Malam itu tepatnya bakda Maghrib, saya sedang mengikuti kelas tahsinul-qirah semacam pemantapan makharijul huruf ketika melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Program ini merupakan kebijakan baru belum lama ini, kira-kira satu tahun lalu yang diwajibkan oleh pihak fakultas syariah tempat saya belajar, agar kami memiliki kompetensi standar yang cukup jika kelak terjun di masyarakat untuk menjadi imam atau khatib jum'at dan lain-lain.
Ketika kami menirukan guru kami mengeja ayat demi ayat, pada ayat:
كلا لئن لم ينته لنسفعا بالناصية
Beliau lantas bertanya kepada kami kenapa huruf ha' pada kata "
yantahi" tidak dibaca panjang? Kami semua yang berjumlah 11 orang ini sejenak berfikir, satu dua teman mulai memberikan jawaban begitu juga yang lain namun tidak ada satupun dari jawaban itu dibenarkan oleh guru kami. Tiba-tiba saya teringat, ketika dahulu mengajari santri Assalaam tajwid juga ketika ikut membina TPA di sekitar pondok selama beberapa bulan, dan sepontan saya menjawab: "karena ha'-nya bukan ha' dhomir ustadz" beliau pun tersenyum dan segera melanjutkan talaqqi QS al-'Alaq.
Menggali ibrohSontak saya tertegun dalam hati, kenapa jawaban itu kembali terlintas dalam pikiran padahal sudah sekian lama tidak mengulang-ngulang lagi. Ternyata kebenaran nasihat guru-guru kita terbukti, bahwa semakin sering kita menularkan ilmu yang kita miliki dengan mengajarkannya pada yang lain (tadris) maka sebenarnya kita juga ikut belajar sehingga ilmu itu terpatri kuat dalam sanubari. Sejalan pula dengan kata hikmah yang mengatakan bahwa sedekahnya orang yang punya ilmu adalah dengan mengajarkannya pada yang lain. Maka beruntunglah mereka yang telah diberikan taufik untuk mengajar dan mau mentranformasikannya kepada orang lain, tentunya semata karena Allah ta'ala sahaja.