http://www.english.hadhramaut.info Argumentasi Kehujahan As-Sunah di Dalam Syariat Islam [The Source: indo.hadhramaut.info - 09/1/2010]
Pendahuluan
As-Sunah sebagai sumber syariat Islam kedua setelah Al-Quran, menempati posisi penting di dalam agama Islam.
Kedudukannya sebagai sumber hukum, dan disertai  ragam kualitas periwayatannya sangat perpengaruh terhadap hasil  ijtihad para ulama mujtahid di dalam menggali hukum. Setiap orang yang mendalami madhab-madhab fiqih, maka akan mengetahui betaba besar pengaruh As-Sunah di dalam penetapan hukum-hukum fiqihiyah. Tak heran jika kemudian para ulama mulai dari para sahabat sampai ulama zaman sekarang  sangat bersungguh-sunguh dalam mengkaji assunah baik tentang periwayatanya ataupun memahami isi kandungnganya dari ragam sudut pandang ilmu pengetahuan, seperti ilmu fiqih, aqidah, akhlaq,tafsir dll. Mengingat posisinya yang sangat peting, mengetahui argumen kehujahan as-Sunah adalah suatu keniscayaan, khususnya bagi orang yang agama islam. Argumen tersebut dapat kita temukan di dalam al-Quran, as-Sunah sendiri, dan argumen rasional.

Definisi
As-Sunah secara terminologi adalah: segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan.   
Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah:  kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil  untuk menggali hukum syari'.  
As-Sunah atau Hadis Nabi, walaupun dapat menjadi hujah secara independen (mustaqil), sebagaimana juga Al-Quran, namun kedua kitab tersebut saling melengkapi dan  meligitimasi bahwa keduanya adalah  hujah dan sumber hukum di dalam sari'at Islam.

Dalil Al-Qur'an
Allah swt., di dalam Al-Quran menjelaskan kehujahan Sunah Nabi dengan beragam cara, diantaranya dengan cara memerintahkan orang yang beriman untuk  mengembalikan perselisihan pendapat yang terjadi diantara mereka kepada Allah dan Rasul-Nya:

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah  dan Rasul".(QS.An-Nisa:59)

Mengembalikan kepada Allah, menurut Imam Saukani, adalah mengembalikan kepada Al-Quran, sedangan mengembalikan kepada Rasul adalah mengembalikan kepada Sunah Rasul.
Imam Syafii  berkata:" bahwa Allah mewajibkan kita untuk taat kepada Rasul, dan selama ketaatan kepada Rasul adalah wajib, maka perkataan beliau  menjadi mengikat bagi kita. Dan setiap orang yang bersebrangan dengan Rasul, maka orang tersebut dinilai sebagi orang yang durhaka, dan Allah telah mengancam orang yang  durhaka kepada Rasul-Nya. Maka  dari sini dapat disimpulkan, bahwa Sunah Rasul adalah hujah yang harus kita pegang".

"Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al-Hikmah". (QS.Ali Imran: 164)

Al-Hikmah di dalam ayat ini, menurut Jumhur Ulama, adalah sesuatu selain Al-Quran,  yaitu As–Sunah. Imam Syafii berkata:"Allah menyebut Al-Kitab yang dimaksud adalah Al-Quran, dan kemudian Dia menyebut Al-Hikmah, saya telah mendengar dari bumi ini, dari para ahli ilmu Al-Quran, semua berkata : Al-Hikmah adalah As-Sunah".
Rasulullah telah diberi oleh Allah Al-Quran dan sesuatu yang lain bersama Al-Quran yang wajib untuk diikuti. Di dalam Al-Quran, Allah  dengan jelas menggambarkan tentang Nabi:
"Dia (Nabi Muhammad) yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk''. (QS.Al-A'raf:157)

Ketika di dalam ayat ini bersifat umum,  maka hal ini mencakup semua hal yang Nabi haramkan dan yang dia halalkan, baik yang bersumber dari Al-Quran ataupun sumber wahyu Allah yang lain yang diwahyukan kepadanya, yaitu As -Sunah  . Karena Nabi, seperti didalam Al Quran (An-Najm:3), tidak berkata dari keinginan atau hawa nafsunya akan tetapi dari wahyu.

"Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku(Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu" .(QS.Ali Imron:31)
"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah".(QS.An-Nisa:80)
Allah swt, di dalam dua ayat ini,  menjadikan ketundukan  kepada Rasul  dan Sunahnya sebagai sebab untuk mencintai dan taat kepada Allah . Dan tidak ada ma'na ketundukan disini,  kecuali melakukan semua  yang  diperintahkan  Rasul dan menjauhi semua yang  beliu larang:

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya".(QS.Al-Hasr: 7)
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya". (QS. An-Nisa:65)

Menjadi jelas di sini, bahwa orang yang tidak mengikuti Sunah Nabi dan perpendapat: bahwa beramal dengan hadis Nabi bukanlah  hal yang wajib, maka orang tersebut adalah pembohong atas pengakuannya mencintai Allah.

Dalil  As-Sunah
Nabi Muhammad saw. ketika khutbah wada' (haji perpisahan) bersabda:''Aku tinggalkan untukmu dua perkara, seandainya kau berpegang teguh dengan keduanya maka kamu semua tidak akan tersesat selamanya , yaitu Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya". (HR. Malik Bin Anas)
 
Hadis Nabi saw.:"ingatlah sesungguhnya aku telah diberi Al-Quran dan yang menyrupainya bersamanya, hati-hatilah, hampir saja lelaki yang kekenyangan di atas permadaninya berakata: Atas kamu Al-Quran ini(saja), maka apa yang kau dapati di dalamnya halal maka halalkanlah, dan apa yang kau dapati haram maka haramkanlah. Ingatlah, sesungguhnya apa yang diharamkan Rasul sama denga apa yang diharamkan oleh Allah".(HR.At-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Imam Khutobiy berkomentar tentang hadis ini, bahwa yang dimaksud sesuatu yang menyerupai Al-Quran adalah As-Sunah, dan Rasulullah mengingatkan kita untuk berhati-hati agar tidak menentang hukum yang ada di dalam Sunah akan tetapi tidak ada di dalam Al-Quran, karena keduanya  sama-sama wahyu dari Allah. Lelaki kekenyangan di atas permadani adalah simbol orang bodoh akibat terbisa kekenyangan atau disibukan dengan hidup berlebihan dan tidak mau keluar menuntut ilmu karena selalu sibuk diatas permadaninya, sehingga berkata: hukum hanya ada di Al-Kitab, dan meninggalkan As-Sunah. Imam Khutobiy mengambil contoh sekte Khowarij dan Rofidoh sebagai ahli bid'ah yang beramal hanya dengan Al-Quran dan meninggalkan As-Sunah.  

Mengingat sangat pentingnya As-Sunah, Rasulullah memerintahkan agar berpegang teguh dengan As-Sunah, dengan perumpamaan menggigitnya dengan gigi geraham dan orang yang menolaknya adalah menolak masuk surga:
"Ambilah Sunahku dan Sunah Khulafaurrosidiin yang selalu mendapat hidayah setelahku, berpeganglah dengannya dan gigitalah  dengan gigi geraham".(HR.Abu Dawud)

 "Semua umatku akan masuk surga kecuali orang menolak, para sahabat bertanya: ya Rasulallah!, siapa orang yang menolak? Rasulullah menjawab: barang siapa yang taat kepadaku maka dia akan masuk surga dan barang siapa durhaka kepadaku maka dialah orang yang menolak untuk masuk surga"(HR.Bukhori).

Dalil Aqliy(Rasional)
1.Allah swt. mengutus Rasul-Nya untuk menyampaikan risalah-Nya dan mengikuti wahyu-Nya. Cara menyampikan adalah dengan membacakan Al-Quran dan menjelaskan isinya adalah tugas Rasul. Rasul terjaga dari kesalahan dan dosa (ma'sum), maka dengan ini syariat adalah Al-Quran dan perkataan Rasul (As-Sunah)

2.Kehujahan As-Sunah tidak tergantung pada Al-Quran, akan tetapi cukup dengan kem'asuman Nabi dan banyaknya mukjizat selain al Quran yang dia miliki untuk menetapkan bahwa sesuatu yang berasal dari Nabi  dapat menjadi hujah dengan sendirinya.  Hal ini sesuai dengan ketetapan ulama kalam, bahwa seorang Rasul tidak disaratkan adanya  kitab suci  ketika  dia membawa risalah,  akan tetapi hanya disyartkan adanya syariat  yang diturunkan kepadanya untuk disampaikan kepada umatnya dan memperlihatkan mu'jizat yang dia miliki. Seperti ketika Allah  mengutus Nabi Musa as. kepada Firaun dan Bani Israil di Mesir, ketika itu Kitab Taurat belum diturunkan kepadanya, karena Taurot turun setelah kematian Firaun dan keluarnya Bani Israil dari Mesir. Dari kisah Nabi Musa ini dapat diambil dalil, bahwa orang yang menentang Nabi Musa sebagai Rasul -setelah memperlihatkan mu'jizat- adalah orang yang durhaka dan berhak mendapat laknat dan adzab  dari Tuhan .  Kehujahan wahyu Nabi yang tak dibacakan (al-wahyu ghoirul matlu:As-Sunah) tidak tergantung pada adanya wahyu yang dibacakan (al-wahyu al-matlu:Al-Quran) yang keduanya sama-sama dari Allah dan masing-masing dapat menjadi dalil secara independen (mustaqil).

3.Banyaknya kewajiban yang ditetapkan Allah dalam Al-Quran  yang masih global dan petunjuk pelaksanaanya tidak dijelaskan dan hanya dijelaskan oleh  As-Sunah, seperti sholat, zakat, haji, potong tangan bagi pencuri dan yang lainnya, yang masih membutuhkan penjelasan dan rincian , dan dengan ini As-Sunah menjadi penting. Allah berfirman:
dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu  menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,(QS.An-Nahl:44)
Di dalam ayat ini, Nabi Muhammad dengan Sunahnya adalah sebagi pemberi penjelasan isi Al-Quran, hal ini menunjukan kewajiban untuk mengamalkan Sunah Nabi. Jika tidak, maka kita tidak munkin mengamalkan perintah-perintah yang ada di dalam Al-Quran tersebut.

Memperhatikan betapa pentingnya As-Sunah, Imam Auza'i berkata:" Al-Quran itu lebih membutuhkan  As-Sunah dibanding As-Sunah terhadap Al-Kitab".  Pernyataan Imam Auza'i ini didasari pertimbangan yang telah saya sebut di atas.

Hubungan As-Sunah dengan Al-Quran
Hubungan As-Sunah kepada Al-Quran dari segi kedudukannya sebagai hujah dan sumber untuk menggali hukum, adalah sumber kedua setelah Al-Quran. Hal ini dikarnakan Al-Quran pasti sohih dari segi riwayat (maqtu' bih) sedangkan As-Sunah sebagian pasti sohih dan sebagian tidak (madznunah),  As-Sunah adalah penjelasan (al-bayan) dari Al-Quran, maka yang diberi penjelasan (Al-Quran) harus didahulukan. Dan mengikuti petunjuk Hadis Nabi kepada Sahabat Muadz: "Jika datang kepadamu masalah, dengan apa kau akan menghukumi?" Mua'dz menjawab, "Aku putuskan dengan Kitabullah". Jika tidak kau temukan?. Dengan Sunah Rasul, jika tidak kau temukan?  Aku akan berijtihad dengan pendapatku". (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).   

Adapun hubungan As-Sunah dengan Al-Quran dinilai dari hukum yang ada, maka terdiri dari tiga hal:

1. As-Sunah sebagai  penetap dan penguat  hukum yang telah ada di dalam Al-Quran,  maka dengan ini hukum tersebut memiliki dua sumber  dan dua dalil; dalil Al-Quran dan dalil penguat, As-Sunah. Hukum-hukum tersebut Seperti perintah untuk melaksanakan sholat, menunaikan zakat,  puasa Romadhon, haji ke Baitullah, berbuat baik terhadap perempuan, larangan menyekutukan Allah (syirik), bersaksi palsu, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh tanpa alasan yang benar, dan  perintah ataupun larangan yang lain di dalam Al-Quran dan dikuatkan oleh As-Sunah. Yang kedunya digunakan sebagai dalil.

2. As-Sunah sebagai perinci (mufasilah) dari dalil yang masih global (mujmal) dari Al-Quran, sebagi pentafsir (mufasiroh) dari dalil yang masih samar (mubham), sebagi pemberi batas (muqoyidah) dari dalil yang masih mutlaq, memberi penghususan (mukhosisoh) dari dalil yang masih umum('am) dari Al-Quran.

3.As-Sunah sebagi dalil independen (mustaqil) di dalam menetapkan hukum.
Didalam As-Sunah terdapat dalil berbentuk perintah dan larangan, tanpa ada di dalam Al-Quran, sehingga hukum ditetapkan berdasarkan As-Sunah, bukan Al-Quran. Di dalam bentuk perintah, seperti kewajiban zakat fitrah, menolong orang yang dianiaya adapun di dalam bentuk larangan, seperti hukum dilarangnya bagi suami untuk  berpoligami dengan mengumpulkan perempuan bersama bibik perempuan tersebut (bibi dari pihak ayah atau ibu), hukum  haramnya bersetubuh di siang hari bulan Romadhon, hukum haramnya memakan daging binatang buas yang bertaring dll.

Imam Syafii menyatakan, "Apabila As-Sunah adalah tambahan Al-Quran, maka As-Sunah mengikuti dan kembali kepada Al-Quran dan masuk di bawah dasar-dasar umum syariat Al-Quran. Ijtihad hukum Rosulullah  berpangkal pada Al-Quran dan ruh syariat. Dengan ini, maka tidak mungkin akan terjadi pertentangan dan perselisihan antara Al-Quran dan As-Sunah."

Imam Saukani dan Imam Syafii menyatakan, "Pengingkaran terhadap Sunah berkonsekwensi sangat bahaya di dalam agama, dan membuat kita tidak faham sholat, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban lain yang masih global dalam Al-Quran yang dijelaskan oleh Sunah. Kecuali dengan perkiraan bahasa saja. Dengan sebab ini, gugurlah sholat, zakat, hal yang telah diketahui turun-temurun oleh semua orang wajibnya. Hingga mengetahui hal tersebut adalah pengetahuan pokok dalam agama. Orang yang mengingkari Sunah tidak ada arti  apa-apa di dalam Islam".

 Wallahu a'lam bis showab.

Oleh: Zarnuzi Ghufron: Mahasiswa tingkat III  Fakultas Syariah, Univ. Al-Ahgoff,  Hadaramaut, Yaman. Dan ketua Forum Diskusi Mahasiswa Indonesia (FoKuS-Indo) di Universitas. Al-Ahgoff
 
 1. Al-Qosimiy, Qowaid At-Tahdis, hal. 38.
 2. Abdul Ghoni Abdul Kholiq, Hujiatu As-Sunah, hal. 243.
 3. As-Saukaniy, Fathul Qodir 2,  hal. 557.
 4. As-Safiiy, Ar-Risalah, hal. 79.
 5. Ibid., hal. 78.   
 6. Musthofa Saba'i,  As-Sunah wa Makanuha fi Tasri', hal. 51.
 7. Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhol li Dirosati Sariat Al-Islamiyah, hal. 160.   
 8. Majid Abdu Salam, "As-Sunah An-Nabawiyah bainal Wahyi  wal  Ijtihad",  Manarul Islam.        
 9. Samsul Hak Abadiy, 'Aunul Ma'bud 12, hal. 232
 10.Wahbah Zuhaili, Ushulul Fiqih Al-Islamiy, hal. 457   
 11. Majid Abdu Salam, Op. Cit., hal. 17
 12. An-Nasafiy, Al 'Aqidah An-Nasafiyah 2, hal. 54  
 13. Abdul Ghoni 'Ubud, Ar Rod ala Man Yunkiru Hujiatu As-Sunah, hal.486.   
 14. Abdul Wahab kholaf, Ilmu Usulil Fiqih, hal. 42.
 15. Wahbah Zuhailiy, Op. Cit.  
 16. Abu Ishaq As-Satibiy, Al- Muwafaqot 4, hal. 06.   
 17. Ibnu Qoyim Al-jauziyah, I'lamul Muwaqi'in 2, hal. 314   
 18. Wahbah Zuhaili, Op. Pic., hal. 464