http://www.english.hadhramaut.info Perlunya Transformasi Dalam Pendidikan Syari’ah [The Source: indo.hadhramaut.info - 25/01/2011]
Islam merupakan ajaran yang qoth’i (pasti: Indo). Para ulama mendefinisikan Islam sebagai suatu tatanan yang diciptakan oleh Allah swt untuk menjaga dan memperbaiki kehidupan dunia dan akhirat manusia dengan perantara para nabi atau utusan- Nya[1]. Namun, yang perlu kita tanyakan sekarang adalah “Apakah agama itu statis atau dinamis?”.

Secara umum, penulis mengatakan “agama itu statis”, karena dasar agama adalah wahyu yang tidak bisa dirubah atau amandemen yang tidak dapat dihapus oleh manusia (Ditinjau dari keberadaan nash di dalamnya: red). Menyadari hal tersebut, timbul pertanyaan lain yaitu “Apakah kita akan membiarkan agama ini statis, dan akhirnya ditelan oleh zaman?. Allah swt menjawab sendiri dalam firman- Nya bahwa Islam merupakan ajaran “Rahmatal lil ‘Alamin”. Karena dalil inilah, akhirnya muncul kata “Elastisitas Syari’ah” yang berarti syari’ah dapat diterima dimana saja dan kapan saja.

Perlu diketahui pembaca, disini penulis tidak ingin mengatakan bahwa agama harus menyesuaikan dengan keadaan manusia yang cenderung berubah- ubah, namun bagaimana agama tidak mempersulit kehidupan manusia dengan ke-statisan-nya tersebut. Karena ada salah satu  kaidah ilmu Ushul mengatakan “Mudahkanlah!! Jangan mempersulit!!”.

Melihat permasalahan yang muncul di atas, penulis mencoba mengkorelasikannya dengan metode pendidikan Islam. Sebagaimana yang kita ketahui, pendidikan merupakan faktor penting untuk menentukan kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia bisa meningkatkan kualitas hidupnya. Kemajuan yang dicapai peradaban Islam pada zaman kekhalifahan tidak lepas dari keberhasilan dan kemajuan dunia pendidikan Islam. Pada zaman tersebut, kota-kota dalam negara  Islam telah menjelma menjadi pusat pendidikan dan peradaban berkembang dan maju dengan pesat.

Pada zaman sekarang, kita dihadapkan dengan fenomena yang begitu ekstrim dan tragis. Kita bisa melihat masih banyaknya negara Islam yang sampai sekarang, hanya menjadi negara berkembang dan sulit untuk menjadi negara maju. Data tahun 2003 menyebutkan jumlah muslim di dunia ± 1.334.000.000 jiwa (Mayoritas hidup di negara Islam dan minoritas hidup di negara no-Islam: red). Negara Islam di dunia berjumlah 52 negara. Dari sekian negara, yang bisa  dikatakan sebagai negara maju hanya segelintir negara, seperti : Kuwait, Malaysia, Saudi Arabia, Iran, dll. Sisanya  masih terpuruk dalam perang negara (Seperti negara Palestina dan Irak), bahkan perang saudara (seperti Yaman dll) dan yang lebih menyedihkan lagi perang yang disebabkan perbedaan madzhab ( Republik Demokratik Somalia)[2], hal ini sangat memprihatinkan dan perlu adanya penyegaran.  

Pertama kali, saat penulis membaca sebuah kitab Fiqih berjudul ((al-Yakut an- Nafiis)) . penulis dikejutkan dengan ayat al-qur’an surat At-Taubah: 122, yang berbunyi  “  ÝáæáÇ äÝÑ ãä ßá ÝÑÞÉ ãäåã ØÇÆÝÉ áíÊÝÞåæÇ Ýì ÇáÏíä” . Menurut Prof.Dr.Said Aqil Siroj, dalam ranah ontologis dan gramatika  pada kata “Liyattafaqqohu”  tersebut berbentuk “ Fi’il Mudlori’ atau dalam bahasa inggris dikenal dengan sebutan “Present dan Future tense” yang berarti mengungkapkan masa sekarang atau yang akan datang. Jika dianalogikan dengan konteks masa sekarang, lafadz tersebut bisa diartikan “kontekstual” yaitu sesuai dengan keadaan yang sekarang. Dari sini, bisa disimpulkan bahwa belajar tentang ilmu agama harus kontekstual, atau dengan kata lain, bisa dikatakan “Agama harus sejalan dengan peradaban (Tsaqofah)”. Namun, hal yang perlu diperhatikan lagi disini  adalah “Bagaimana memadukan sesuatu yang statis (wahyu) dengan sesuatu yang dinamis (sosial masyarakat)?”. Padahal, jika kita melihat hanya pada segi sosial masyarakat yang akan muncul adalah daya rasionalis dan orientalis. Namun, ketika kita hanya berfikir dalam segi wahyu (teks) maka yang akan muncul hanyalah daya kekakuan (Ngambang: jawa) atau tidak membumi.

 Dengan memperhatikan kenyataan yang terjadi saat ini, kita memahami bahwa kehidupan manusia dibumbui dengan realitas, rasionalitas, komplektifitas, pragmatifitas bahkan kebutuhan sosial yang sangat mendominasi perilaku manusia. Kemudian, Apakah yang harus kita lakukan sebagai seorang muslim?     

Oleh : Noer el- Farouq, Mahasiswa Fakultas Syariah universitas AL- Ahgaff Yaman asal Purwodadi, mantan Writting Team HMI UIN SUKA 2009.

[1] Ali toha  ahmad Rayyan : Tarikh tasyri’ Islami,dosen universitas syari’at dan hukum Al-Ahgaff

[2] Data diambil dari:  Al Usairy, Ahmad.2003 .buku sejarah Islam . jakarta : AKBAR MEDIA EKA SARANA