http://www.english.hadhramaut.info Konsep dan Representatif Ijma’ [The Source: indo.hadhramaut.info - 12/6/2011]
Pendahuluan
Sekarang zaman sudah berkembang pesat, kehidupan sangat berbeda sekali dengan zaman  dahulu, banyak masalah-masalah baru muncul sebagai actual problem yang membutuhkan adanya problem solving, semua dikarenakan perkembangan pengetahuan manusia yang semakin maju, namun tidak di imbangi dengan bumi yang semakin kembang-kempis melayani manusia, oleh karena itulah muncul berbagai masalah baik ke-bumian (natural problem) maupun kemanusiaan (sosio-problem).


Sebagai imbasnya, agama juga harus atau wajib menghadapi masalah-masalah yang baru muncul, dimana manusia muslim harus bertatap dan bersentuhan langsung dengan hal-hal baru, dan semua membutuhkan manhaj ataupun cara bertasamuh bersama mereka agar manusia muslim tidak mencampur baurkan antara hal yang baik dengan buruk, sah dengan yang batil.

Pada zaman sahabat juga timbul berbagai masalah baru, diantaranya masalah kilafah pengganti nabi, kodifikasi  Al-Qur’an, hukuman bagi orang yang tak mau membayar zakat dll, dan itu semua harus dipecahkan. Oleh karena itulah muncul sebuah manhaj yang dinamakan “Ijma’ atau konsensus”, pada waktu zaman sahabat dinamakan “Ijma’ as-sahabat” karena yang melakukannya adalah para sahabat. Ini merupakan salah satu solusi bahkan menjadi manhaj pasti untuk menghadapi permasalahan baru yang terjadi dikalangan umat muslim, agar tidak terjadi perpecahan dan pembenaran pribadi  atau individual searching atau opinioneted.  .

Namun ada pertanyaan besar dibenak penulis, apakah dizaman sekarang ini masih bisa dilaksanakan Ijma’ untuk menjawab permasalahan yang terjadi? Disinilah permasalah yang kita akan bahas.

Definisi Ijma’
Dalam teori pengkajian ilmu pengetahuan, baik melalui ilmu logika, ushul fiqh, filsafat , hermeneutik ataupun validitas keilmuan lain, sebelum mengkaji suatu masalah pastilah membutuhkan yang namanya definisi dari pembahasan, agar dalam benak kita sudah terngkai batasan-batasan atau kategori yang akan dikaji. Dan disinilah kita harus mendefinisikan Ijma’ terlebih dahulu.

Secara etimologi Ijma’ berarti “ azm “ atau “ ittifak “  ittiaku aw azmu fulanin ala syai’ (seseorang bersepakat atau bermaksud terhadap sesuatu) hal itu didasarkan

surat yunus  yang berbunyi “ fa ajmi’u amrokum wa syuroka’akum” (Qur’an 11:71).
Sedangkan secara epistemologi para ulama’ mendefinisikan Ijma’ dengan “sebuah kesepakatan para mujtahid setelah wafatnya nabi muhammad saw pada suatu masalah hukum syar’i”  dari definisi tersebut bisa ditarik kesimpulan dalam segi kompleksifitas dan keumuman istilah yaitu : a). Keputusan Ijma’ haruslah kesepakatan, b). Yang melaksanakan Ijma’ haruslah para mujtahid dari umat nabi muhammad saw, bukan ahli agama lain c). Ijma’ haruslah terjadi setelah nabi Muhammad SAW wafat, d). Yang menjadi permasalahan haruslah hukum syar’i.

Komposisi dan pembagian Ijma’
Ijma’ harus atau wajib dibumbui dengan 2 komposisi yaitu :  pertama Mujmi’un yang berarti peserta Ijma’, terdiri dari para mujtahid dan yang kedua ittifak atau kesepakatan ia tidak bisa atas namakan Ijma’ kalau belum ada kesepakatan semua mujtahid.

Walaupun masih dalam keadaan debatebel, kebanyakan para ulama menggolongkan Ijma’ menjadi 2 karakter yaitu Ijma’ sharih (consensus agreement) dan Ijma’ sukuti (silent consensus agreement ) .

Ijma’ sharih (consensus agreement)  adalah Ijma’ yang sebenarnya, atau konsensus yang sesuai dengan sarat-sarat yang ada, adanya kesepakatan dengan jelas dan tuntas. Namun Ijma’ sukuti (silent consensus agreement ) yang notabennya masih dalam debateble, ia merupakan Ijma’ dengan tanpa adanya kejelasan dari seluruh mujtahid, namun mujtahid yang tidak jelas tadi tidak menolak taupun mengingkari hasil keputusan Ijma’ yang sudah dilaksanakan.

Posisi Ijma’ dalam syari’at
Setelah kita mengetahui pembagian Ijma’, kali ini kita mencoba menerawang pada posisi Ijma’ sendiri dibanding dengan al-qur’an dan as-sunah mutawatirah, kebanyakan para ulama’ sepakat kalau hasil Ijma’ sharih (consensus agreement)  merpuakan hujjah yang qottiyyah (pasti) yang berarti Ijma’ ditempatkan dibawah al-qur’an dan al-hadist mutawatiroh,  umat tidak boleh membelot dari hal tersebut, atau apabaila ada yang membelot maka dianggap kufur. sedangkan untuk hasil Ijma’ sukuti (silent consensus agreement)  tidak sampai pada tinggkatan qott’i atau hanya merupakan keputusan yang bersifat dzonni (hipotesa).

Namun dari hasil peneletian sebagian ulama’ seperti  Al-Amidy, Imam Haromain, Al-Asnawi,dan ibnu al-hajb mereka berpendapat bahwa orang yang mengingkari Ijma’ tidak dianggap kufur kecuali hasil Ijma’ tersebut memang sudah masyhur dikalangan orang awam, seperti mengenai sholat lima waktu, mentauhidkan tuhan, risalah kenabian dll, yang bersifat dhorurat fi ad-dini (fundamental of relegion).

Fungsi Ijma’
Dari pengertian dan kedudukan Ijma’ kita bisa menemukan hal baru dari dirkursus ini, yaitu fungsi atau ruang aksiologi dari Ijma’. Diantaranya  para ulama’ menemukan berbagai fungsi, namun bisa dikerucutkan menjadi dua funsi yaitu :

1. Dalil dari kesepakatan berdasar Ijma’ yang sudah diputuskan merupakan dalil muttafak atau hujjah muttafak. Dimana hal tersebut dianggap sebagai suatu yang sakral.
2. Dalam Pelaksanaan Ijma’ berarti adalah menguak sebuah teks atau permasalahan yang belum jelas hukumnya, dengan Ijma’ para ulama’ bisa memutuskan hal yang masih ambigu tadi menjadi suatu hukum kejelasan.

Relasi Ijma’ dengan maslahat
Untuk mebahas pada dirkursus ini kita harus mengetahui sandaran hukum yang dipakai untuk Ijma’, para ulama’ berpendapat  ada 2 sandaran hukum yang bisa dijadikan hujjah dalam Ijma’ yaitu dalil qott’i ( Al-Qur’an dan Al-Hadist Mutawatiroh ) dan dalil dzonni (Al-Hadist Ahad dan Nalar kias / logika).

Dr. Wahbah Zuhaili dalam bukunya al-wajiz fi ushulil fiqh  berpendapat bahwa maslahah mursalah juga merupakan sandaran bagi  Ijma’ , bahkan jika Ijma’ terdahulu (yang bersandar pada maslahat) bertentangan dengan maslahat sekarang maka Ijma’ yang terdahulu harus diganti. Beliau mengatakan ini dengan dalih,  bahwa fuqoha’ 7 madinah pernah mencetuskan dibolehkanya tas’ir ( menaksir harga), padahal pemerintahan dimasa sahabat tidak memperbolehkan tas’ir, Imam Malik dan Abu Hanifah juga menfatwakan bolehnya memberi zakat kepada golongan Bani Hasim setelah berubah fungsinya Baitul Mall, padahal syari’at sebelumnya tidak diperbolehkan, dan masih banyak contoh lagi yang tak bisa disebutkan.

Ada juga ulama’ yang agak banter pendapatnya, sebut saja syekh at-thufi yang berpendapat bahwa apabila nash dan Ijma’ bertentangan dengan maslahat maka wajib mengedepankan maslahat dan menjadikan maslahat sebagai mukhosis pada keduanya, berikut kutipanya “orang-orang yang ingkar terhadap Ijma’ karena demi memperhatikan maslahat, sehingga berkesimpulan bahwa berlandaskan pada dalil tidak ada khilaf - dalam hal ini maslahat dianggap sebagia dalil yang muttafak setelah ada sebagian ulama’ yang mengingkari Ijma’-  lebih utama dari pada berlandaskan pada dalil yang masih ada khilaf dikalangan para ulama’ yaitu Ijma’ “. Namun disini ada pertanyaan besar yang harus dijawab at-thufi yaitu adakah Nash dan Ijma’ yang bertentangan dengan maslahat?

Jelas para ulama’ salafus salih tidak ada yang setuju jikalau nash digantikan dengan maslahat, karena para ulama’ masih yakin bahwa tidak ada nash yang bertentangan dengan maslahat walaupun maslahat bisa datang belakangan. Wallahu a’lam

Ijma’ dimasa sekarang?
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hal ini, apakah dizaman yang serba berbeda ini memungkinkan untuk dilaksanakan Ijma’? orang-orang mu’tazilah dan sebagian dari syiah berpendapat, bahwa mustahil di era sekarang dilaksanakan Ijma’ karena dua sebab :

1. Sulitnya mencari sosok mujtahid di era sekarang dan sangat sulit sekali mengakomodir pendapat mereka.
2.  Jika Ijma’ menggunakan dalil qot’i hal itu masih bisa digunakan karena dalil qot’i tidak bisa di takwil, namun apabila yang digunakan dalil dzonni maka hal tersebut mustahil , karena dalil tersebut juga merupakan perkhilafan tersendiri bagi ulama’.

Dr.Wahbah Zuhaili langsung menanggapi permasalahan yang kedua dengan permasalahan waki’iyyah (kejadian), bahwa Ijma’ ulama’ baik permasalahan qott’i maupun dzonni sudah pernah terjadi dimasa sahabat. Sedangkan permasalahan yang pertama dijawab dengan logika sentris yaitu melalui jalan muktamar (konfrensi) dengan cara mengundang perwakilan ulama’ per-negara yang dianggap mumpuni untuk duduk bersama.

Menurut hemat penulis - karena Dr.Wahbah Zuhaili tidak membahas secara tuntas permasalahan tersebut- muncul berbagai pertanyaan, diantaranya : bagaimana dengan syarat mujtahid zaman sekarang? apakah dicukupkan dengan mujtahid juz’i yang notabennya masih khilaf baina ulama’? apakah memungkinkan mengumpulkan semua ulama’ dari berbagai golongan  (baik sunni, syi’i, wahabi, fundamentalis, liberalis dll) untuk duduk bersama? Kemudian kalau memang benar-benar terjadi hasil dari keputusan tersebut apakah wajib dita’ati? Sehingga yang membelot diangap kufur. Wallahu a’lam.

Dari sinilah penulis berfikir untuk memakai kata representatif atau sebuah perwakilan yang bisa dikatakan Ijma’, namun tidak sekuat dalil Ijma’. Sekarang hal tersebut sering disebut “ijtihad jama’i”  merupakan perkumpulan berbagai ulama’ untuk bersepakat mengenai suatu permasalahan agama, atau sebut saja “mu’tamar ulama sedunia” .

Penutup
Permasalah Ijma’ memang merupakan permasalah yang vital bagi umat islam, disamping banyaknya masalah yang sering  muncul juga karena faktor ulama’ semakin becerai berai. Terlepas dari perdebatan mungkin atau tidaknya Ijma’ dilaksanakan pada zaman sekarang, para ulama’ harus mencari solusi pragmatis untuk meminimalisir pertarungan umat yang semakin memanas. Oleh karena itu hal yang sakral ini harus dijaga keutuhannya sampai hari akhir.

Daftar Pustaka,
Al-Qur’annul Karim,cetakan kudus.
Zuhaily,Dr.Wahbah.1994. Al-Wajiz Fi Ushul Al-Fikhi.Damaskus : Dar el-fikr.
Assyairazi, Abi Ishak Ibrohim. 1995. Al-Luma’ Fi Ushul Al-Fikh.Damaskus:Dar Ibnu Katsir.
Al-Amidy, Ali Ibnu Ahmad.2003.Al-Ahkam Fi Ushul Al-Ahkam.Riyad: Dar ashami’i.
Al-Ghozali, Muhammad.450-505 H. Cetakan tidak tertera.
Ar-Royyan, Ahmad Ali Toha. Tahun tak tercantum. Mudzakirat.cetakan elektronik oleh Abu Bakar Bin syihab.

Oleh : Noor Salikin Al-Faruq, Mahasiswa Semester 1 Jurusan Faklultas Syari’ah dan Hukum Univesitas Al-Ahgaff, Yaman.