http://www.english.hadhramaut.info Hukum Ansuransi [The Source: Indo.hadhramaut.info - 22/04/09] Hukum Ansuransi Ada tiga pendapat 1. Haram Mutlak 2. Halal untuk Asuransi Syariah yang berasakan atas Takaful dan haram untuk asuransi konfensional 3. Halal Mutlak dan ini adalah pendapat guru kami / Prof. Sayyid Abdullah Muhammad Baharun. Seiring semakin berkembangnya zaman bentuk permasalahn yang di hadapi umat pun semakin variatif, kevariatifan masalah ini menuntut seluruh pihak untuk mengeluarkan sikap, tidak terkecuali agama, salah satu fenomena yang banyak berkembang dan menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat adalah masalah asuransi, masyarakat mempertanyakan sikap agama dalam masalah ini. Salah seorang penanya mengatakan "apa hukum asuransi jiwa menurut kaca mata islam ?" Masalah asuransi tergolong masalah yang muncul akhir-akhir ini, sebab masalah ini meledak kepermukaan pada abad ke sembilan belas, meskipun praktik asuransi sebenarnya sudah ada sejak tahun 1347 M, setelah itu selama kurun kurang lebih 60 tahun para ulama berbeda pendapat, tentang masalah ini antara yang memperbolehkan dan yang mengharamkan di antara yang ulama yang menghalalkan praktik asuransi konfensional adalah Dr.Mustafa Zarqa, sampai pada akhirnya pada tahun 1385 H, Muktamar Ulama Islam II dan VII (1392 H/ 1972M) di Kairo kemudian pada keputusan Majma' Buhuth Islamiyah di Kairo, serta Majma' Fiqih Islami di Rabitoh 'Alam Islami di Makkah (1398H/1978M) lalu keputusan Nadwah Fiqhiya III di Kuawit (1413H/1993M), semua muktamar di atas menyepakati bahwa segala bentuk asuransi konfensional dengan segala produknya hukumnya adalah haram, kemudian solusi yang diberikan oleh para ulama adalah asuransi syariah yang berasakan pada takaful dan ta'awun artinya kerja sama dan gotong royong . Berikut beberapa perbedaan dasar antara asuransi konfensional dan asuransi syariah yang diambil dari web site perusahaan asuransi Takaful Indonesia : 1. Ada enam perbedaan mendasar antara Takaful dengan asuransi konvensional . a. Takaful Indonesia memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional. b. Akad yang dilaksanakan pada Takaful Indonesia berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli c. Investasi dana pada Takaful Indonesia berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya d. Kepemilikan dana pada Takaful Indonesia merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya. e. Dalam mekanismenya, Takaful tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk tabarru? f. Pembayaran klaim pada Takaful diambil dari rekening Tabarru? (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan. g. Pembagian keuntungan pada Takaful dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan. Dalam keputusan Bahthul Masail NU sebagaimana yang dimuat dalam buku Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama dikatakan bahwa hukum asuransi Jiwa adalah haram dengan alas an praktik asuransi itu termasuk judi, fatwa ini disandarkan kepada fatwa Syekh Bakhit, Mufti Negeri Mesir, yang termaktub dalam majalah Nurul Islam nomor 6 jilid I. Dr. Wahbah Zuhaily dalam buku beliau Mu'amalat Maliyah Mu'asirah mengatakan hal-hal yang menyebabkan asuransi niaga atau konvensional diharamkan sebagai berikut. 1. Adanya unsur riba, sebab dalam konpensasi klaim ada tambahan di atas premi yang dibayarkan pertemponya, dan ini adalah riba, kemudian perusahaan asuransi juga mengoperasikan dana yang ada pada mereka di jalan riba, bila ada keterlambatan dalam pembayaran premi peserta asuransi yang bersangkutan harus membayar bunganya. 2. Adanya unsur penipuan yang jelas, sebab konpensasi dari asuransi adalah sesuatu yang yang masing dalam koridor kemungkinan, belum benar-benar ada dan terjadi, dan ini adalah praktik penipuan, perusahaan asuransi bisa saja mengambil banyak keuntungan dari nasabahnya tanpa mengeluarkan apa-apa, ini dari sisi perusahaan, dari sisi nasabah, mereka pun tertipu sebab mereka meneken kontrak terhadap sesuatu yang tidak jelas dan belum diketahui terjadinya. Sementara dalam syariat akad yang dilakukan pada sesuatu yang tidak ada itu tidak sah. 3. Adanya unsur perjudian, di dalam asuransi bahaya yang akan ditanggung baik itu jiwa atau harta adalah sesuatu yang terjadi pada waktu yang tidak diketahui, dan inilah praktik judi itu sendiri, nasabah atau peserta asuransi berharap dengan mengeluarkan biaya yang sedikit nantinya akan mendapatkan ganti yang besar. 4. Adanya unsur ketidak jelasan, artinya total anggaran yang harus dibayarkan oleh nasabah atau peserta asuransi dalam asuransi jiwa tidak jelas dilain pihak dana itu nantinya akan di salurkan kemana pun tidak jelas, demikian juga ketika terjadi kebakaran atau kecelakaan dan lain sebagainya jumlah yang akan diterima oleh nasabah atau peserta asuransi tidak jelas jumlahnya. jadi bias disimpulkan bahwa dalam akad asuransi ada ketidak jelasan dari sisi bea yang dibayarkan, kemudian jumlah yang akan diterima dan waktu terjadinya kecelakaan. Dalam fatwanya, Dr.Yusuf Qardawi juga mengatakan bahwa Asuransi Niaga atau konfensional dalam segala macam bentuknya adalah haram, adapun para ulama yang memperbolehkan asuransi, mereka tidak memperbolehkannya secara mutlak tapi memperbolehkannya dengan syarat segala sesuatu dalam akad dan praktik asuransi yang bertentangan dengan syariat islam harus di ubah. Jadi dari kesimpulan yang di tarik oleh Dr.Yusuf Qardawi di atas bias kita ketahui bahwa bahkan yang memperbolehkan asuransi konfensional mereka juga menuntut semua yang tidak cocok dengan syariah diperbaiki, artinya untuk menjadikan proses dan praktik asuransi konvensional pas dengan hukum syariah, solusi yang di berikan oleh Dr.Yusuf Qardawi untuk umat islam adalah asuransi syariah yang dibangun atas dasar kerjasama dan gotong royong karena ini alternative terbaik yang harus didukung untuk kesejahteraan umat islam dan kekuatan ekonomi islam. Namun demikian guru kami, Al-Habib Prof. Abdullah Muhammad Baharun, berfatwa bahwa, memang menurut madzhab Imam Syafi'I praktik asuransi memiliki banyak cacat hukum dari segi syariat, karena di dalamnya terdapat unsur riba, perjudian, dan ketidak jelasan akad, sehingga secara madzhab syafi'I lebih condong ke arah untuk tidak diperbolehkan, barang siapa yang ingin untuk berhati-hati dan wara' dipersilahkan memilih pendapat di atas. Melihat kondisi dunia yang semakin global, dan laju perekonomian serta bentuk-bentuk transaksi yang semakin berkembang dan majemuk, sementara umat islam terpencar di berbagai Negara dan benua, menuntut adanya pola pikir baru dalam masalah ini, bentuk-bentuk pelanggaran syariat yang ada di perusahaan asuransi konfensional memang telah disiasati oleh para ulama dengan solusi asuransi syariah, namun demikian untuk wilayah-wilayah yang tidak terjangkau bentuk asuransi ini dan kebutuhan manusia akan bentuk jasa asuransi maka perlu ada pembahasan lain, guru kami mengambil kesimpulan bahwa seseorang yang akan bergabung dengan perusahaan asuransi konfensional hendaknya menyadari bahwa keberadaannya diantara para peserta asuransi lainnya adalah untuk bergabung dalam satu bentuk komunitas yang bertekad untuk saling membantu satu sama lain ketika salah satu pihak dilanda bencana atau musibah, sehingga dia ketika membayarkan premi sedari awal sudah berniat bahwa dana tersebut adalah dana tolong-menolong, gotong royong dan kerja sama, dari sini maka seorang muslim bila melihat dirinya membutuhkan untuk bergabung dengan perusahaan asuransi apapun bentuknya dan dia memiliki kemaslahatan yang nyata menurut sudut pandangnya, maka dia diperbolehkan untuk bergabung dengan perusahaan tersebut apapun bentuknya, ini bila tidak ada ketentuan yang mengharuskan untuk bergabung, namun bila ada ketentuan yang mengharuskan untuk membayar bea asuransi seperti yang diwajibkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia dan belahan dunia lainnya baik itu asuransi jiwa, kesehatan, tenaga kerja dan lain sebagainya hal ini pun diperbolahkan. Allahu A'lam Bi Sawab.