Berkata sayyid Abdullah al-Haddad: saudaraku, hendaklah engkau
memperbaiki niat dan ke-ikhlasannya serta merenungkan sejenak sebelum
memulai aktifitas, karena niat adalah pondasi bagi amal perbuatan
sedangkan amal perbuatan akan mengikuti bagaimana niat seseorang antara
baik dan buruk, sah dan fasid (rusak)nya amal. Telah bersabda
Rasulullah SAW.
ÞÇá Õáì Çááå Úáíå æÓáã "ÅäãÇ ÇáÃÚãÇá ÈÇáäíÇÊ æÅäãÇ áßá ÇãÑÆ ãÇ äæì“
sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dengan niat dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan”
Oleh karenanya seyogyanya tidaklah seorang berkata, berbuat dan ber-‘azam kecuali semata-mata diniatkan untuk mendekatkan diri pada Allah, mengharapkan pahala yang telah Allah sediakan pada setiap perbuatan yang dikerjakan sebagai anugerah.
Perlu digarisbawahi bahwa mendekatkan diri pada Allah (taqorrub) akan dinilai tidak sah kecuali dengan mengikuti petunjuk yang telah diajarkan oleh utusan-Nya baik berupa kewajiban (faraid) maupun nawafil (ibadah-ibadah sunnah). Ada kalanya niat yang benar dalam perkara mubah (sesuatu yang diperbolehkan tanpa ada perintah atau larangan) akan bernilai qurbah (mendekatkan diri) pada Allah dari sisi: “hukum wasilah (perantara) sama dengan hukum maqoshid (tujuan)”, seperti seorang yang pada saat makan berniat agar mampu dan kuat melaksanakan ketaatan pada Allah, demikian juga seorang suami yang pada saat menggauli istrinya berniat agar mendapatkan keturunan yang diharapkan dapat beribadah pada Allah Swt.
Kejujuran sebuah niat disyaratkan perbuatannya tidak menyelisihi niatnya, orang mencari ilmu misalnya yang menyangka bahwa niatnya dalam mencari ilmu adalah agar dia faham dan bisa mengajarkan ilmunya, ketika kondisinya memungkinkan untuk melakukan hal itu –mengajar- dan ia tidak melakukannya maka pebuatannya itu telah menyelisihi niatnya. Contoh lain seorang yang mencari harta dunia dan dia merasa bahwa perbuatannya itu diniatkan agar tidak meminta-minta pada orang lain, bersedekah pada mereka yang membutuhkan dan supaya dapat mengeratkn tali silaturrahmi, maka sekiranya dia tidak melakukan apa yang pernah ia niatkan di kala kondisi memungkin sungguh niatnya tidak ada atsarnya (efek).
Dan niat sama sekali tidak dapat memberikan pengaruh apapun pada perbuatan maksiat sebagaimana halnya membersihkan najis aini yang tidak bakal bisa menjadi suci. Seperti seorang yang ghibah pada muslim yang lain, meskipun apa yang diceritakan sesuai dengan realita kemudian dia berniat untuk membuat senang lawan bicaranya maka tetap saja ia termasuk orang yang ghibah. Demikian halnya dengan orang yang diam tidak beramar ma’ruf dan melarang kemungkaran, kemudian dia niatkan ke-diamannya itu adalah untuk menjaga perasaannya maka dia akan juga mendapatkan dosa. Karenanya niat jahat dan buruk akan menodai amal perbuatan dan amalan yang semula baik akan menadi tidak baik. Seperti orang yang berbuat amal saleh namun bertujuan agar mendapatkan harta dan kedudukan.
Maka seyogyanya jadikanlah niat dalam segala amal ibadah hanya semata-mata karena mengharap ridho Allah, dan berniatlah setiap melakukan amalan yang mubah untuk memudahkan melakukan amalan ketaatan pada Allah.
Untuk diketahui, bahwsanya sangat dimungkinkan satu ketaatan dengan beraneka niat, dan bagi pelakukan mendapatkan pahala sempurna atas segala yang niatkan itu. Contohnya ketika membaca al-Qur’an yang diniati untuk bermunajat pada Allah, berniat untuk menggali keilmuan yang ada karena al-Qur’an adalah sumber ilmu dan berniat agar memberikan manfaat bagi dirinya maupun mustami’in.
Dinukil dari: “risalah al-mu’awanah” oleh Sayyid Abdullah al-Haddad