Saat ini, antisipasi mental umat sangat diperlukan setelah adanya upaya
pencegahan sebagai bentuk kepatuhan dan pengamalan pada ruh syariat.
Sekeras apapun upaya zahir dilakukan, jangan sampai kita melupakan hal
yang lebih penting.
Hari ini kita menyaksikan senjata paling efisien di seluruh dunia untuk melawan wabah yang penyebarannya begitu ganas adalah dengan "dirumahaja" yang sebenarnya menunjukkan titik paling lemah manusia.
Saat kita berkhalwat di rumah, marilah kita mencoba merenung. Mari kita resapi tajali ilahi yang sangat nyata ini, kembalikan ubudiah penghambaan diri hanya kepada-Nya, meminta pertolongan hanya kepada-Nya, dan merasa tiada pertolongan selain dari-Nya.
Mari kembali kepada Allah sang pemilik segala sesuatu. Berdamai dengan Allah yang selama ini sering kita durhakai, berdamai dengan keluarga, jiran tetangga, serta menunaikan kewajiban muamalah kepada sesama.
Allah Swt. berfirman (Q.S al-Jumu'ah / 8-9) :
قُلْ إِنَّ ٱلْمَوْتَ ٱلَّذِى تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُۥ مُلَـٰقِيكُمْ ۖ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَـٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَـٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Katakanlah! "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemuimu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui perkara gaib dan nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan."
Manusia itu sejatinya sangat lemah, sama sekali tidak berdaya. Allah buktikan hal ini hanya dengan salah satu dari tentara yang Dia kirim; Wabah Covid-19.
Mereka yang terjebak dalam realitas hanya terbagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang angkuh dan sombong, ada yang panik dan ketakutan, hingga ada yang kebingungan dan tidak tahu arah mana yang akan mereka tuju, hanya mengikuti kawanan besar.
Kira-kira apa ujung dari semua ini? Bertahan dengan cara apapun, dengan teori apapun, dengan praktek apapun, dengan usaha apapun. Pada akhirnya, manusia ingin kembali hidup seperti normalnya, menikmati dunia, dan menjadikannya tempat yang indah untuk hidup.
Hanya saja, ada yang sering dilupakan dalam cara bertahan kawanan besar ini. Apa? Mereka lupa bahwa segala sesuatu itu selalu ada hubungannya dengan sesuatu yg lebih besar, yaitu akhirat. Maka semua yang ditakdirkan sekarang pasti ada hubungannya dengan akhirat.
Apakah zikir dan wiridmu bertambah pada masa sulit ini?
Apakah salatmu makin khusyuk?
Apakah sedekahmu makin bertambah?
Apakah engkau sudah siap jika kapanpun Allah memanggil?
Bagaimanapun cara dan kehendak-Nya?
Apakah engkau akan datang ke hadirat-Nya dengan jiwa yang tenang?
Tak ada yang tahu sampai kapan Allah memberikan waktu kepada kita di dunia, meski ada wabah ataupun tidak. Wabah hanya rambu-rambu lampu merah, agar kita memperkuat kesabaran dan kembali ingat, bahwa seringkali kita ingin lari dari kematian.
Oleh karena itu, Imam an-Nawawi menyebutkannya dalam kalamnya tentang sejarah wabah-wabah yang pernah dialami umat Islam, tujuannya hanya untuk menyiapkan mental. Seperti yang beliau tulis :
والمقصود بذكره التبصر والتحمل على التأسي
Tujuan (Imam Nawawi) memaparkan sejarah wabah-wabah itu adalah untuk menjadi rambu-rambu dan menguatkan kesabaran.
Dengan bentuk apologi dan pernyataan apapun; tabiat ingin sehat, tetap berdaya, optimis melihat kehidupan, menjadikan dunia lebih layak untuk ditempati, dan berbagai pernyataan lainnya, itu semua sejatinya adalah noktah (setitik) virus penghancur iman di dalam kalbu (hati) manusia; Hubbud Dun'ya Wa Karahiyyatul Maut (cinta dunia dan takut mati).
Bagaimana cara mendeteksi noktah virus yang satu ini?
Agar lebih mudah mengetahui seberapa besar cinta dunia dan takut mati. Bayangkan saja hari ini Anda menjadi pasien dari wabah COVID-19. Seberapa kuat ketauhidan Anda untuk menangkal kepanikan dan ketakutan akan kematian?
Jika hal itu membuatmu ketakutan, maka merunduklah istigfar meminta ampun pada Allah Swt. sebagaimana yang dilakukan oleh Nabiyullah Yunus a.s saat mengakui kekhilafan dirinya :
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَـٰضِبًۭا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِى ٱلظُّلُمَـٰتِ أَن لَّآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبْحَـٰنَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ ٱلظَّـٰلِمِينَ
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim."
Oleh : M. Muzakki Ihsan (Mahasiswa Tingkat Akhir, Universitas Al-Ahgaff)