Beberapa bulan yang lalu, penulis menghadiri “Workshop Kesetaraan
Gender” yang diadakan oleh salah satu pergerakan pemuda di Universitas
Sunan Kalijaga selama 3 hari berturut-turut di Kali Urang Jogjakarta.
Peserta berjumlah kurang lebih 50 orang dengan perincian 80 % perempuan
dan 20% laki-laki.
Dalam workshop tersebut dibahas berbagai macam persoalan mengenai ketimpangan-ketimpangan hukum sosial mengenai wanita, baik budaya patriarki yang sudah menjadi budaya, poligami yang dirasa kurang protection terhadap hak-hak wanita, dan sikap cemooh atau proteksi terhadap gerakan-gerakan wanita, bahkan mengenai imam wanita (kebanyakan diskusi mengenai diskriminasi wanita dalam Islam).
Dilihat dari diskusi teman-teman memang terasa sangat mengasikkan seolah-olah kita menghendaki perubahan yang besar terhadap kaum wanita. Bagaimana tidak? Pada workshop tersebut kami selalu diberi isu-isu mengenai “Bagaimana wanita bisa berkembang dan menemukan jati dirinya dalam masyarakat?”. Dilihat dari isu tersebut, kita pasti terpikir mengenai peradaban yang berlandas keadilan, kesamaan, dan kemajuan. Adil berarti adanya keseimbangan antara porsi wanita dengan porsi laki-laki dalam berperan ditengah- tengah masyarakat. Sama bisa diartikan sama-sama mempunyai hak sebagai manusia utuh. Sedangkan maju memiliki arti baik wanita atau laki- laki mampu memunculkan peradaban yang maju.
Namun ada keanehan dan ketidaksesuaian dengan kajian Islam yang muncul dalam benak saya sebab beberapa keputusan dari diskusi tersebut. Pertama, opini dan argumentasi yang diajukan tidak bersumber dari buku atau kitab ulama’ Islam yang pertama kali meletakkan peradaban di dunia. Sebaliknya, argumentasi yang diajukan adalah karya orientalis barat yang dibumbui dengan filsafat kapitalisme yang akhirnya mengarahkan ke dalam kebebasan yang tak terbatas . Mereka menyepelekan apa yang telah menjadi thoriqoh umat Islam yang masih eksis sampai sekarang. Kita semua menyadari dan mengetahui dengan baik bahwa keikhlasan ulama’ salafus sholih yang membuat agama ini tersalurkan bukan dengan perantara kaum pembela nafsu dan harta.
Menurut Hafidz Firdaus, hal tersebut muncul karena ada kesan kekerdilan diri (Inferiority Complex) dalam diri umat Islam saat ini. Mereka merasa terhina menjadi orang bodoh, terbelakang dan tak memiliki peradaban di dunia. Sehingga mereka menyembah negara-negara yang maju bahkan meng-copy pendapat dan perilaku mereka tanpa adanya filterisasi.
Umat Islam masa sekarang terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu :
Pertama, adalah mereka yang merasa putus asa secara keseluruhan dan duduk diam menerimanya sebagai satu ketentuan yang berkuasa merendahkan dan memundurkan mereka.
Kedua, adalah mereka yang berpendapat bahwa agama adalah faktor penghalang untuk mencapai kekuatan dan kemajuan. Justru untuk menjadi umat yang berkuasa dan maju, Islam perlu dipisahkan dari kehidupan dunia. Hampir semua negara barat yang berkuasa dan maju saat ini menerapkan formula pemisahan yang dikenal dengan istilah sekularisme ini.
Ketiga, adalah mereka yang juga berpendapat bahwa agama adalah faktor penghalang untuk mencapai kekuatan dan kemajuan. Namun mereka berpendapat bahwa cara untuk menghadapi faktor penghalang tersebut adalah dengan membuka dan membebaskan agama dari ajaran dan tafsirannya yang sekian lama telah menjadi pegangan umat. Kelemahan dan kemunduran umat Islam dianggap terletak pada belenggu kejumudan umat dalam menafsir dan mempraktikkan ajaran agama Islam.
Keempat, adalah mereka yang menganggap Islam adalah mencangkup seluruh aspek kehidupan dan harus diaplikasikan sesuai dengan kemurnian Islam itu sendiri. Mereka ingin mendirikan kekhalifahan yang berlandaskan hukum- hukum syari’at Islam sesuai dengan masa kekhalifahan Islam terdahulu.
Terakhir, adalah mereka yang mengakui akan hakikat kelemahan dan kemunduran yang dialami umat. Namun mereka tidak meletakkan sebab kemunduran umat kepada agama atau selainnya kecuali terhadap diri mereka sendiri yang secara perlahan terlepas dari mempraktikkan ajaran Islam yang murni dengan kaffah. Oleh sebab itu, umat Islam perlu mempelajari secara mendalam, memahami dan menerapkan ajaran Islam yang murni dengan totalitas untuk dapat kembali kuat dan maju.
Dari sekian pembagian umat Islam di atas, adalah golongan ketiga yang menyebarkan berbagai isu mengenai “Emansipasi Wanita atau Kesetaraan Gender”. Mereka merombak ulang penafsiran sesuai dengan kehendak mereka sendiri tanpa memperhatikan asbabun nuzul yang ada. Mereka tidak mengindahkan kitab-kitab ulama’ salaf terdahulu kecuali pada kitab-kitab yang memang sesuai dan mendukung penafsiran-mereka.
Diantara produk-produk hasil pemikiran mereka adalah, :
a. Menolak adanya poligami. Poligami dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM) yaitu dengan melukai perasaan istri pertama dan juga akan memicu konflik intern keluarga.
b. Aurat wanita dan bagian warisnya. Mereka berhujjah menggunakan pendapat Syahrur dalam bukunya yang berjudul ((Nahwa Ushul Jadid li Af Fiqh Al Islami)) “Menuju Metode Baru dalam Fiqih Islam”. Buku ini berkata panjang lebar mengenai teori batas minimal dan maksimal yang diimplementasikan dalam masalah aurat dan waris. Di antaranya adalah ia berpendapat bahwa aurat wanita minimal adalah belahan dada, bawah ketiak, bawah pusar dan pantat. Sedangkan aurat maksimal adalah mencakup seluruh bagian tubuh. Mengenai hukum waris yang memiliki hukum asal 1 (perempuan) : 3 (laki-laki). Ia ubah dengan teori batasnya dengan ukuran minimal bagian wanita adalah 1 dan maksimal bagian laki-laki adalah 3.
c. Imam shalat wanita dan khutbah jum’ah. Ini sebenarnya mulai digencarkan oleh Amina Wadud, salah seorang tokoh agama perempuan yang bemukim di Amerika. Mereka menginginkan kesamaan hak dengan laki-laki.
d. Wanita karir. Sebenarnya wanita karir bukan merupakan masalah baru lagi bagi ulama’ Islam. Dalam madzhab Syafi’i telah dijelaskan bahwa wanita diperbolehkan keluar untuk bekerja dengan syarat dia masih memenuhi tugasnya sebagai istri.
Hal yang lebih memprihatinkan, mereka menampilkan aksinya secara langsung dan terbuka. Salah satu contohnya adalah sekarang kita dapat menemukan beberapa buku Isu-Isu Gender Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar & Menengah yang diterbitkan atas kerja sama antara Pusat Studi Wanita UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan McGill IISEP. Buku ini mengkritisi buku-buku pelajaran agama, khususnya di bidang Fikih, Tafsir dan Hadist yang diajarkan di sekolah-sekolah dasar dan menengah yang dianggap bias gender.
Contoh kesetaraan gender yang diusung dalam buku tersebut di antaranya adalah penyamaan laki-laki dan perempuan dalam pakaian ihram, hak menjadi imam shalat, azan, dst. Di samping itu, buku ini juga mempersalahkan buku-buku teks pelajaran agama di tingkat dasar dan menengah yang selalu menampilkan gambar laki-laki yang melakukan shalat berjama’ah, membangun masjid, memotong hewan kurban, dst. Monopoli pemuatan gambar laki-laki dalam berbagai aktivitas tersebut dianggap sebagai wujud pelecehan perempuan dalam pendidikan agama. Bahkan dalam buku itu disebutkan bahwa tugas menyusui anak bukan kewajiban perempuan, karena menyusui dapat diganti dengan botol.
Dalam perguruan tinggi juga terdapat mata kuliah wajib yang membahas tentang masalah-masalah sensitif tersebut, diantaranya buku-buku karangan Harun Nasution, Nur Cholis Madjid dll yang berbau dengan emansipasi wanita dan gender. Penulis sendiri pernah mempelajari dalam Kuliah Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga sebuah buku wajib yang berjudul “Islam Dan Budaya Lokal” terbitan POKJA UIN sendiri dan masih banyak lagi buku yang beredar di pasaran.
Kemudian, bagaimana sikap kita dalam merespon hal-hal tersebut? Apakah kita harus mengikuti mereka? atau menolak secara mutlak?. Dalam hal ini, Penulis merasa kurang mampu menulisnya untuk sebuah artikel. Karena untuk itu tentu memerlukan rujukan yang mencukupi, valid, dapat dipertanggungjawabkan dan pemahaman yang begitu arif. Langkah baik yang penulis ajukan untuk sementara adalah dengan mengantisipasi pembahasan mengenai beberapa hal yang memang menjadi maksud dan tujuan emansipasi wanita atau kesetaraan gender tersebut tanpa didasari dengan sikap negatif terlebih dahulu. Sisi positif yang mungkin muncul dari hal tersebut adalah untuk lebih meminimalisir banyaknya korban. Sebab ada kalanya seseorang mengatasnamakan agama untuk melampiaskan nafsu syahwatnya atau menuruti kehendaknya sendiri.
Anne M Clifford, seorang penulis sekaligus pemerhati perempuan mengatakan “Bahwa Feminisme bukan merupakan gerakan perempuan liar. Ada berbagai kriteria feminisime. Di antaranya adalah Feminisme liberal yang menekankan hak-hak sipil, memandang hak kaum perempuan bebas mengambil keputusan atas seksualitasnya dan hak reproduksi mereka. Ada juga Feminisme kultural yang disebut pula feminisme reformatif dan feminisme romantis. Feminisme kultural mengaitkan nilai kehidupan dengan nilai tradisional perempuan, seperti bela rasa, pengasuhan, pengelolaan lingkungan hidup, dan nilai kemanusiaan yang menekankan moral. Macam feminisme yang lain adalah Feminisme radikal yang menekankan penghapusan merajalelanya dominasi laki-laki dalam kehidupan.”
Dimulai dari dominasi laki-laki terhadap perempuan, kemudian muncul berbagai dominasi berbasis kekuasaan. Dari sinilah kita harus mengetahui alasan mereka, mengapa muncul gerakan perempuan? Apa masalah yang sebenarnya terjadi?. Diharapkan dengan melakukan Tabayun, kita tidak serta- merta terjebak dalam teks yang ada dan terikat dengan kitab klasik terdahulu. Pendek kata, kita bergerak fleksibel dengan menyikapi teks yang ada dengan tetap bersandar kuat pada kitab ulama’ salafus sholih.
Hal yang urgen untuk diselesaikan saat ini adalah cara menyikapi berbagai oknum yang sering muncul di tengah masyarakat. Sehingga diskriminasi kepada wanita menjamur memenuhi aspek kehidupan baik yang berkenaan dengan masalah politik, adat dan budaya, kemiskinan, fundamentalis, media, teknologi, pendidikan, hukum, dan sumberdaya alam. Kita perlu menyadari bahwa “Keadilan tidak harus sama dan setara atau dengan kata lain, kesamaan dan kesetaraan belum tentu disebut sebagai suatu keadilan”.
Sifat arif dan bjaksana sangat diperlukan dalam menghadapi permasalahan yang sensitive ini. Sebab problema ini memiliki ikatan yang kuat nan erat dengan kepribadian umat muslim. Bagaimana menempatkan wanita sebagai manusia yang dibutuhkan dalam segala hal dan aspek kehidupan, bukan dalam masalah memenuhi hajat hewani semata. Kita bisa mencontoh berbagai kisah teladan nabi Muhamammad saw dalam bergaul dengan istri-istri beliau. Bagaimana ucapan beliau, bagaimana akhlakul karimah beliau terhadap istri-istrinya, dll./sun/.
Oleh : Noor Salikin Al-Faruq Merupakan salah satu santri Pond-Pest Matholi’ul Anwar, kec. Tawangharjo, Kab.Grobogan dan sekarang mahasiswa tingkat 1 jurusan syari’ah dan hukum Universitas Al-Ahgaff ,Yaman.