Berfikir untuk memahami agama adalah suatu keharusan, untuk memahami kewajiban yang harus dilakukan seorang hamba dan apa yang harus dia tinggalkan, baik dalam kehidupan ber-Tuhan ataupun dalam kehidupan antar sesama mahluk Tuhan. Tuhan Maha Bijaksana, agar hamba-Nya tidak tersesat dalam mencari kebenaran, Dia menurunkan Kitab dan mengutus para Rasul untuk menujukan kebenaran yang Dia kehendaki. Para Rasul-Nyapun ma'sum, terjaga dari kesalahan, agar kebenaran yang Tuhan kehendaki tetap tersampaikan sebagaimana mestinya, Para Rasul kini telah tiada dan sekarang rujukan kebenaran tinggal kitab al-Quran dan penjelasannya yang tertuang di dalam Hadis Rasul.
Untuk mempikirkan apa yang dikehendaki al
Quran dan Hadits, para pemikir mencoba menggali dan menetapkan
kaidah-kaidah di dalam memahami kedua kitab tersebut, agar sesuai atau
setidaknya mendekati apa yang dikehendaki keduanya. Hasil beragam dan
memunculkan ragam pemahaman, baik di dalam kajian tafsir maupun
hukum.Kemudian semuanya menjadi rujukan dan jembatan untuk memahami dua
kitab agung tersebut. Tapi, tidak semua pemikir tersebut terus bisa
untuk jadi rujukan, karena diantara pemikir tersebut masih ada yang
masih perlu dipikirkan. Dan tulisan ini akan mencoba untuk ikut
memikirkan para pemikir-pemikir tersebut.
Kaum Pluralis
Menurut
kaum Pluralis, semua agama adalah benar dan sah, karena menurut mereka
semua bermaksud sama, mencari kebenaran. Hanya saja, setiap agama
saling berbeda cara dalam menjalaninya, kerena masing-masing memiliki
takaran yang berbeda tentang kebenaran dan Islam dalam hal ini
dengan takaran al Quran dan Haditsnya adalah salah satu cara dari
sekian banyak jalan kebenaran.
Kaum Pluralis, dengan
pemahamannya yang dia miliki ingin mencoba menghilangkan kontradiksi
ajaran antar agama, karena menurut mereka agama tujuannya sama,
mencari kebenaran dari Tuhan, dan pembeda-bedaan antara agama
berdasarkan benar dan salah akan memungkinkan munculnya tindak
kekerasan dengan dalih agama, karena setiap umat beragama memiliki rasa
bahwa agamanya adalah yang paling benar. Semua agama dianggap sama,
sama-sama untuk mengabdi kepada Tuhan, walaupun cara, agama dan
keyakinan berbeda.
Pemikiran ini sebenarnya ingin menghilangkan
kontradiksi akan tetapi malah memunculkan ragam kontradiksi.
Membenarkan semua hal yang saling kontradiksi adalah hal yang tidak
masuk akal, karena dalam kenyataanya ajaran agama-agama memang saling
kontradiksi satu sama lain. Misalnya dalam kehidupan ber-Tuhan, jika
semua pemahaman tentang Tuhan dari semua agama dibenarkan, yaitu
tentang siapakah sebenarnya itu Tuhan? Siapa nama-Nya ? Bagaimana
sifat-sifat-Nya? Maka akan rancu, karena tidak mungkin semua kriteria
yang difahami semua agama semuanya benar, karena setiap agama saling
kontradiksi dalam memberi kriteria, walaupun yang mereka kehendaki
sama, yaitu Tuhan. Nasrani dengan trinitasnya meyakini Tuhan terbagi
tiga, Tuhan Bapa (God the Father), Tuhan anak (Jesus the Christ) dan
Tuhan Roh Kudus (The Holy Spirit); Dan ketiga-tiganya didalam keyakinan
mereka merupakan sehakikat dan satu dalam kesatuannya. Yahudi selain
meyakini Uzair sebagai anak Allah juga meyakininya sebagai Tuhan. Islam
mengatakan Tuhan hanya satu, tidak beranak dan tidak diperanakkan.
Dari
kriteria yang beragam dan saling kontradisksi ini, mungkinkah semuanya
benar? Sangatlah tidak munkin. Apakah mungkin akal kita membenarkan
sebuah pemahaman: bahwa Tuhan itu hanya satu, ya dua, ya tiga. Tidak
beranak juga mempunyai anak, bukan hasil peranakan juga hasil
peranakan. Menjadi sangat membingungkan bila semua benar, karena semua
saling kontradiksi dan tidak bisa dipertemukan. Kaum Pluralis ibarat
seorang guru mengajukan pertanyaan kepada muridnya: "Anak-anak, Ir.
Sukarno itu persiden RI yang keberapa? Dan dijawab para murid dengan
jawaban beragam: "ke-I Bu!, ke-II Bu!, ke-III Bu!" Dan kemudian guru
tersebut memberi kunci jawabannya: bahwa semua jawaban murid benar.
Didalam
keberagaman kriteria serta saling kontradiksi tersebut kalau tidak
semuanya salah, maka harus ada salah satu yang benar dan yang lainnya
salah dan tidak munkin semua benar. Sebelum mengatahui benar dan
tidaknya kriteria-kriteria tersebut, maka harus diketahui terlebih
dahulu dari mana sumber atau takaran kriteria tersebut. Kemudian
bagaimana dengan sumber tersebut, apakah kuat untuk dijadikan rujukan,
baik dinilai dari kevalidan, keakuratan ataupun keorisinilan dan
kemudian baru kita fahami isinya. Dan sekarang kita bisa melihat dari
sekian banyak agama, mana kitab suci yang dijadikan rujukan atau
takaran umat beragama dalam memahami kebenaran yang masih murni. Taurat
telah mengalami perubahan, begitu juga Injil sudah tidak asli, dan hal
ini diakui para orientalis dan teolog mereka sendiri setelah mereka
melakukan penelitian. Dan kini sejarah telah membuktikan tentang
keorisinilan al Quran, dan Hadis Nabi telah diketahui mana yang yang
dapat diterima (maqbul) atau tidak diterima (mardud) sebagai rujukan.
Disini terjawab dari sekian kriteria yang saling kontradiksi, kriteria
yang mana yang harus dipilih dan jika ada sumber rujukan agama yang
telah gagal menjaga kemurnianya, tidak meyakinkan bahwa dia asli dari
Nabi, kenapa masih diyakini kebenaran isinya. Siapa yang salah memberi
kriteria siapa itu Tuhan, maka telah salah dalam mencari dan menemukan
Tuhan. Dan tidak membenarkan semua kontradiksi tersebut kecuali orang
yang cara berfikirnya kontradiksi.
Adapun alasan untuk
menghilangkan kekerasan atas nama agama dengan membenarkan semua agama
adalah sudah jelas salah, dan hal ini tidak akan bisa
diterima
oleh semua pihak yang sama-sama dibenarkan. Yang terpenting sekarang
adalah bagaimana menyikapi perbedaan dengan bijaksana, tanpa harus
membenarkan yang salah, karena untuk menghormati orang lain kita tidak
harus menyetujui atau membenarkan pendapatnya, itu bukan syarat atau
sesuatu yang mengikat. Bukan berfikir sempit: dengan berfikir, bahwa
untuk menghormati orang lain kita harus membenarkan pendapatnya.
Kaum Islam Liberal
Tak jauh beda dengan kaum Pluralis, kaum Islam Liberal mencoba menghilangkan
pertentangan
antara Islam dengan semua peradaban dan kebudayaan dunia, mereka
mencoba menafsir ulang tentang Islam, al-Quran dan Hadis agar bisa
merestui seluruh peradaban dan kebudayaan. Mereka mengakui al Quran
sebagai wahyu Tuhan, tetapi menurut mereka proses turunnya wahyu
dipengaruhi oleh budaya Arab, seperti kasus qisos yang telah ada di
dalam budaya Arab yang kemudian dilegalkan oleh wahyu al-Quran. Mereka
menilai, yang terpenting adalah memahami nilai atau pesan yang ada di
dalam hukum-hukum al-Quran, bukan bentuk aturannya. Qishos yang
dipraktekkan di zaman Nabi, adalah sebagai bentuk pelaksanaan pesan
Tuhan agar menghukum orang yang membunuh atau melukai tubuh orang lain.
Disini yang menjadi pesan adalah menghukum orang yang melakukan
pembunuhan, bukan bentuk hukuman (qishos) tersebut, adapun bentuk
hukumannya adalah dari budaya Arab. Kini zaman bebeda, tempat orang
muslimpun berbeda-beda. Untuk menghukum orang yang membunuh, boleh
beragam cara, menyesuikan budaya masing-masing. Pesan al Quran adalah
agar kita memberi sanksi, bukan qishosnya.
Dengan cara berfikir
mereka, Islam menjadi tunduk terhadap realitas, karena cara berfikir
mereka mengharuskan agar semua realitas yang ada dapat direstui oleh
Islam, dengan merubah cara penafsiran tentang Islam. Dan akhinya Islam
dihakimi dan diarahakan oleh realitas, bukan Islam yang menjadi hakim
dan yang mengarahkan realitas. Para pemikir liberal menggunakan
hermeneutika untuk mentafsiri teks al-Quran, yaitu metode filsafat
tafsir yang awalnya diciptakan para teolog Nasrani untuk memahami
Injil. Hermeneutika muncul akibat keputus-asaan mereka setelah
melakukan penelitian, bahwa ternyata injil sudah tidak asli lagi. Tapi,
mereka tetap merasa perlu untuk mempertahankan Injil yang ada. Karena
teksnya sudah tidak asli lagi, maka bagi mereka cukup mengambil
pesan-pesan yang ada di dalam kitab tersebut, dan kemudian metode
hermeneutika ini mereka ciptakan untuk memahami pesan-pesan yang
dinilai muncul dari dalam kitab tersebut tanpa terpaku pada teks yang
ada.
Para pemikir liberal kemudian tertarik dengan metode
hermeneutika untuk digunakan memahami al-Quran dengan teksnya yang
masih asli. Diantara mereka
ada yang mencoba membuat
inovasi-inovasi baru di dalam hermeneutika, seperti Nashr Hamid Abu
zaid dan Muhammad Arkoun. Dengan menggunakan metode ini akan berakibat
banyaknya hukum-hukum yang telah digali para ulama terdahulu terganti,
sesuai yang dikehendaki pengguna metode tafsir ini, karena metode
sangat bias. Dengan berpendapat "inilah pesan yang dikehendaki al
Quran" dan kemudian menyimpulkan hukum-hukum baru tanpa terikat
terhadap teks yang ada di dalam al Quran.
Kalau kita mau
memahami, sebenarnya kesimpulan-kesimpulan hukum telah mereka miliki,
sebelum mereka menggali dasarnya dari al Quran. Al Quran tak lebih
hanyalah sebagai alat legitimasi pemikiran mereka, dengan mengolah
penafsiran agar sesuai dengan yang mereka kehendaki, bukan sebagai
sumber hukum. dan hasilnya kini dapat kita lihat:, muslimah menurut
mereka tidak wajib memakai jilbab dan zina dengan menggunakan kondom
bukan lagi zina.
Adanya kesamaan sebagian hukum Islam dengan
budaya Arab, sebagai tempat turunnya Islam, bukan berarti menunjukkan
Islam terpengaruh dengan budaya Arab. Islam datang dari sang pencipta
realitas (Tuhan) untuk mengarahkan realitas, baik realitas yang sedang,
ataupun yang akan terjadi, agar sesuai dengan syariat Tuhan, bukan
untuk dihakimi agar sesuai dengan realitas, karena realitas bisa benar
bisa juga salah. Konsep Islam telah Allah persiapkan sebelum semua
realitas di dunia ini ada, dan bila ada hukum Islam yang kebetulan sama
dengan budaya Arab di saat turunnya Islam, bukan berarti Islam
mengadobpsi atau terpengaruh budaya Arab, karena Islam ibarat nilai,
yang bertugas membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah, jika
realitas itu benar maka akan dibenarkan. Dan juga perlu diketahui,
bahwa konsep qisos yang telah ada pada jaman jahiliyah adalah
peninggalan syariat Nabi terdahulu (syariat man qoblana), bukan asli
budaya Arab. Jika hal itu berjalan di dalam budaya Arab, Arab dalam hal
ini hanyalah sebagai pelaku budaya, bukan pencipta budaya itu sendiri,
yang menciptakan budaya tersebut adalah syariat Nabi terdahulu, jika
ajaran Nabi terdahulu bersumber dari wahyu Allah dan ajaran Nabi
Muhammad juga dari wahyu yang sama, yatu Allah SWT maka dakwaan
pengaruh-mempengaruhi tidak dibenarkan, karena sumbernya satu.
Jika
kita berdalih," Jika Islam tidak terpengaruh budaya Arab, maka
semestinya hukum Islam tidak ada yang sama dengan budaya Arab". maka
sama dengan kita menginginkan patokan Islam berubah menjadi "yang
penting beda dengan Arab", bukan membenarkan yang benar jika sesuai
dengan Islam. Dan begitupun jika kita mengatakan, bahwa bentuk hukum
Islam pasti dari Arab, maka kita merubah patokan Islam menjadi "yang
penting sama dengan Arab" tidak menyalahkan yang salah jika tidak
sesuai dengan Islam. Kenyaatan telah membuktikan bahwa tidak semua
budaya Arab di zaman Nabi SAW direstui oleh Islam, bahkan Islam
merombak realitas budaya Arab dan menciptakan realitas baru di jazirah
Arab dan dunia, dan budaya Arab yang ada sebelum datangnya Islam dan
kemudian dipertahankan oleh Islam sangat sedikit, inipun dengan
pertimbangan karena sesuai dengan Islam. Wallahu a'lam bisshowab.
Oleh:
Zarnuzi Ghufron, Mahasiswa Tingkat III Fakultas Sari'ah Universitas
Al-Ahgaff, Hadramaut Yaman dan saat ini menjabat sebagai ketua Forum
Diskusi Mahasiswa Indonesia (FoKuS-Indo) di Universitas Ahgaff.