http://www.english.hadhramaut.info Para Pemikir Yang Masih Perlu Dipikirkan [The Source: indo.hadhramaut.info - 16/1/2010]
Berfikir untuk memahami agama adalah suatu keharusan, untuk memahami kewajiban yang harus dilakukan seorang hamba dan apa yang harus dia tinggalkan, baik dalam kehidupan ber-Tuhan ataupun dalam kehidupan antar sesama mahluk Tuhan. Tuhan Maha Bijaksana, agar hamba-Nya tidak tersesat  dalam mencari kebenaran, Dia menurunkan Kitab dan mengutus para Rasul untuk menujukan kebenaran yang Dia kehendaki. Para Rasul-Nyapun ma'sum, terjaga dari kesalahan, agar kebenaran yang Tuhan kehendaki tetap tersampaikan sebagaimana mestinya, Para Rasul kini telah tiada dan sekarang rujukan kebenaran tinggal kitab al-Quran dan penjelasannya yang tertuang di dalam Hadis Rasul.


Untuk mempikirkan apa yang dikehendaki al Quran dan Hadits, para pemikir mencoba menggali dan menetapkan kaidah-kaidah di dalam memahami kedua kitab tersebut, agar sesuai atau setidaknya mendekati apa yang dikehendaki keduanya. Hasil beragam dan memunculkan ragam pemahaman, baik di dalam kajian tafsir maupun hukum.Kemudian semuanya menjadi rujukan dan jembatan untuk memahami dua kitab agung tersebut. Tapi, tidak semua pemikir tersebut terus bisa untuk jadi rujukan, karena diantara pemikir tersebut masih ada yang masih perlu dipikirkan. Dan tulisan ini akan mencoba untuk ikut memikirkan para pemikir-pemikir tersebut.

Kaum Pluralis
Menurut kaum Pluralis, semua agama adalah benar dan sah, karena menurut mereka semua bermaksud sama, mencari kebenaran. Hanya saja, setiap agama saling berbeda cara dalam menjalaninya, kerena masing-masing memiliki takaran yang berbeda  tentang kebenaran dan Islam dalam hal ini dengan  takaran al Quran dan Haditsnya adalah salah satu cara dari sekian banyak jalan kebenaran.

Kaum Pluralis, dengan pemahamannya yang dia miliki ingin mencoba menghilangkan kontradiksi ajaran antar agama, karena menurut mereka agama tujuannya sama, mencari kebenaran dari Tuhan, dan pembeda-bedaan antara agama berdasarkan benar dan salah akan memungkinkan munculnya tindak kekerasan dengan dalih agama, karena setiap umat beragama memiliki rasa bahwa agamanya adalah yang paling benar. Semua agama dianggap sama, sama-sama untuk mengabdi kepada Tuhan, walaupun cara, agama dan keyakinan berbeda.

Pemikiran ini sebenarnya ingin menghilangkan kontradiksi akan tetapi malah memunculkan ragam kontradiksi. Membenarkan semua hal yang saling kontradiksi adalah hal yang tidak masuk akal, karena dalam kenyataanya ajaran agama-agama memang saling kontradiksi satu sama lain. Misalnya dalam kehidupan ber-Tuhan, jika semua pemahaman tentang Tuhan dari semua agama dibenarkan, yaitu tentang siapakah sebenarnya itu Tuhan? Siapa nama-Nya ? Bagaimana sifat-sifat-Nya? Maka akan rancu, karena tidak mungkin semua kriteria yang difahami semua agama semuanya benar, karena setiap agama saling kontradiksi dalam memberi kriteria, walaupun yang mereka kehendaki sama, yaitu Tuhan. Nasrani dengan trinitasnya meyakini Tuhan terbagi tiga, Tuhan Bapa (God the Father), Tuhan anak (Jesus the Christ) dan Tuhan Roh Kudus (The Holy Spirit); Dan ketiga-tiganya didalam keyakinan mereka merupakan sehakikat dan satu dalam kesatuannya. Yahudi selain meyakini Uzair sebagai anak Allah juga meyakininya sebagai Tuhan. Islam mengatakan Tuhan hanya satu, tidak beranak dan tidak diperanakkan.

Dari kriteria yang beragam dan saling kontradisksi ini, mungkinkah semuanya benar? Sangatlah tidak munkin. Apakah mungkin akal kita membenarkan sebuah pemahaman: bahwa Tuhan itu hanya satu, ya dua, ya tiga. Tidak beranak juga mempunyai anak, bukan hasil peranakan juga hasil peranakan. Menjadi sangat membingungkan bila semua benar, karena semua saling kontradiksi dan tidak bisa dipertemukan. Kaum Pluralis ibarat seorang guru mengajukan pertanyaan kepada muridnya: "Anak-anak, Ir. Sukarno itu persiden RI yang keberapa? Dan dijawab para murid dengan jawaban beragam: "ke-I Bu!, ke-II Bu!, ke-III Bu!" Dan kemudian guru tersebut memberi kunci jawabannya: bahwa semua jawaban murid benar.

Didalam keberagaman kriteria serta saling kontradiksi tersebut kalau tidak semuanya salah, maka harus ada salah satu yang benar dan yang lainnya salah dan tidak munkin semua benar. Sebelum mengatahui benar dan tidaknya kriteria-kriteria tersebut, maka harus diketahui terlebih dahulu dari mana sumber atau takaran kriteria tersebut. Kemudian bagaimana dengan sumber tersebut, apakah kuat untuk dijadikan rujukan, baik dinilai dari kevalidan, keakuratan ataupun keorisinilan dan kemudian baru kita fahami isinya. Dan sekarang kita bisa melihat dari sekian banyak agama, mana kitab suci yang dijadikan rujukan atau takaran umat beragama dalam memahami kebenaran yang masih murni. Taurat telah mengalami perubahan, begitu juga Injil sudah tidak asli, dan hal ini diakui para orientalis dan teolog mereka sendiri setelah mereka melakukan penelitian. Dan kini sejarah telah membuktikan tentang keorisinilan al Quran, dan Hadis Nabi telah diketahui mana yang yang dapat diterima (maqbul) atau tidak diterima (mardud) sebagai rujukan. Disini terjawab dari sekian kriteria yang saling kontradiksi, kriteria yang mana yang harus dipilih dan jika ada sumber rujukan agama yang telah gagal menjaga kemurnianya, tidak meyakinkan bahwa dia asli dari Nabi, kenapa masih diyakini kebenaran isinya. Siapa yang salah memberi kriteria siapa itu Tuhan, maka telah salah dalam mencari dan menemukan Tuhan. Dan tidak membenarkan semua kontradiksi tersebut kecuali orang yang cara berfikirnya kontradiksi.

Adapun alasan untuk menghilangkan kekerasan atas nama agama dengan membenarkan semua agama adalah sudah jelas salah, dan hal ini tidak akan bisa
diterima oleh semua pihak yang sama-sama dibenarkan. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana menyikapi perbedaan dengan bijaksana, tanpa harus membenarkan yang salah, karena untuk menghormati orang lain kita tidak harus menyetujui atau membenarkan pendapatnya, itu bukan syarat atau sesuatu yang mengikat. Bukan berfikir sempit: dengan berfikir, bahwa untuk menghormati orang lain kita harus membenarkan pendapatnya.

Kaum Islam Liberal
Tak jauh beda dengan kaum Pluralis, kaum Islam Liberal mencoba menghilangkan
pertentangan antara Islam dengan semua peradaban dan kebudayaan dunia, mereka mencoba menafsir ulang tentang Islam, al-Quran dan Hadis agar bisa merestui seluruh peradaban dan kebudayaan. Mereka mengakui al Quran sebagai wahyu Tuhan, tetapi menurut mereka proses turunnya wahyu dipengaruhi oleh budaya Arab, seperti kasus qisos yang telah ada di dalam budaya Arab yang kemudian dilegalkan oleh wahyu al-Quran. Mereka menilai, yang terpenting adalah memahami nilai atau pesan yang ada di dalam hukum-hukum al-Quran, bukan bentuk aturannya. Qishos yang dipraktekkan di zaman Nabi, adalah sebagai bentuk pelaksanaan pesan Tuhan agar menghukum orang yang membunuh atau melukai tubuh orang lain. Disini yang menjadi pesan adalah menghukum orang yang melakukan pembunuhan, bukan bentuk hukuman (qishos) tersebut, adapun bentuk hukumannya adalah dari budaya Arab. Kini zaman bebeda, tempat orang muslimpun berbeda-beda. Untuk menghukum orang yang membunuh, boleh beragam cara, menyesuikan budaya masing-masing. Pesan al Quran adalah agar kita memberi sanksi, bukan qishosnya.

Dengan cara berfikir mereka, Islam menjadi tunduk terhadap realitas, karena cara berfikir mereka mengharuskan agar semua realitas yang ada dapat direstui oleh Islam, dengan merubah cara penafsiran tentang Islam. Dan akhinya Islam dihakimi dan diarahakan oleh realitas, bukan Islam yang menjadi hakim dan yang mengarahkan realitas. Para pemikir liberal menggunakan hermeneutika untuk mentafsiri teks al-Quran, yaitu metode filsafat tafsir yang awalnya diciptakan para teolog Nasrani untuk memahami Injil. Hermeneutika muncul akibat keputus-asaan mereka setelah melakukan penelitian, bahwa ternyata injil sudah tidak asli lagi. Tapi, mereka tetap merasa perlu untuk mempertahankan Injil yang ada. Karena teksnya sudah tidak asli lagi, maka bagi mereka cukup mengambil pesan-pesan yang ada di dalam kitab tersebut, dan kemudian metode hermeneutika ini mereka ciptakan untuk memahami pesan-pesan yang dinilai muncul dari dalam kitab tersebut tanpa terpaku pada teks yang ada.

Para pemikir liberal kemudian tertarik dengan metode hermeneutika untuk digunakan memahami al-Quran dengan teksnya yang masih asli. Diantara mereka
ada yang mencoba membuat inovasi-inovasi baru di dalam hermeneutika, seperti Nashr Hamid Abu zaid dan Muhammad Arkoun. Dengan menggunakan metode ini akan berakibat banyaknya hukum-hukum yang telah digali para ulama terdahulu terganti, sesuai yang dikehendaki pengguna metode tafsir ini, karena metode sangat bias. Dengan berpendapat "inilah pesan yang dikehendaki al Quran" dan kemudian menyimpulkan hukum-hukum baru tanpa terikat terhadap teks yang ada di dalam al Quran.

Kalau kita mau memahami, sebenarnya kesimpulan-kesimpulan hukum telah mereka miliki, sebelum mereka menggali dasarnya dari al Quran. Al Quran tak lebih hanyalah sebagai alat legitimasi pemikiran mereka, dengan mengolah penafsiran agar sesuai dengan yang mereka kehendaki, bukan sebagai sumber hukum. dan hasilnya kini dapat kita lihat:, muslimah menurut mereka tidak wajib memakai jilbab dan zina dengan menggunakan kondom bukan lagi zina.

Adanya kesamaan sebagian hukum Islam dengan budaya Arab, sebagai tempat turunnya Islam, bukan berarti menunjukkan Islam terpengaruh dengan budaya Arab. Islam datang dari sang pencipta realitas (Tuhan) untuk mengarahkan realitas, baik realitas yang sedang, ataupun yang akan terjadi, agar sesuai dengan syariat Tuhan, bukan untuk dihakimi agar sesuai dengan realitas, karena realitas bisa benar bisa juga salah. Konsep Islam telah Allah persiapkan sebelum semua realitas di dunia ini ada, dan bila ada hukum Islam yang kebetulan sama dengan budaya Arab di saat turunnya Islam, bukan berarti Islam mengadobpsi atau terpengaruh budaya Arab, karena Islam ibarat nilai, yang bertugas membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah, jika realitas itu benar maka akan dibenarkan. Dan juga perlu diketahui, bahwa konsep qisos yang telah ada pada jaman jahiliyah adalah peninggalan syariat Nabi terdahulu   (syariat man qoblana), bukan asli budaya Arab. Jika hal itu berjalan di dalam budaya Arab, Arab dalam hal ini hanyalah sebagai pelaku budaya, bukan pencipta budaya itu sendiri, yang menciptakan budaya tersebut adalah syariat Nabi terdahulu, jika ajaran Nabi terdahulu bersumber dari wahyu Allah dan ajaran Nabi Muhammad juga dari wahyu yang sama, yatu Allah SWT maka dakwaan pengaruh-mempengaruhi tidak dibenarkan, karena sumbernya satu.

Jika kita berdalih," Jika Islam tidak terpengaruh budaya Arab, maka semestinya hukum Islam tidak ada yang sama dengan budaya Arab". maka sama dengan kita menginginkan patokan Islam berubah menjadi "yang penting beda dengan Arab", bukan membenarkan yang benar jika sesuai dengan Islam. Dan begitupun jika kita mengatakan, bahwa bentuk hukum Islam pasti dari Arab, maka kita merubah patokan Islam menjadi "yang penting sama dengan Arab" tidak menyalahkan yang salah jika tidak sesuai dengan Islam. Kenyaatan telah membuktikan bahwa tidak semua budaya Arab di zaman Nabi SAW direstui oleh Islam, bahkan Islam merombak realitas budaya Arab dan menciptakan realitas baru di jazirah Arab dan dunia, dan budaya Arab yang ada sebelum datangnya Islam dan kemudian dipertahankan oleh Islam sangat sedikit, inipun dengan pertimbangan karena sesuai dengan Islam. Wallahu a'lam bisshowab.

Oleh: Zarnuzi Ghufron, Mahasiswa Tingkat III Fakultas Sari'ah Universitas Al-Ahgaff, Hadramaut Yaman dan saat ini menjabat sebagai ketua Forum Diskusi Mahasiswa Indonesia (FoKuS-Indo) di Universitas Ahgaff.