http://www.english.hadhramaut.info
Uniknya Menikah di Hadhramaut
[The Source: hadhramaut.info/indo - 28/5/2008]
Seorang pria menanyakan pada keluarganya tentang calon pendamping hidup
yang baik. Tentunya, sang anak lelaki juga ditanya keluarga tentang
calon istri yang diidamkannya. Setelah itu, ibu atau saudara perempuan
“menawarkannya” pada beberapa gadis. Bisa di daerah tempat ia tinggal,
atau daerah lain. Demikian langkah awal bila pemuda Hadhramaut ingin
menikah.
Jika gayung disambut, fase selanjutnya adalah saling tukar informasi. Pihak lelaki perlu penjelasan tentang karakteristik si gadis, dan sebaliknya. Jika kedua pihak bukan kerabat, pihak lelaki mengirim utusan untuk mengambarkan berita kedatangan keluarga calon mempelai pria yang ingin meminang anak gadis mereka. Utusan ini adalah sukarelawan kabilah yang menangani masalah pernikahan. Sang negoisator segera menginformasikan pada pihak lelaki bila keluarga perempuan memberi sinyal positif.
Setelah kedua pihak sama-sama setuju dengan “perjodohan” ini, perundingan melangkah pada tahap yang lebih jauh, tentang mas kawin dan hari "H" yang biasa disebut Madad. Pertunangan pun dianggap resmi dan bisa diketahui khalayak.
Pada hari penyerahan mahar, rombongan mempelai pria berangkat menuju rumah mempelai wanita. Resepsi akan berlangsung meriah. Sajian siap dihidangkan. Tak lupa, teh Arab yang kental. Mempelai wanita telah bersolek dengan pernik-pernik khas Arab. Kamar pengantin telah dihias dan diberi aroma wangi-wangian kayu gaharu (bukhur).
Pagi hari setelah malam pertama berlau, acara dilanjutkan dengan penerimaan tamu undangan. Sore harinya, dilangsungkan pesta resepsi pernikahan di kedua belah pihak.
Tetamu laki-laki datang ke rumah mempelai pria. Di sana ada kelompok group tari (syarh), lengkap dengan seruling, gendang, dan para penari yang disebut mudarajah. Mereka melewatkan malam dengan berkeliling dan membentuk lingkaran. Lalu seorang penari masuk kedalam lingkaran yang disebut madarah. Bersama penari itu, mereka berbelok-belok lalu membungkukkan badan dengan menabuh gendang dan menyerasikan gerakan tarian yang terletak pada irama ‘wa alu hubaisy… wa alu hubaisy... Gerakan tarian yang mereka miliki ini ada dua macam, yaitu quthni dan duhaifah.
Bila satu orang merasa capek, penari meraih tangan salah satu hadirin lain sebagai gantinya. Begitu seterusnya bergantian. Selanjutnya, mereka mulai berdiri. Saling memukulkan tangan satu ke tangan yang lain dengan diiringi melodi seruling dan tabuhan gendang. Gerakan tarian ini diiringi dengan lantunan bait-bait. Lagunya dilantunkan bersamaan oleh dua kelompok. Di antara lagunya adalah Muhsin Qola fi al-Wadi. Kelompok kedua melantunkan bait kedua dengan judul wa al-Dlawi ma'a an-Najmah. Acara ini berlangsung hingga tengah malam. Wajah mempelai wanita tidak boleh dibuka kecuali hanya di hadapan mempelai pria pada malam pertama. Hari itu orang menyebutnya dengan qabdhah. Dahulu, seorang mempelai wanita tidak mengetahui bahwa dirinya akan dinikahkan, karena sebelumnya memang tidak diberi tahu. Pada hari qabdhah inilah dia baru mengetahui kalau dirinya akan dinikahkan. Para wanita membawa calon mempelai wanita ke salah satu ruang rumahnya, untuk memberi tahu bahwa dirinya akan dipinang seseorang. Saat itu juga mempelai wanita menanyakan calon yang akan menikahinya. Setelah tahu, ia bebas untuk menerima atau menolaknya.
Jika menerima, para wanita kemudian mengelilingi calon mempelai yang telah ditemani pendamping (shibyah). Mereka melukis kedua ujung tangan dan kakinya dengan hinna (daun inai atau pacar). Lalu ditabuh gendang dan disenandungan irama syair wah duuni wah duuni. Mereka menari hingga sore hari. Para penyanyi melantunkan lagu percintaan dan pujian bagi keluarga kedua mempelai.
Pada hari kedua, yang disebut dengan haraawah, setelah shalat ashar tamu undangan berkumpul. Setelah gendang dan seruling dimainkan, mempelai pria keluar menemui mereka. Ia lalu duduk di atas kursi di tengah lingkaran. Para penari membungkukkan badan disekelilingnya, sambil diiringi melodi seruling dan lagu hannu lahu wa ghalaba ma yuhanni (sayangilah dia dan beruntunglah orang yang menyayanginya, pen).
Seseorang utusan datang membawa sabun, sisir, dan air untuk mengeramasi rambut mempelai pria. Mereka memperpanjang proses pemandian itu hingga tarian usai. Setelah itu, undangan bergantian menyisir rambutnya dan melantunkan haukah, yakni bersama-sama di sekitar mempelai pria menyanyikan, “qath han ghalabuhu kam mir qubaili kasarna bihi wa li abahu wa li abahu.”
Setelah selesai, mempelai pria berganti baju pernikahan. Adatnya, ia membawa tongkat ditangannya. Kemudian diletakkan syal (semacam selendang) di atas pundaknya. Mempelai pria bersama rombongannya lalu masuk kedalam rumah mempelai wanita dengan disambut zagharid (siulan khas Arab). Undangan wanita bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW menyambut kedatangan mempelai pria.
Setelah itu, waktunya untuk "tharah", yaitu mempelai pria mengumpulkan uang yang diambil dari para hadirin yang ditemuinya, sambil menyebut setiap nama dan jumlah uang yang disumbangkan.
Kemudian "haraawah" dipanggil. Yang diamksud dengan haraawah adalah seseorang yang dipilih dari setiap suku untuk menemani mempelai pria ke rumah mempelai wanita. Ini asalnya bertujuan untuk melindungi mempelai pria dari penjagal, perampok, penyamun, atau dari gangguan lain.
Semua itu telah diperhitungkan, bila telah terjadi permusuhan dengan daerah yang akan dilewatinya. Atau daerha yang dilewati itu kurang aman. Adat atau kebiasaan ini pun masih berlaku hingga saat ini.
Semua hadirin keluar mengucapkan selamat tinggal kepada mempelai pria. Penyair beraksi sambil bernyanyi bersama-sama. Adat ini disebut dengan zamiil, dilakukan oleh dua kelompok. Kelompok pertama membaca bait dari awal dan kelompok kedua membaca bait kedua. Syair yang paling mereka senangi adalah syair yang didendangkan oleh penyanyi yang telah mengerti irama zamiil. Syair-syair ini isinya memuji pihak keluarga dan pengantin. Tembakan senapan ikut meramaikan acara zaamil ini. Sekaligus sebagai bukti kekuatan mereka.
Setelah mempelai pria pergi, para undangan menuju sebuah tempat untuk bertarung panah dengan sebuah pukulan yang dinamakan nasha' atau gharadh. Setiap kabilah merasa bangga bila busur salah satu anggota kabilah mereka mengenai sasaran.
Setelah itu mereka pergi untuk makan malam, yang dilakukan sebelum maghrib. Ini merupakan bagian dari adat lama. Setelah makan, tari-tarian kembali meramaikan suasana sampai shalat Isya' hingga tengah malam.
Sekarang giliran acara di pihak mempelai pria. Mereka menyambut kedatangan keluarga mempelai wanita. Para undangan berdiri membentuk barisan lurus. Mempelai pria mengutus orang yang dituakan dalam haraawa untuk menyalami para tamu dan diikuti semua rombongan. Para tamu lalu dipersilakan duduk di tempat yang yang telah dipersiapkan. Acara selanjutnya adalah makan malam.
Setelah makan malam, mempelai wanita bersiap-siap menuju rumahnya yang baru. Orang-orang yang ikut dalam harawah tidak boleh pergi kecuali setelah kedua mempelai sampai di rumah mereka. Sebelum meninggalkan mempelai wanita, para wanita mengucapkan selamat tinggal padanya. Ini dinamakan salih.
Mempelai wanita bersama dengan sanak saudara dan para undangan wanita menuju kendaraan khusus yang mengangkut mereka menuju rumah mempelai pria. Ini disebut rawakib. Tidak ayal lagi, kedatangan mempelai wanita disambut dengan riuh gembira siulan kebahagiaan.
Mempelai wanita lalu menuju kamar yang telah dipersiapkan, ditemani sekelompok wanita. Setelah itu ibu mempelai wanita masuk ke dalam kamar bersama para tamu untuk mengamati keadaan kamar yang dipersiapkan sang pria untuk isterinya. Sekembali dari sana mereka menceritakan kepada penduduk desanya tentang apa yang mereka lihat, juga sambutan dan penghormatan yang mereka terima. Kemudian beberapa orang membagi-bagikan manisan dan kue kepada para tamu. Sebagian kalangan menyatakan ini merupakan tradisi baru.
Setelah itu mempelai pria memanggil mempelai wanita untuk menemuinya, dan diperintah untuk mencium tangan ibu mertua. Setelah itu mempelai wanita menyalami mempelai pria dan duduk disampingnya. Lalu datang seorang utusan perempuan untuk membuka penutup wajah mempelai wanita. Namun sebelum membuka, adatnya, wanita itu minta ‘bayaran’ untuk pekerjaan itu.
Terbukalah wajah sang istri. Wajah yang selama ini tentu membuat penasaran mempelai pria. Saat itu, siapa pun tidak boleh berada di tempat itu. Hanya sang suami bersama istrinya. Waktu pagi hari, yang disebut dengan subhah, para undangan berdatangan untuk makan pagi dan mengucapkan selamat kepada mempelai pria karena telah bermalam bersama sang istri. Dulu persiapan hidangan makan pada pukul 09.00 pagi, namun sekarang disesuaikan dengan kondisi. Kebanyakan makan pagi itu dialihkan menjadi makan siang setelah dhuhur. Pada sore harinya adalah acara yang disebut bait. Para wanita undangan berkumpul dan menabuh gendang dengan gembira ria sambil menari dengan kaki terikat gelang yang tebuat dari perak (zapin), seperti yang dikatakan dalam syair, "Dan terdengarlah suara perhiasan yang bergemerincing apa bila terkesiap seperti halnya suara perhiasan yang dihembus oleh udara."
Para undangan wanita itu menunggu mempelai wanita yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Karena merupakan adat, mempelai wanita tidak boleh dilihat siapapun sebelum mempelai pria.
Mempelai wanita keluar setelah berdandan dengan memakai perhiasan yang dihadiahkan keluarganya. Juga hadiah dari suami tercinta. Para undangan wanita menyambut dengan suka ria dan siulan.
Mempelai pria kembali bertemu mempelai wanita sebelum shalat Maghrib. Setelah istrinya itu menari bersama sanak saudara atau wanita lain. Tradisi Ramadhan di Hadhramaut
Bulan Ramadhan bulan suci penuh maghfirah. Kedatangannya sangat ditunggu oleh semua pemeluk agama Islam. Tiap negara punya tradisi masing-masing untuk menyambutnya.
Di Shibam, salah satu kota bersejarah di Hadhramaut, penyambutan Ramadhan jauh-jauh hari telah dilakukan penduduk kota ini. Pada tanggal 14 Sya'ban, penduduk laki-laki mulai dari kakek-kakek sampai anak-anak yang baru bisa berjalan, berkumpul di Masjid Jami' Harun Al-Rosyid, untuk melaksanakan shalat Ashar berjemaah. Setelah itu, para jama’ah membaca Surat Yasin tiga kali. Setiap selesai membaca Surat Yasin, mereka membaca do'a Sya'ban.
Setelah itu, penduduk menuju makam Jareb Haisham, dipimpin oleh kepala sukunya masing-masing. Sampai di makam, sebelum duduk mereka menghadap ke arah makam Zambal di kota Tarim (sekitar 80 Km dari kota Syibam). Mereka membaca surah Al-Fatihah yang dihadiahkan kepada para arwah di sana.
Menjelang shalat Maghrib, penduduk kembali menuju masjid Bin Ahmad untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Selesai shalat, mereka membaca surah Yasin dan do'a. Selesailah kegiatan pada hari itu dan mereka kembali ke rumahnya masing-masing.
Juga untuk menyambut Ramadhan, penduduk Hadhramaut merenovasi rumahnya. Mereka persiapkan kebutuhan-kebutuhan Ramadhan, baik untuk buka puasa dan sahur, seperti beras, gandum dan sebagainya.
Shalat tarawih di masjid-masjid Hadhramaut tidak jauh berbeda dengan negara-negara lainnya, yaitu dilakukan setelah shalat Isya'. Namun di kota Shibam dan Tarim, ada keunikan tersendiri.
Di Tarim, tiap masjid menyelenggarakan tarawih dalam waktu berbeda. Bahkan, ada yang menggelarnya dekat waktu sahur. Semangat qiyamu al lail (menghidupkan malam-malam Ramadhan) begitu terasa. Seperti di tempat lain di Semenanjung Arab, Ramadhan di Hadhramaut jatuh pada musim dingin yang suhunya berkisar sangat fluktuatif, antara 2 derajat hingga 20 derajat Celcius. Tarim, salah satu kota tua di Hadhramaut yang luasnya tak lebih seperti ibukota kecamatan di Indonesia, memiliki 365 masjid, sama dengan jumlah hari dalam satu tahun. Sebagian masjid itu telah berumur ratusan tahun dan rata-rata terbuat dari tanah, seperti rumah yang biasa berdiri di Hadhramaut.
Pada bulan suci ini tiap masjid menyelenggarakan shalat tarawih pada waktu yang berbeda. Misalnya saja di Masjid As-Sakran, tarawih dilaksanakan pada pukul 21.00 waktu setempat. Pendiri Masjid As-Sakran adalah Habib Abu Bakar As-Sakran yang kumpulan do'anya dikenal di Indonesia dengan Wirdu As-Sakran.
Sekitar seratus meter dari Sakran, terdapat Masjid Ba'alawi, dibangun oleh Imam Ali bin Alawi Khali' Qasam (529 H). Masjid yang mempunyai 'kembaran' di Singapura ini, menyelenggarakan tarawih pada pukul 23.00. Di Masjid Al-Muhdlar pada pukul satu tengah malam. Dan menjelang sahur atau sekitar pukul 02.30, para jamaah bisa mengikuti sholat tarawih di Masjid Jami, masjid terbesar di Tarim. Demikian dengan ratusan masjid lain yang mempunyai 'jam khusus' namun selalu dipenuhi para jamaah.
Pembagian waktu ini telah ada sejak berabad-abad, dan tak pernah berubah sepanjang tahun. Umumnya penduduk kota telah mengetahui jadwal tersebut dan 'tinggal pilih' akan melaksanakan Sholat Terawih di masjid mana.
Fenomena ini, tentu saja menciptakan suasana unik dan menarik. Di malam-malam bulan Ramadhan, beberapa kelompok orang saling berpapasan di jalan. Sebagian pulang dari masjid, dan sebagian lagi baru akan melaksanakan sholat.
Banyak pula yang melaksanakan shalat tarawih lebih dari satu kali. Usai shalat, sebagian jamaah tidak segera beranjak pulang. Mereka tetap duduk di masjid sambil bersama membaca do'a yang biasa dibaca pada bulan Ramadhan. Dilanjutkan kemudian dengan bacaan pujian-pujian nabi yang disebut Al Fazaziah.
Pada malam pertama Ramadhan, biasanya disenandungkan nasyid khusus. Nasyid yang dibaca berkelompok juga ada yang khusus dibaca pada malam ke-11, 17, dan 21. Tiap nasyid mempunyai nada lahn berbeda-beda.
Bersamaan dengan bacaan shalawat dan do'a, para jamaah bisa menikmati secangkir kopi Arab (zanjabil). Minuman yang konon mulai banyak dikonsumsi pada abad 8 Hijriah ini, tak pernah absen pada acara-acara kumpulan semacam maulid nabi, hadrah, majlis taklim dan acara ritual lainnya. Pada acara-acara tersebut juga dibakar bukhur (kayu gaharu) yang didatangkan dari negara-negara Asia Tenggara.
Sekitar 5-7 orang laki-laki berkeliling di dalam masjid dan 'mempersilahkan' para jamaah menikmati aromanya yang khas. Harga kayu gaharu bermacam-macam. Jenis yang bagus, sebesar jari manusia bisa mencapai 2 ribu Real Yamani. (Satu dolar AS senilai 180 Real). Setelah membaca do'a penutup dan Surat Al Fatihah, para jamaah beranjak meninggalkan masjid. Sebagian kembali ke rumah, atau pergi ke masjid lain untuk melaksanakan shalat yang kesekian kali. Rata-rata orang Hadhramaut melaksanakan sholat tsrawih satu sampai tiga kali pada tiap malam.
Tradisi lain yang ramai saat Ramadhan di wilayah yang dalam Alquran disebut Al-Ahqaf (bukit-bukit pasir berbatu) ini adalah perayaan khatam Alquran yang dikenal dengan khatm ar rubu' (khatam empat), karena Alquran tamat dibaca pada tiap empat malam. Ini dilakukan di masjid-masjid besar. Di masjid yang relatif lebih kecil khataman Alquran memakan waktu 6 hari dan dinamakan khatm as sit. Alquran dibaca bergantian sebelum shalat tarawih dengan bacaan Dury riwayat Abi Amr, salah satu qira'ah tujuh.
Pada sepuluh hari terakhir, acara khatam sengaja diselenggarakan pada tanggal-tanggal ganjil dengan harapan dapat memperoleh keutamaan malam Lailatul Qadar. Pada saat itu, penduduk di sekitar masjid yang akan melaksanakan khatam, saling bergantian menjamu kerabat dan tetangga untuk berbuka atau makan malam bersama.
Di Hadhramaut, ada pemisahan antara iftar (buka puasa) dan asya' (makan malam). Menu iftar umumnya adalah syurbah (bubur ayam atau daging), kurma, dan kopi pahit sebagai penawar manisnya kurma. Baru kemudian, selang satu atau dua jam makan malam dengan menu utama nasi kuning dan daging kambing.
Sebelumnya, di sore hari, anak-anak lelaki dan gadis-gadis kecil berpindah-pindah dari rumah ke rumah sambil bersahutan membaca lantunan syair. Kumpulan lantunan ini mereka sebut 'Al Khitami', berasal dari kata khatm. Setelah membaca nasyid-nasyid tersebut mereka berhak mendapat hadiah dari para orang tua, sebagai rasa syukur dan ungkapan kegembiraan setelah mengkhatamkan Alquran 30 juz.
Anak-anak kecil juga 'mempunyai tugas' saat khatam di masjid pada malam harinya. Mereka membaca do'a bir al walidain yang bibaca bergantian melalui pengeras suara, di antara rangkain do'a yang dibaca kaum tua. Bertindak sebagai 'tuan rumah' adalah keluarga 'pemilik' masjid atau keturunan pendirinya. Imam masjid biasanya adalah munshib atau pemimpin kabilah tertentu.
Penduduk Hadhramaut terbagi dalam kabilah-kabilah yang dikepalai munshib yang berasal dari keturunan sayyid (keturunan Rasulullah). Klasifikasi kabilah tersebut bukan berarti membentuk kelas atau perbedaan sosial, namun banyak berperan dalam acara keluarga, seperti perkawinan. Tiap munshib menjadi penghulu mempelai lelaki yang berasal dari marganya.
Acara khatam pada sepuluh hari terakhir mempunyai warna khusus dan lebih meriah. Karena itu jumlah besar jamaah meluber hingga ke halaman, bahkan gang-gang di sekitar masjid. Tidak hanya dari dalam kota, para jamaah juga berdatangan dari luar daerah. Acara terbesar pada malam ke-29 diselenggarakan di Masjid Al Muhdlar, masjid terbesar kedua setelah Jami. Masjid ini didirikan oleh Imam Umar Al Muhdlar (833 H) dan konon merupakan masjid bermenara tertinggi di dunia yang terbuat dari tanah.
Julukan Daerah dan Kota di Hadhramaut
Setiap daerah dan kota di Hadhramaut mempunyai julukan masing-masing, sebagaimana ditulis Sayyid Umar bin Abdullah bin Yahya dalam kitabnya al-Maidan fi Alqab al-Buldan. Penamaan daerah dan kota itu ia susun dalam bentuk syair sebanyak 500 baris. Sebagian julukan itu, seperti :
Seiyun dijuluki Jurrah. Ghurfah dijuluki Shurbah. Shibam dijuluki Hakgagah. Taribah dijuluki Makhrugoh. Hautoh Sulthonah dijuluki Karim wa Akram. Tarem dijuluki Khiyyilah. Ba'lal dijuluki Yuwah.
|