http://www.english.hadhramaut.info Maslahat Menurut Perspektif Usul Fiqh (Bagian II) [The Source: indo.hadhramaut.info - 06/7/2009] ( Sebuah wawancara dengan Dr. Amjad Rosyid Al Maqdisi, Kepala Bidang Fiqh dan Ushulnya di Fak. Syariah Universitas Al Ahgaff )
 
Substansi dari konsepsi maslahah mursalah ini adalah menetapkan hukum sesuatu dengan menggunakan maslahat yang tidak ada dalil yang menunjukkan kebolehan dan larangannya.

Dapat diketahui dari definisi tadi bahwa maslahah mursalah tidak dapat dijadikan sebagai landasan suatu hukum yang dalilnya sudah diketahui melalui nash atau ijma. Atau yang sudah diketahui melalui maslahat yang dikuatkan dengan dalil tertentu. Atau yang diketahui melalui maslahat yang bertentangan dengan dalil hukum tersebut.

Mayoritas ulama sepakat dalam kebolehan menggunakan maslahat yang diperhitungkan oleh syariat dengan dalil yang tertentu. Konklusi semacam ini bermuara pada diskursus qiyas sebagaimana yang dikemukakan Al Ghozali dalam kitabnya Al-Mustasfa. Demikian halnya, tidak ada perbedaan pendapat bahwa tidak diperbolehkan istinbat hukum dengan menggunakan maslahat yang telah dinegasikan oleh syariat. Karna dengan menggunakan maslahat tersebut berarti telah bertentangan dengan otoritas syariat yang telah menegasi maslahat tersebut. Imam Syatibhi dalam kitabnya Al I’tisham mengatakan, apabila suatu maslahat tidak diperhitungkan oleh syariat, atau bahkan syariat menolaknya, maka maslahat tersebut menjadi tertolak dan tidak dapat diperhitungkan menurut consensus umat Muslim.

KM: Mungkin doctor bisa mendiskursuskan maslahat menurut perspektif Najmuddin Al Thufi berikut prokon ulama terhadap pendapatnya.

Dr: Najmuddin At Thufi bernama lengkap Abu Rabi’ Sulaiman Ibn Abdul Qowwi. Beliau berdomisili di Bagdad kemudian berimigran ke Mesir, terkenal sebagai pengikut mazhab Hanbali. Thufi meninggal pada tahun 617 H. Beliau menguasai beberapa disiplin ilmu, salah satunya adalah ilmu ushul fikih. Diantaranya karangan beliau adalah resume kitab “Raudhatunnadhir” karya Ibnu Qudamah Al Hambali. Kemudian beliau komentari sendiri resume tersebut dan diberi nama “ Muhktasar Ar-Ruadhah “,  kitab ini telah dicetak dan termasuk kitab penting dalam literature kajian ushul fikih.

      Sedangkan pendapatnnya mengenai maslahat dan keterkaitanya dengan nash-nash, dibahas di dalam kitabnya “ Syarah Al-Arbain An-Nawawiah” ketika dia menerangkan hadis  "la dharara wala dhiror". Lebih jelasnya, beliau berkata bahwa dalil-dalil yang digunakan syariat sebagai asas hukum ada 19 dalil. Hadis tersebut menerangkan pentingnya sebuah maslahat dalam pandangan syariat, juga penolakannya terhadap madharat.

At-Thufi berkata bahwa diantara 19 dalil tadi, yang paling tinggi kedudukannya adalah nash dan ijma’. Menurutnya kedua dalil tersebut mungkin sesuai dengan maslahat atau bertolak belakang dengannya. Dan jika keduanya sesuai dengan maslahat maka jelas hukumnya. Akan tetapi jika keduannya bertolak belakang dengan maslahat, wajib mengedepankan maslahat dengan metode spesifikasi (takhshis) hukum nash tersebut pada hukum yang tidak kontra dengan maslahat. Atau dengan metode interpretasi (penafsiran) nash dengan menggunakan maslahat, bukan dengan metode menjadikan nash dibelakang suatu maslahat (menindas nash),

      Lebih jauh beliau berkata" bahwa menjadikan maslahat sebagai pijakan hukum lebih kuat dari pada ijma’", dari argument ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa maslahat merupakan dalil yang terkuat, karena sesuatu yang lebih kuat dari yang terkuat  akan menjadi lebih kuat.

      At-Thufi juga menambahkan bahwa nash-nash dapat dijadikan sebagai sandaran hukum dalam diskursus ibadah dan hal-hal yang berhubungan dengan kadar ukuran (al-muqaddarat). Sedangkam untuk  muamalat yang dijadikan sandaran hukum adalah maslahat.

       Dengan demikian dapat kita pahami, bahwa At-Thufi memungkinkan terjadinya pertentangan maslahat versus nash atau ijma’. Beliau juga membedakan pijakan istidlal dalam hukum-hukum syariat, baginya pijakan ibadah dan yang semisalnya dalam menelurkan hukum-hukumnya adalah nash, sedangkan maslahat dijadikan pijakan muamalat.

      Dalam pendapatnya ini, terdapat dua permasalahan penting yang harus saya jelaskan. Pertama, kemungkinan terjadinya pertentangan maslahat versus nash. Jika yang dimaksudkan oleh At-Thufi dengan maslahat adalah sebuah kepentingan yang ditelurkan oleh hukum akal atau kebiasaan, maka tidak dapat dipungkiri bahwa itu mungkin terjadi, karena seperti yang saya jelaskan tadi sangat mungkin suatu masalah yang dihukumi oleh akal dan kebiasaan sebagai maslahat, kemudian syariat mengatakan maslahat tersebut mudarat. Kita ambil satu contoh ayat yang berbunyi, yang artinya "ingatlah hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik), Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah bekata: “ kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya, sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang- orang yang pendusta dan sangat ingkar" (QS. Az-Zumar: 3). Ayat tadi menggambarkan penyembahan mereka terhadap berhala  dinggap maslahat -dalam pandangan mereka- untuk lebih mendekatkan mereka kepada Allah SWT, akan tetapi Allah mengingkari sesuatu yang mereka anggap sebuah maslahat, bahkan Allah mengancam mereka dengan maslahat tersebut.

      Akan tetapi mungkin kita dapat bertanya kepada At-Thufi, sejauh mana keotoritasan sebuah hukum yang dihasilkan oleh akal atau kebiasaan, sementara syariat membatalkan hukum tersebut?. Dan perlu diketahui bahwa tujuan diturunkan syariat adalah mengeluarkan manusia dari perbudakan dan kekangan hawa nafsu, peniruan kapada nenek moyang, dan menjadikan nafsu sebagai asas untuk mengetahui maslahat, untuk mengikuti kebenaran yang datangnya dari pencipta yang lebih mengetahui apa yang terbaik bagi hambanya di dunia dan ahkirat. Seperti yang diutarakan As-Syatibi dalam Al-Muwafaqot bahwa tujuan diturunkanya syariat adalah untuk mengeluarkan manusia dari perbudakan hawa nafsunya agar menjadi hamba Allah yang sebenarnya.

      Memungkinkan terjadinya nash versus maslahat yang dihasilkan dari hukum akal atau kebiasaan kemudian menjadikan argument sebagai pijakan untuk mengedepankan maslahat dari nash-nash sudah keluar dari koridor hukum agama, dan melepas tangan dari kewajiban yang dibebankan kepada kita secara global dan mendetail (jumlatan, tafsil), kalau saya meminjam perkataan imam Muhammad Zahid Al Kaustari dalam Maqolat nya (hal: 244), ini adalah pendapat yang bersifat atheisthik, bahkan dia berkata: bahwa pendapat ini seakan-akan Allah tidak mengetahui maslahat hambanya.

      Saya sangat terkesan dengan apa yang dikemukan Al Ghazali  dalam kitabnya Al Mustasfha (hal 1: 285) tentang pendapat yang tenggelam pada kesesatan ini, ketika dia menyebutkan fatwa kafarat berhubungan badan dengan istri pada bulan ramadhan  " Pendapat ini sesat dan keluar dari koridor Al Quran dan Hadis, dan dapat membuka pintu untuk mengubah dan merombak nash-nash dengan berubahnya keadaan "

      Saya mengajak semua orang yang bijak untuk mengkaji lansung apa yang ditulis tentang maslahat dalam kitabnya “ syarh muhtasar ar raudhah” ketika dia membahas diskursus Maslahat Al Mursalah, agar kita dapat mengetahaui pemahaman ummat muslim tentang maslahat, dia berkata: «sesungguhnya hukum syar’i adalah hukum yang bersumber dari dalil-dalil yang ditetapkan syariat, seperti Ijma’, Nash, atau apa yang terkandung dalam nash tsb, sedangkan maslahat yang yang tidak berpijak pada dalil-dalil syariat merupakan pendapat an sich, dan apabila diperkenankan menjadikan maslahat sebagai pijakan hukum maka tidak ada bedanya orang yang buta huruf dan pintar, karna setiap orang dapat mengetahui maslahat yang ia butuhkan, dan tidak perlu lagi Allah mengutus Rasul-rasulnya, dan semua orang akan menjadi pengikut para brahma.

      Akan tetapi jika yang diinginkan At Thufi  dengan maslahat, adalah maslahat syar’I maka memungkinkan maslahat versus nash sama saja mengandaikan sesuatu yang mustahil, karna maslahat syar’I berpijak pada dalil-dalil syari’at. Saya tadi telah menjelaskan metode untuk mengetahui suatu maslahat menurut syariat seperti yang dikemukakan Ibnu Abd Salam dan As Syatibi -keduanya merupakan ahli yang telah mengupas diskursus maslahat secara panjang lebar- Yang paten dalam ilmu usul fikih apabila nash tertentu menetapkan sebuah hukum maka hukum tsb telah mengandung maslahat yang di inginkan oleh syariat, sedangkan maslahat sendiri adakalanya sesuai dengan hukum akal dan kebiasaan, dan adakalanya bertentangan, seperti yang saya jelaskan tadi.

      Maka apabila Allah dan Rasulnya telah menetapkan hukum tertentu, maka hal itu sekaligus menegaskan maslahat dan mudarat, jika hukum tsb sebuah perintah maka yang kita pahami adalah maslahat, jika larangan maka yang dapat kita pahami adalah mudarat. Karna hukum syariat tidak terlepas dari maslahat atau mudarat (almu’tabar)

      Memahami maslahat dengan metode ini, tidak mungkin menjadikan maslahat syariat berbenturan dengan nash, selama maslahat tsb berpijak pada dalil syar’i. Begitu juga dengan ijma’ yang telah dijadikan hujjah oleh Allah SWT, karna ijma’ bersandar pada nash atau qiyas atau konklusi yang bermuara pada nash, pemahaman inilah yang terkandung dalam perkataan Imam Syfi’I " Allah tidak akan pernah menurunkan hokum pada hamba yang memeluk agamaNya, kecuali hokum tersebut terdapat petunjuknya dalam Alquran "

      Yang kedua: dikotomi At Thufi antara diskursus ibadah (dan semisalnya) dan muamalat, pemisahan dasar pengambilan hukum dengan menggunakan nash dalam diskursus ibadah sedangkan muamalat menggunakan maslahat adalah pendapat aneh dan sama sekali baru sekaligus belum pernah ada sebelumya. Begitu pula pendapatnya yang memungkinkan adanya nash versus maslahat atau ijma.

      Umat muslim -baik mujtahid atau yang lainnya- hanya mengetahui bahwa hukum-hukum agama mereka berdasarkan Al qur'an, Hadis, ijma’, Qiyas atau (istidlal) yang benar yang bersandar pada Alquran atau Hadis. Mereka tidak mengenal dikotomi antara ibadah dan muamalat. Seluruh ayat Alquran yang memerintahkan kita untuk taat kepada Allah dan Rasulnya tidak ada yang mendikotomi antara ibadah atau muamalat, ayat-ayat tersebut telah memberikan pemahaman penuh kepada kita dan tidak ada yang berbunyi bahwa kita hanya patut taat pada perintah Allah dan Rasulnya pada permasalan ibadat dan semisalnya saja! Sedangkan muamalat kita tidak perlu mentaatinya jika maslahat bertolak belakang dengan hukum Allah dan Rasulnya, atau bahkan kita diharuskan mengedepankan maslahat dibanding dengan perintah tersebut.

      Alangkah nistanya pemahaman ini dan alangkah jauhnya dari kebenaran, bagaimana kita memahami ayat yang berbunyi " Hai orang orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul(Nya)dan ulil amri diantara kami. Dan jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasulnya (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu libih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" ( An-Nisa' : 59 ). Atau bagaimana kata memahami firman Allah yang berbunyi: "apa yang diberikan (perintahkan) rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah" ( Al Hasyr : 7 ) atau firmanNya : " Maka demi tuhanmu, mereka ( pada hakikatnya )tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya " ( An Nisa' : 65 )

      Ketiga ayat tadi contoh dari Al-qur'an yang mewajibkan kita untuk mentaati Allah dan Rasulnya SAW. Ketiga ayat tadi menggunakan lafadz umum yang tidak mendikotomikan antara ibadah dan muamalat. Ayat yang pertama  " Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran)dan Rasulnya (sunnahnya) "  menggunakan susunan nakirah dalam kalimat syarat, sedangkan dua ayat yang lainya menggunakan lafadz (isim mausul  ãÇ yang menunjukkan keumuman arti yang dikandungnya.

      Ibnu Al Qayyim dalam kitabnya A’lam Al muwaqqi’in (1:49) ketika menerangkan kandungan ayat pertama tadi berkata: firmaan Allah yang berbunyi: " kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu " mengandung makna umum pada seluruh masalah yang menjadi perselisihan antara ummat muslim baik besar atau kecil, nampak atau tidak. Jika Alquran Atau Hadis tidak memiliki solusi bagi permasalahan tersebut kita tidak akan drperintahkan untuk kembali kepada keduanya, karena merupakan suatu yang mustahil kita diperintahkan untuk kembali kepada Alquran dan Hadis jika keduanya tidak memiliki solusi yang kita butuhkan

      Ketiga ayat yang telah memiliki makna sama bagi orang yang memahami bahasa Arab, tiba-tiba dita’wil oleh At Thufi dengan mengeluarkan (permasalahan) muamalat yang kontra dengan maslahat.

      Bukankah pendapat ini termasuk yang harus kita waspadai seperti yang terkandung dalam firman Allah dalam surat Al Qoshos " Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka) dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim". Ayat ini menyebut orang yang tidak menjalankan perintah RasulNya sebagai orang yang mengikuti hawa nasfsunya, dan barang siapa yang mengikuti hawa nafsunya maka dia termasuk orang yang zalim,

 Apakah orang yang mengetahui ayat dari Al quran, atau hadis yang mempunyai arti yang jelas dan tidak dapat di ta’wil kemudian dia berpaling meninggalkan nash-nash tsb dan mengedepankan maslahat yang bersumber dari hukum akal atau kebiasaan -seperti yang diutarakan At Thufi- tidak dapat disebut sebagai orang yang tidak menjawab perintah Rasul SAW? Apakah dia tidak termasuk orang yang mengikuti hawa nafsunya? Apakah ada jalan yang lebih baik bagi kita untk mengetahui maslahat selain melalui Al quran atau Hadis? Dan apakah bedanya orang-orang yang berani berbuat seperti ini dengan orang-orang yang menentang apa yang diperintahkan Rasul SAW.

Saya katakana kepada At Thufi: seandainya Allah merasa cukup bagi kita untuk mengetahui hukum-hukum transaksi keuangan (muamalat) melalui hukum akal atau kebiasaan, maka untuk apa Allah mewahyukan kepada NabiNya tentang Kaidah-kaidah atau hukum-hukum yang berkenaan dengan transaksi atau hukum-hukum kewajiban manusia kepada sesamanya, apakah hukum-hukum ini pengokoh hukum akal atau kebiasaan atau agar kita dapat membandingkan hukum-hukum tsb dengan maslahat kemudian kita mininggalkan firman-firman Allah ?

        Mari kita melihat satu contoh lagi, sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Buhkari dan Muslim yang menseritakan sebab turunnya Ayat  " Maka demi tuhanmu, mereka ( pada hakikatnya ) tidak beriman " Diriwayatkan dari Urwah, dari Abdullah, dari Zubair, ia berkata: Seorang Anshar bersengketa dengan Zubair, tentang irigasi (tempat mereka mengambil air untuk mrngairi kebun kurma)[1], Orang anshar berkata kepada Zubair: biarkanlah air mrngalir! Kemudian mereka menuju kepada rasul SAW agar memberikan hukum pada persengketaan mereka, maka Nabi SAW berkata: Wahai Zubair Siramlah kebunmu dan biarkan air mengalir ke kebun tetanggamu, maka orang Ansar marah dan berkata: apakah karena ia anak bibimu sehingga engkau menghukumi seperti itu? Lalu berubah warna wajah Nabi SAW dan berkata: siramilah wahai zubair, dan biarkan air sampai pada (juzur), Zubair berkata:  demi Allah sesungguhnya saya tidak mengira ayat " Maka demi tuhanmu, mereka ( pada hakikatnya )tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan "  ini turun untuk kejadian itu.

      Kita katakan pada At Thufi: apa yang menyebabkan kemarahan nabi SAW, serta kecamannya pada perilaku orang Anshar tersebut pada salah satu hukum muamalat, ketika ia tidak senang dengan hukum yang tentukan oleh Nabi SAW, dengan berpijak pada maslahat -seperti yang ia sangka- dan mengapa tidak maslahat tersebut yang diambil.

      Contoh lain: Hadis yang diriwayatkan Bukari dari Abi Hurairah, datang seorang pegawai Nabi dari Khaibar dengan membawa kurma dengan kwalitas yang bagus, Nabi pun bertanya kepadanya: apakah seluruh kurma hkaibar seperti ini ? Kemudian pegawai itu berkata: kami menukarkan dua takar kurma  biasa untuk mendapatkan satu takar kurma ini. Nabi pun berkata: Jangan kalian lakukan itu ! Akan tetapi jual kurma jelek kemudian belilah kurma yang bagus dengan hasil penjualan itu)

      Ini juga salah satu contoh, dari transaksi yang ada di kota Khaibar pada sat itu -transaksi menurut kebiasaan mereka dan hukum akal mereka, kemudian transaksi ini dilarang dan nabi menerangkan solusinya, seperti yang disebutkan Al Hafidz Ibnu hajar dalam kitabnya Fath Al Bari.

      Mari kita merenungkan arti ayat ini yang menerangkan masalah muamalat juga " Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan, lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat): Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah mehalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai padanya larangan dari tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah dimbilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal didalamnya " Al baqarah: 275. Ayat ini menceritakan kesangsian orang-orang yang beragama yahudi yang mengatakan: mengapa riba diharamkan pad kami, karena sesungguhnya riba sama dengan jual beli -dalam segi maslahat yang dihasilkan- akan tetapi Allah SWT menjawab dengan satu kalimat  "Allah telah mehalalkan jual beli dan mengharamkan riba ".   Imam Ar Razi dalam tafsirnya mengatakan: potongan ayat ini mengandung jawaban untuk kesangsian orang yahudi, karna apa yang mereka pertanyakan berarti menjadikan nash versus qiyas yang merupakan perbuatan Iblis ketika dia diperintahkan untuk sujud pada Nabi Adam AS. Iblis mengontradiksikan antara Qiyas dengan Nash dengan menjawab :  " Saya lebih baik dari padanya, engkau ciptakan saya dari api, sedangkan dia engkau ciptakan dari tanah " (Al a’raf : 12)

      Kesimpulannya, apa yang dikatakan oleh At Thufi mengenai maslahat merupakan pendapat yang bathil, yang merobek tirai yang telah bentangkan Alquran, Hadis, dan Ijma’.

      Alangkah bagusnya kita mendengarkan apa yang dikatakan Izzuddin bin Abdus Salam dalam kitabnya Qowaid Al Ahkam " Hukum-hukum Allah keseluruhannya adalah maslahat, alangkah berunntungnya orang yang mendengarkan nasihat Tuhannya, dan bertobat atas dosa-dosanya ".

KM: Syukron Doktor

Dr: Barokallohu fikum.. (Nawa)

[1]- kebun Zubair terletak diantara kebun kurma Anshar dan irigasi