sekian banyak asumsi para sejarawan yang telah melakukan riset
terhadap sejarah Hadlramaut pada pertengahan masa kejayaan Islam kita
mampu mengambil kesimpulan bahwa kebodohan yang dimaksudkan dalam banyak litelatur sejarah tersebut
bukanlah kebodohan dengan makna yang umum, melainkan kebodohan yang
terbentuk dalam minimnya perhatian warga Hadlramaut pada sejarah
daerahnya.
Hal itu disebabkan karena Hadlramaut sendiri merupakan daerah yang banynak dihuni banyak
bangsa dan kabilah, sehingga hal tersebut secara tidak langsung menyebabkan daerah tesebut menjadi sejenis persinggahan oleh para kabilah yang melakukan ekspedisi dagang dan lain sebagainya, baik karena dorongan alamiyah atau karena tujuan lain, seperti politik dan penguasaan.
Hal inilah yang melahirkan terbatasnya kecenderungan pemikiran warga untuk melakukan pembukuan sejarah dan keengganan untuk mengenang sejarah itu sendiri. Terlebih ketika ada motivasi lain yang mendorong warga untuk melakukan itu, seperti sejarah Abadliyyah, misalnya, yang terlanjur dikenang oleh khalayak muslim dengan sekian banyak invasi yang mereka lakukan dengan tujuan penaklukan, baik di dalam maupun luar daerah. Hal ini juga didukung dengan teori setiap sekte dalam melakukan pembukuan sejarah mereka, terlebih Khawarij ( induk dari golongan Abadliyyah ) yang secara umum, kurang menyukai pembukuan
sejarah sekte mereka. Hal ini diduga kuat sebagai upaya preventif mereka untuk melindungi rahasia dari pendengaran musuh mereka.
Beberapa permasalahan inilah yang lantas menyebabkan raibnya kodifikasi sejarah daerah Hadlramaut dan kodifikasi sejarah yang dilakukan oleh para warga hanya berkisar pada pembukuan sejarah koloni atau keluarga mereka sendiri tanpa menyangkut hal-hal lain kecuali yang mendukung fanatisme patriarkhi terhadapa keluarga, kabilah mereka masing-masing lengkap dengan keterlibatan individu terhadap sejarah-sejarah itu. Hal yang banyak menuai kritik keras dalam system pembukuan sejarah kontemporer.
Bukti-bukti yang mendukung asumsi ini adalah banyak terdapatnya buku-buku biografi para wali yang berbentuk manaqib atau pembukuan silsilah nasab tertentu. Buku-buku seperti ini, meskipun ahirnya sampai di tangan kita, tidak pernah mampu memotret sejarah Hadlramaut secara obyektif. Hal ini antara lain ditimbulakan karena dalam menulis biografi tersebut para penulis tidak hanya menggunakan referensi tertulis, namun juga berdasarkan cerita yang sampai pada mereka dengan system oral. Al Khotib, misalnya, dalam menulis bukunya, Al Jauhar As Safaf menggunakan referensi yang tidak diketahui judulnya yang merupakan karangan Hasan Ali bin Alawi ( Wafat 1321 M ), atau Khird, pengarang Ghuror yang dalam menulis bukunya banyak mengambil materi dari Al-yaqut al Tsamin, yang tidak diketahui nama pengarangnya kecuali hanya tertulis Al Tarimiy.
Demikianlah beberapa aktifitas pembukuan biografi yang oleh banyak pelakunya dianggap sebagai sejarah Hadlramaut lengkap dengan beberapa kisah yang lebuh mengarah pada fanatisme yang terbentuk dalam beberapa kisah-kisah keistimewaan, karomah, dan keutamaan lainnya yang lebih condong pada kecenderungan sufistik yang ditimbulkan oleh pendudukan dinasti Ayyubiyah terhadap semenanjunga Arabia kala itu, Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi para sejarawan yang melakukan riset terhadap sejarah Hadlramaut untuk menelaah ulang beberapa buku tersebut, sekaligus melakukan kritik konstruktif sebagai upaya pembersihan sejarah dari beberapa permasalahan fanatisme keluarga, golongan dan penjelasan yang berlebihan terhadap dinamika social, berpikir, dan ilmiyah. Hal inilah yang sampai pada abad ke sembilan dan sepuluh hijriyah masih ramai mewarnai system pembukuan sejarah sehingga hal-hal semacam ini merupakan gejala yang akut terhadap peran para penulis Hadlramaut, atau Yaman pada umumnya, dalam dinamika penulisan sejarah. Wallahu a'lam ( Nawafalacha )