Hari ini saya mendapatkan pengarahan panjang lebar bagaimana menelajah
kitab-kitab rujukan (kutub al-maraji') untuk mencari biografi ulama
tertentu, tapatnya jam 11.33 di perpustakaan utama fakultas syariah
universitas al-Ahgaff. Tidak seperti biasanya, pelajaran ushul baths
(metodologi karya tulis) hari ini terasa istimewa, setidak bagi saya
yang selama 4 tahun mengenyam pedidikan di kuliyah sekalipun tidak
pernah mendapatinya. Apa pasal? Siang ini kami menerima penjelasan itu
di perpustakaan kuliah. Dan yang memberi mentor adalah guru senior yang
sudah mahir di bidang penulisan karya ilmiah bertema fikih
klasik-kontemporer, beliau adalah Dr. Amjad Rasyid.
Pada kesempatan kali itu beliau meberikan sample bagaimana kami menemukan biografi seorang ulama dalam kitab tarikh yang disusun oleh Taaj ad-Din Abdulwahab atau yang lebih kita kenal dengan as-Subki (w. 771)
Kegiatan ini adalah terkait dengan mata kuliah yang sedang kami dapatkan yang ditambah lagi dengan tugas karya tulis perkelompok untuk mendapatkan nilai ulangan syahr ats-tsani, maka untuk memudahkan rangkaian tugas tersebut dibawalah kami ke "belantara ilmu pengetahuan". Tentu banyak sekali pengalaman yang saya dapatkan pada kesempatan ini, dari mengenal kitab-kitab utama untuk penulisan karya tulis, tips memilih kitab yang dibutuhkan agar waktu kita bisa lebih efesien. Karena sebagaimana kita ketahui, perpustakaan adalah rimba pengetahuan sehingga kita sebagai pengunjung memerlukan peta untuk menjelajahinya sehingga kita dapat menakhlukkan buruan yang kita inginkan.
Perpustakaan sebagai Knowledge Centre
Di dunia pendidikan perpustakaan memiliki nilai strategis tersendiri, terlebih di lingkungan universitas yang nota bene banyak memberikan tugas-tugas kuliah pada mahasiswanya. Nilai strategis itu terletak pada kemampuan pemenuhan sumber pengetahuan menambah wawasan bagi para civitas akademi maupun masyarakat sekitar.
Dus, tradisi membaca yang sejak awal risalah Islam diturunkan sudah dirangsang melalui wahyu pertama " Iqra' " mengokohkan peran perpustakaan sebagai pusat pengetahuan, tinggal bagaimana mengisi dan memberdayakan nilai ini dengan lebih baik lagi.
Jika kita umpamakan ilmu sebagai darah yang mengalir dalam tubuh kita dan tubuh kita di analogikan sebagai system perguruan tinggi maka perpustakaan bagi perguruan tinggi tersebut adalah jantung yang mengalirkan ilmu pengetahuan kepada anak didik melalui dosen sebagai pembuluh darahnya. Maka bisa kesehatan jantung di tengah metabolisme pendidikan tidak bisa diremehkan, pemenuhan buku-buku bermutu dan penunjang harus juga diprioritaskan.
Saya sepakat dengan pendapat yang disampaikan Abdul Rahman dalam artikelnya: "Fungsi Perpustakaan Kampus dalam Pembinaan Budaya Baca-Tulis" bahwa sudah seharusnya perpustakaan menjadi pusat bagi kegiatan mahasiswa dan dosen dalama proses belajar mengajar. Kelas cukup dijadikan tempat bertatap muka antara mahasiswa dan dosen dalam "teaching process," kemudian dilanjutkan "learning process" di perpustakaan.
Perpustakan dan Gudang Harta Karun Peradaban
Dalam ilmu sejarah, perjalanan hidup mansuia biasanya dibagi menjadi dua fase ditilik dari sudah dan belumnya manusia pada suatu zaman dalam mengenal tulisan.
Jika tulisan belum dikenal dalam kebudayaan masyarakat tersebut maka fase ini dinamakan fase pra-sejarah, namun jika bukti-bukti arkeologi mengisyaratkan adanya tulisan pada kebudayaan suatu masyarakat tertentu maka sejarah peradaban baru dimulai.
Tulisan memiliki fungsi penting dalam mendistribusikan hasil karya peradaban tertentu, tidak salah jika bukti otentik berupa tulisan memiliki peran yang sangat penting dalam validitas. Kemudian dari budaya baca tulis yang pada gilirannya memunculkan tradisi kodivikasi ilmu pengetahuan dalam sebuah buku. Dari banyak bukulah perpustakaan terbangung, sehingga dapat kita ambil konklusi bahwa perpusatakaan merupakan embrio yang dilahirkan dari rahim suatu peradaban masyarakat, di dalamnya tersimpan beragam corak hasil karya manusia sepanjang umur. Maka benar adanya jika perpustakan adalah gudang harta karun peradaban. (AM-Saputra)