“Koloni Indonesia” di Hadhramaut
oleh: Faris Khoirul Anam
Prof LQC van den Berg, Islamolog Belanda mengadakan riset pada 1884-1886 tentang ‘Hadhramaut dan Koloni Arab di Nusantara’. Dia secara khusus menyorot saat-saat banyaknya imigran Hadhramaut berdatangan. Ahli hukum Belanda itu berpendapat, para keturunan Arab di Indonesia dapat cepat membaur dengan pribumi. Sedang menurut pihak Belanda, keberadaan orang Hadhramaut harus diawasi secara ketat, karena sejumlah pemberontakan melawan kolonial saat itu, banyak dipimpin dan digerakkan oleh keturunan Arab. Misalnya Sayyid al-Aidrus, saudagar kaya yang banyak mensuplai senjata pejuang Perang Padri di Aceh.
Menurut van den Berg, sebelum 1859, tidak tersedia data yang jelas mengenai jumlah orang Arab yang bermukim di Hindia Belanda. Dalam catatan statistik resmi, mereka dirancukan dengan orang Banggali, India, dan orang asing beragama Islam. Sejak 1870, dengan dimulainya pelayaran kapal uap, kedatangan para imigran Hadhramaut makin meningkat. Van den Berg menyimpulkan, mereka mulai datang secara masal ke Hindia Belanda pada tahun-tahun terakhir abad ke-18.
Perhentian pertama mereka adalah Aceh. Dari sana mereka lebih memilih ke Palembang dan Pontianak. Keturunan Arab mulai banyak menetap di Pulau Jawa pada 1820, sedang di Indonesia timur pada 1870. Mereka, kata van den Berg, umumnya datang dari Hadhramaut tanpa istri. Di tanah Nusantara, mereka kemudian menikahi wanita-wanita setempat. Karena itulah mereka menyebut pribumi dengan akhwal yang berarti saudara dari ibu. Konon, banyak di antara para istri tersebut yang kemudian dibawa ke Hadhramaut, dan sekembalinya ke tanah air mereka membuat nasi kebuli dengan bumbu-bumbu Hadhramaut. Padahal mayoritas masyarakat Hadhramaut tidak makan nasi, namun masakan dari gandum.
Di Hadhramaut, kami menemukan fakta terkait jejak-jejak hubungan erat kedua wilayah ini. Seperti telah dikisahkan pada bagian lalu-, beberapa kata, baik dalam bahasa Indonesia maupun Jawa, digunakan sebagai bahasa ‘ammiyah (prokem) oleh masyarakat Hadhramaut. Hal ini setidaknya mendalilkan bahwa ikatan historis antara Hadhramaut dan Nusantara memang telah terjalin lama. Sebagaimana barang-barang komoditi juga telah ‘membanjiri’ Hadhramaut, seperti kayu-kayu untuk bahan bangunan. Sampai saat ini mereka menyebut ‘plafon’ untuk kayu yang ada di bagian atap rumah, mengambil dari bahasa Indonesia.
Kabilah-kabilah (marga) etnis Arab di Indonesia, kita dapati di Hadhramaut, seperti as-Segaf, al-Attas, al-Jufri, bin Syihab, bin Thalib, Sungkar, al-Katiri, al-Bar, dan sebagainya.
Fakta lain, jika Prof LWC van den Berg, yang mengadakan penelitian pada 1864-1868 menyebutkan di Batavia koloni Arab begitu besar hingga pemerintah Belanda pada 1844 mengharuskan adanya kapiten Arab, maka bisa dikatakan cerita ini juga berbalik. Artinya, banyak pula orang Indonesia yang hijrah dan kemudian bermukim di Hadhramaut. Memang, berbeda dengan suku Jawa yang ada di Suriname, orang Indonesia yang ada di Hadhramaut adalah keturunan Arab, yang lahir di Indonesia, kemudian pergi dan tinggal di Hadhramaut.
Masih belum ada penelitian khusus tentang hal ini. Data yang kami dapatkan masih “terserak” di lapangan dan beberapa literatur sejarah. Misalnya dalam sejarah Rubath, sebuah pesantren yang terletak di tengah kota Tarim, Hadhramaut, disebutkan beberapa alumninya ada yang berasal dari Indonesia, kemudian tinggal dan menjadi ulama di Hadhramaut. Rubath yang pembangunannya juga melalui wakaf rumah, kebun dan tanah milik keluarga habaib di luar Yaman, antara lain Indonesia, Singapura, dan Bombasa, Afrika ini, resmi dibuka pada 14 Muharram 1305 H. Dalam biografi Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar (1340-1418 H), salah seorang alumninya yang menjadi mufti di Provinsi Baidha, Yaman, disebutkan bahwa lebih dari 13.000 ulama telah dicetak oleh Rubath.
Pelajar dari Indonesia di Rubath, sebagian besar kembali ke tanah air (akan dibahas pada bagian selanjutnya), namun tidak sedikit pula yang memilih untuk tetap tinggal di Hadhramaut. Di antara mereka adalah Habib Husain al-Haddar, seorang ulama besar kelahiran Indonesia dan meninggal dunia di Mukalla, Hadhramaut. Ada pula Syaikh Fadhal bin Abdurrahman Bafadhal, seorang kelahiran Cirebon, yang belajar di Rubath dan kemudian menjadi Ketua Lembaga Fatwa (Rais Majlis al-Iftaa) di Tarim (wafat tahun 1999), juga Syaikh al-Muhdhar Bondowoso, pengarang kitab al-Rihlah al-Muhdhariyah.
Fakta di lapangan, kami temukan secara tak sengaja. Misalnya di suatu malam pada 2004, kami menyusuri kornes, sebuah tempat wisata di tepi laut Arab di kota Mukalla. Seseorang memanggil kami “Indonesia, Indonesia!”. Kami pun menghampiri pemilik suara. Pria bertubuh subur ini mengenalkan namanya Abdullah. Ia mengaku lahir dan besar di Watu Gong, Semarang, namun sejak sekitar dua puluh tahun lalu tinggal di Hadhramaut dan menjadi warga negara Yaman. Lelaki yang masih lancar berbahasa Indonesia ini bekerja sebagai penjaga billyard di tepi pantai itu.
Al-Mahdi Akbar, teman kami di kampus yang menyunting gadis Hadhramaut di tahun 2003 juga punya kisah terkait hal ini. Saat pertama kali dikenalkan pada keluarga calon istrinya, ia dibuat terkejut ketika nenek calon istrinya keluar ruang tamu. Perempuan tua itu menyapa, “Ini to yang mau kawin sama cucuku.” Ternyata sang nenek adalah orang Pontianak, yang hijrah ke Hadhramaut di zaman penjajahan bersama 13 anggota keluarganya. Kini, kelompok kecil mantan WNI yang tinggal di desa pelosok antara Seiyun dan Tarim itu hanya tinggal tiga orang.
Bila ingin mengetahui “koloni Indonesia” dalam jumlah banyak, bisa didapati pada acara 17 Agustus di Kedutaan Indonesia Republik Indonesia (KBRI) di Yaman. Pada acara HUT RI itu, orang-orang Indonesia yang menetap di Yaman biasanya diundang ke kedutaan. Anda jangan sampai tertipu seperti saya. Syahdan, saat dengan beberapa teman saya mengikuti rangkaian acara HUT RI pada tahun 2001 di negeri ini, ada wanita berparas Arab yang akan duduk di depan kami. Saya pun menggeser kursi di depan saya untuk memberinya jalan, sekaligus agar digunakannya untuk tempat duduk. Sambil menggeser kursi, dengan suara keras saya berkelakar dengan teman di samping saya, “Nanti kalau dia duduk, kita tarik saja kursinya!” Saya menyangka dia orang Arab yang tak mengerti bahasa Indonesia. Ternyata, setelah saya mengatakan kalimat “tak bertanggung jawab” itu, perempuan tersebut, juga perempuan-perempuan lain berparas Arab yang duduk di depan, tertawa sambil melihat saya. Duh, malunya. Ternyata mereka adalah orang-orang Indonesia yang hijrah dan menetap di Yaman. Sekilas, memang tak ada yang membedakan wajah mereka dengan orang Arab. Bedanya, mereka cukup fasih berbahasa Indonesia.
Tak hanya “rakyat biasa”, mantan WNI di Yaman juga ada yang menempati posisi penting dalam pemerintahan. Umar Rasyid Baragba, mantan Menteri Perminyakan Yaman, adalah pria yang lahir dan besar di Tulungagung. Sebagian keluarganya kini masih tinggal di kota di bagian barat Propinsi Jawa Timur itu.
Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya kondisi zaman, fenomena berbalik ini bisa saja makin meningkat. Karena sejak 1995, setelah berakhirnya kekuasaan komunis selama 25 tahun, semakin banyak masyarakat Indonesia yang berdatangan ke Hadhramaut untuk menuntut ilmu. Mereka sebagian besar belajar di tiga tempat pendidikan, yakni Rubath, Darul Mushtafa, dan Universitas al-Ahgaff yang ada di kota Tarim. Beberapa pelajar juga menyebar di daerah lain, seperti Mukalla, Syihir, dan Baidha.
Di kota kecil Tarim, saat ini terdapat sekitar seribu pelajar Indonesia dan terus mengalami peningkatan tiap tahun. Tak mengherankan, bila suasana majelis-majelis taklim, pasar, atau warung-warung kecil, lebih mirip suasana di Indonesia. Karena selalu saja didapati “koloni Indonesia” berbaur bersama Hadharim (orang Hadhramaut). Seperti muhajirin Hadhramaut ke Nusantara dulu, mereka datang ke Hadhramaut tanpa istri. Beberapa di antaranya pun telah menyunting gadis Yaman. Lalu muncul joke, mungkinkah di kemudian hari orang Hadhramaut berganti kita sebut akhwal, atau saudara dari ibu?