http://www.english.hadhramaut.info Menengok Hadhramaut Kuno [The Source: hadhramaut.info/indo - 01/06/2008] 1. Kaum Ad (2000-1000 SM)
Hadhramaut wilayah yang sarat dengan nilai sejarah. Al-Quran menyebutnya dengan al-ahqaf lebih pada 17 tempat. Nabi Hud AS adalah Nabi pertama dari bangsa arab yang diutus kepada mereka. Negeri ini disebut negeri 'Ad pertama, "yang belum pernah dijadikan seumpamanya di negeri itu". (QS. al-Fajr : 8). Kaum Ad merupakan bangsa pertama yang menempati negeri subur di antara Yaman dan Oman ini. Menurut ahli sejarah, tidak ada bangsa lain yang menempati Hadhramaut sebelum kaum ‘Ad. Al-Qur'an menceritakan kaum ‘Ad sebagai kaum yang kuat dan perkasa. Namun karena mereka menolak ajakan Nabi Hud AS dan malah terus menyembah berhala, akhirnya mereka binasa. Sebagian yang mengikuti ajaran Nabi Hud AS (disebut ‘Ad kedua) selamat.
Kaum Ad, Tsamud dan Dinasti Qahthan berada dalam satu kurun. Di satu waktu, terjadi perang antara Ad dengan Tsamud. Dan pada waktu lain, terjadi perang antara Ad dengan Ya'rib Bin Qahthan yang lebih dikenal dengan sebutan Qahthan.
Tidak dapat diketahui secara pasti berapa lama Kaum ‘Ad bertahan di Hadhramaut. Sebagian ahli sejarah menyebutkan mereka bertahan di sana selama 1000 tahun. Sebagian lain mengatakan selama 2000 tahun. Ada pula yang menyebutkan 700 tahun. Konon, mereka berasal dari seorang ibu yang memiliki negeri besar mencakup Babilon, Asyur (Iraq), Mesir dan India, 22 abad sebelum Masehi.
Nabi yang diutus kala itu adalah Hud as yang wafat dan dimakamkan di daerah sebelah timur Hadhramaut, dekat Beir Barhut (sumur Barhut). Nabi Muhammad menyebut sumur itu sebagai tempat dilemparnya arwah orang-orang kafir. Orang orientalis menyebutkan, Beir Barhut adalah sebuah goa besar, dalam dan gelap. Tekstur dalamnya naik turun dan terputus-putus. Panjangnya sekitar 120 kaki, lebar 450 kaki dan kedalamannya 600 kaki.
Kehidupan pada masa kaum Ad sangat makmur. Berbekal kekayaan dari hasil pertanian yang subur, dilengkapi dengan keahlian mereka dalam merancang bangunan, mereka membangun rumah dan berhala sembahannya dari batu yang indah.
3. Dinasti Qahthan (10 – 18 Abad SM)
Qahthan adalah dinasti pertama setelah kaum ‘Ad. Semua bangsa arab Qahthan berasal dari keturunan dinasti ini. Diceritakan, dinasti ini berasal dari nama seseorang keturunan Nabi Nuh AS yang bernama lengkap Qahthan bin 'Abir bin Syalekh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh AS. Salah satu anak keturunannya berjuluk Hadhramaut (kematian telah datang, red) karena setiap hadir perang, dari pihak musuh pasti banyak korban berjatuhan.
Menurut Imam al-Haddad, Hadhramaut adalah asal nama daerah di Mahra seperti Dei’ut dan Seihut. Selain nama itu, Hadhramaut dikenal dengan nama Abdal.
Selain Hadhramaut, masih banyak keturunan Qahthan, diantaranya Ya'rib bin Qahthan. Saudara tua Hadhramaut ini dikenal sebagai raja agung penguasa negeri Saba (Ma'rib sekarang). Dia melantik saudaranya, Hadhramaut, sebagai penguasa negeri antara Yaman dengan Oman yang kemudian dinamai dengan namanya.
Kekuasaan Dinasti Qahthan terus berlanjut di Hadhramaut hingga berabad-abad, sejak lebih dari 1000 tahun SM. Menurut sebagian ahli sejarah, kekuasaan mereka 18 abad SM sedangkan kaum ‘Ad 22 abad SM. Menurut versi Yunani, 20 lebih kerajaan dikuasai keturunan Qahthan. Diantaranya adalah kerajaan Hadhramaut, al-Ma'in dan al-Saba.
Ketiga kerajaan ini dikuasai keturunan Qahthan sampai masa Dinasti Himyar. Karena itu, dalam silsilah raja Hadhramaut, ada yang bernama Ma'in, dan di kerajaan Saba' ada yang bernama Hadhramaut. Begitu juga dengan dinasti Himyar. Ini berarti, dulu Hadhramaut terkadang independen, terkadang di bawah otoritas Saba', sesuai dengan kondisi politik saat itu. Namun yang pasti, penguasa semua negeri itu adalah keturunan Qahthan. Otoritas terakhir adalah dinasti Kindah, sampai kemudian datang ajaran Islam.
4. Dinasti Ma'in (1500 – 850 tahun SM)
Pada mulanya, Yaman terbagi menjadi beberapa negeri, termasuk di dalamnya Hadhramaut. Semua wilayah itu memiliki raja sendiri sampai kemudian terjadi perang antara mereka. Perang itu untuk memenuhi ambisi menguasai seluruh wilayah dan menjadikannya satu negeri besar dengan penguasa tunggal.
Negeri besar pertama di Yaman adalah negeri Ma'in yang terkenal dengan perdagangannya. Negeri yang saat ini masuk dalam wilayah Provinsi Jauf ini berdiri sekitar 15 abad SM. Kekuasaannya meluas hingga ke luar Yaman, termasuk Hijaz (Saudi Arabia) dan sekitarnya.
5. Dinasti Saba' (850 – 115 tahun SM)
Dinasti ini terletak di Negeri Saba’ yang beribukota Ma'rib. Pada abad ke-9 SM, Saba’ berhasil mengalahkan dinasti Ma'in. Dinasti ini membangun bendungan Ma'rib yang menjadikan Saba’ sebagi pusat pertanian dan perdagangan kala itu. Dinasti ini bertahan dari tahun 850 hingga 115 SM.
6. Kehidupan Sosial di Masa Dinasti Qahthan
Kondisi sosial di masa Dinasti Qahthan sangat makmur. Hadhramaut saat itu sampai kepada puncak kemajuan di semua bidang, menjadi puncak keramaian, memiliki pasukan yang tangguh dan ekonomi yang maju. Wangi-wangian dan padupa sebagai andalan negara itu. Banyak pedagang yang berdagang ke negeri utara --Suriah dan sekitarnya-- membawa luban (sejenis kemenyan, red) dan wangi-wangian lainnya dari Qahthan. Dari utara, yang saat itu menjadi pusat perdagangan, mereka kembali membawa emas, perak dan makanan.
Hadhramaut sangat strategis, berada di tengah dua jalur menuju utara hingga Bahrain (teluk arab), Shur (Lebanon), jalur ke Arab selatan dekat laut merah dan padang pasir Najd, hingga Makkah. Hadhramaut kala itu disebut sebagai negeri luban.
7. Agama Yang Dianut pada Masa Dinasti Qahthan
Penduduk Hadhramaut kala itu menyembah berhala. Berhala yang paling terkenal adalah Sein yang diletakan di sebuah tempat peribadatan khusus bernama Sein dzu mudzab. Berhala ini sangat istimewa dan dipisahkan dari berhala lain. Disebutkan, mudzab adalah nama kota besar yang telah hancur yang sekarang dikenal dengan kota Khuraibeh Douan (saat ini masuk dalam wilayah Provinsi Hadhramaut).
Konon, ada dua kalimat yang hingga kini masih terucap di kalangan masyarakat Khuraibeh, yaitu “yasin 'alaik” dan “ya haula ya haula.” Sebagian orang mengatakan kedua kalimat itu adalah nama dua berhala pada zaman dulu. Namun sebagian lain membantah pendapat itu dan mengatakan kedua kalimat itu adalah ayat pertama dari surat Yasin dan ucapan La Haula wala Quwwata illa Billah. Kalimat itu biasa diucapkan ketika hujan turun dan mengairi ladang pertanian.
Dari dua pendapat ini, dapat disimpulkan bahwa pada zaman itu sudah ada manusia yang beriman kepada Sang Pencipta. Diceritakan, negeri Mudzab memiliki pusat kota bernama Maefa'a, ibukota pertama dan kota peradaban yang hingga kini masih ada puing-puingnya, berupa bekas istana, tempat peribadatan, dan lainnya. Sekarang, yang masih nampak jelas adalah tulisan dan lukisan di daerah antara Maefa'a dan 'Izan.
Setelah itu, berdiri kota lain bernama Shabwa. Kota ini lebih besar dibanding kota-kota sebelumnya. Hal itu terbukti dengan peninggalannya yang luar biasa. Hadharim (etnis Hadhramaut) kala itu terkenal berwibawa dan ahli memanah. Satu diantaranya adalah Rasym yang salah satu keturunannya bernama 'Asyira (Syakim).
8. Dinasti Himyar (165 SM hingga 525 M)
Himyar salah satu daerah di negeri Saba’. Sebagian orang malah menyebutnya Saba’, bukan Himyar. Dinasti Himyar berdiri setelah Dinasti Saba’ sekitar 165 SM hingga 525 M. Ibu kotanya Dzafar. Orang-orang Habasyah (Afrika) pernah menyerang dan meruntuhkan Dinasti Himyar. Namun kemudian mereka diusir dan kekuasaan direbut kembali oleh keturunan Himyar. Pahlawan arab yang populer saat itu adalah Saif bin Dzi Yazin al-Himyari yang disokong Persia (Iran dan sekitarnya). Persia menguasai pemerintahan di Yaman, Hadhramaut, Iraq, dan Bahrain sampai era kedatangan Islam.
Raja-raja yang paling terkenal sebagai penguasa Hadhramaut kala itu adalah Syamar Yar'asy (dijuluki dengan nama Raja Saba dan Raja Dzi Raidan), raja Hadhramaut, dan Syarahbil bin Ya'fur bin Abi Karib As'ad yang menguasai Dinasti dzi Raidan, Hadhramaut, dan Yamanat (Yaman). Dialah raja yang membangun bendungan Ma'rib pada pertengahan abad kelima masehi.
9. Perdagangan
Hadharim punya andil besar dalam sejarah perdagangan Arab. Mereka menjalin hubungan dengan Roma, Yunani, Persia, China dan India. Hadhramaut memiliki kota pusat perdagangan dan memiliki pelabuhan penumpang dan barang yang datang dari India dan China. Semua komoditi perdagangan dibongkar muat di pelabuhan itu, kemudian diangkut ke Saba, Syam dan Iraq.
Padupa yang menjadi kekayaan alam produksi Hadhramaut termasuk salah satu yang diperhitungkan dalam perdagangan. Daerah pusat perdangan dan pelabuhan itu bernama al-Is'a (atau Shihr sekarang, 50 km dari Kota Mukalla). Selain itu, ada daerah lain pangkalan pedagang, seperti Shibam dan Syabwa. Ketiga daerah ini mengalami kemajuan pesat di dunia perdagangan yang tidak ada membandinginya kala itu.
II. Hadhramaut Sebelum dan Sesudah Islam
1. Sebelum Islam (525 – 630 M)
Setelah runtuhnya Dinasti Himyar dan orang-orang Habsyah (Eritrea) mulai berkuasa di Yaman. Hadhramaut berada di bawah otoritas dua raja dari Dinasti Hadhramaut dan Kindah. Dari dua Dinasti ini, terlahir raja-raja bak jamur tumbuh subur dari tahta ketahta sampai datangnya Islam.
Ketika Islam datang, Hadhramaut masih tetap dikuasai oleh raja-raja dari kedua Dinasti tersebut. Diantara raja yang paling terkenal adalah Jamada, Masyraha, Makhusha dan Ratu 'Amrada. Disebut sebagai raja-raja, karena semua keturunannya memiliki kekuasaan sendiri-sendiri di daerah lembah. Mereka keturunan Amr bin Muawiyah bin Kindah, al-Asy'ats bin Qais yang memimpin kelompok Al-Harits bin Muawiyah, setelah pemerintahan bapaknya (raja Qais bin Ma'di Karib), Wail bin Hajr al-Hadhrami dari Dinasti Hadhramaut yang disebut oleh Nabi Muhammad SAW ketika mengirim utusannya dengan sebutan Sayyidul Aqwal (pimpinan raja-raja), atau dikenal sebagai raja dari Kindah yang memiliki 17 gelar.
Kindah adalah keturunan Qahthan. Dia berasal dari Oman yang kemudian hijrah ke Hadhramaut dan bertemu dengan Dinasti Hadhramaut yang juga keturunan Qahthan, seperti Syarahil bin Murrah, Salamah bin Hajr dan raja-raja lain yang menguasai kota-kota di Hadhramaut, seperti Tarim dan lainnya.
Kedatangan Kindah membawa petaka bagi saudara-saudaranya sesama Dinasti Qahthan. Hingga sering terjadi perang sengit antara mereka dan selalu dimenangkan oleh Kindah yang kemudian berhasil menyatukan Hadhramaut.
Hadhramaut kala itu terbagi menjadi negeri-negeri kecil, yang disebut Mahafid. Itu sebutan untuk negeri-negeri di daerah lembah, seperti Shibam, Jardan, Dou'an, dan Syabwa. Sedangkan dari Kindah sendiri terdapat negeri bernama Sukun (Hadhramaut Tengah), Sakasik (Hadhramau Barat), Tujib di 'Andal, Hudun, Qasyaqisy, Dammun, Hajrain, Raidatuddin, dan lainnya.
Dinasti Hadhramaut menguasai beberapa daerah pantai dan bersekutu dengan Kindah dalam menguasai sebagian wilayahnya, seperti Syabwa dan al-Karr (antara Hajrain dengan Qatn sekarang). Selain dinasti di atas, masih banyak dinasti-dinasti lain, seperti Dinasti Mahra dan sebagainya.
2. Sesudah Islam
Setelah agama Islam datang dan menyebar ke seluruh kawasan Arab, Hadhramaut mengirimkan utusannya dalam jumlah besar ke Madinah al-Munawwarah. Ribuan kilo meter ditempuh untuk menemui Nabi Muhammad SAW dan bergabung dengan tentara Islam. Diantara utusan itu adalah kelompok dari Kindah yang dipimpin oleh Asy'ats bin Qais Al Kindy pada tahun 10 H. Mereka diterima dengan baik oleh Nabi SAW. Namun ada dua hal yang diperingatkan oleh Rasul. Pertama, mereka memakai pakaian sutra, sedang itu diharamkan dalam Islam. Kedua, mereka membanggakan keturunan dari Akil al-Murar.
Dihadapan Nabi SAW mereka dengan bangga mengatakan, “Kami adalah keturunan Akil al-Murar dan engkau juga keturunannya.” Mereka satu keturunan dari Ibu dengan Nabi SAW. Kedua hal ini dilarang oleh Nabi SAW. Mereka menurut dan langsung melepas kemudian merobek pakaian suteranya.
Hubungan suku Quraisy dan Kindah menjadi lebih dekat dengan terjalinnya perkawinan antara Asy'ats bin Qais dengan Umi Farwa binti Abu Quhafa (saudari Abu Bakar Assiddiq RA). Nabi SAW juga meminang Qatilah binti Qais (saudari Asy'ats). Namun Asy'ats meninggal sebelum Qatilah datang dari Hadhramaut.
Utusan-utusan lain dari Hadhramaut berbondong-bondong datang ke madinah al-Munawwarahm, seperti Qais bin Salamah al-Ju'fi dan Rabiah bin Murahhab al-Hadhrami.
Orang pertama yang diutus sebagai ‘tangan kanan’ Nabi SAW di Hadhramaut adalah Ziyad bin Lubaid al-Anshari al-Khazraji al-Bayadhi radliyallahu ‘anhu, salah satu pahlawan besar dari kalangan Sahabat. Dia menghabiskan waktunya di daerah Tarim dan Shibam sejak akhir masa Nabi SAW hingga permulaan pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
Sedang sahabat yang pertama kali berdakwah di Yaman adalah Mu'adz bib Jabal radliyallahu ‘anhu yang menempati daerah antara Sukun dan Kindah. Mu’adz dikenal sebagai sahabat agung yang pandai membaca dan bergaul. Kedalaman ilmu dan ketakwaannya membuat masyarakat berlomba-lomba belajar dan meriwayatkan hadits darinya. Begitu juga Abu Musa al-Asy'ari, seorang sahabat yang berdakwah ke Hadhramaut.
Setelah Nabi SAW wafat, sebagian Hadharim murtad. Hingga banyak pula dari kalangan Hadharim sendiri yang tetap dalam Islam ikut berperang melawan temannya sendiri yang murtad.
Hadharim sangat berjasa dalam sejarah penyebaran Islam dan memperluas pemerintahan Islam. Tak sedikit dari mereka yang menjadi panglima perang dan menaklukan negeri asing, seperti Asy'ats bin Qais al-Kindy yang menaklukkan negeri Nahawand dan Azerbaijan.
Pada abad ke-9 atau ke-10 Hijriyah, Hadhramaut telah menjalin hubungan dengan kota peradaban Islam pertama, Madinah al-Munawwarah. Orang-orang Hadhramaut berbondong-bondong memeluk agama Islam dengan penuh rasa taat sesuai dengan nurani mereka yang cinta akan kebaikan dan kedamaian.
Hubungan mereka dengan Rasulullah SAW dan para sahabat terjalin saat Islam datang dan menyebar di Jazirah Arab. Kontak mereka dengan para sahabat meningkat saat perang riddah (memberantas orang-orang murtad). Yaitu ketika sebagian kelompok di Hadhramaut tidak menghiraukan utusan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq bernama Ziyad Bin Lubaid.  Mereka tidak mau membayar zakat, sebagaimana yang diwajibkan oleh Islam. Kemudian Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq mengirimkan pasukan yang terdiri dari para sahabat. Pertempuran kedua kelompok tidak bisa dihindari, banyak korban tewas. Namun kemenangan berada di tangan para sahabat setelah 70 pasukannya syahid di medan perang.
Hubungan antara Hadharim dengan para sahabat pada periode pertama menyebarnya Islam memberi andil besar dalam penanaman keimanan, prinsip serta akhlaq islami. Mayoritas penduduk Hadhramaut belajar ilmu keislaman, seperti tafsir, hadits, dan hukum kepada para sahabat. Mereka juga banyak belajar tentang jihad.
Mereka bergabung dengan barisan tentara “al-Fath”. Dengan semangat membara, mereka pulang ke negerinya membawa kabar gembira akan agama baru yang kemudian diikuti oleh keluarga dan anak cucu mereka. Setelah itu, kabilah-kabilah Hadhramaut banyak yang hijrah ke Madinah dan tidak kembali ke negerinya. Demikian hijrah ke Madinah al-Munawwarah silih berganti.
Namun fenomena ini mendesakkan dampak negatif bagi Hadhramaut sendiri. Karena banyak Hadharim yang meninggalkan negeri asalnya, lama-kelamaan penduduk asli tanah kelahirannya tidak banyak tahu tentang ilmu pengetahuan. Semua orang ikut bergabung dengan pasukan Islam. Yang tinggal di Hadhramaut hanya orang-orang lemah dan tidak memiliki kepribadian.
Di antara faktor meluasnya kebodohan di Hadhramaut adalah tidak adanya perhatian dari pemerintah Bani Umayyah maupun Bani Abbas terhadap wilayah ini. Kecuali dalam hal-hal yang berhubungan dengan keputusan melawan pemberontak di Hadhramaut. Pemberontakan itu sendiri terjadi karena berbagai problematika yang membelenggu rakyat berupa kedzaliman dan kehidupan yang sempit. Gerakan yang paling populer di kalangan rakyat Hadhramaut saat itu adalah gerakan yang dipimpin oleh Abdullah Bin Yahya al-Kindy (128 H) yang dijuluki Thalib al-Haq (penuntut kebenaran).
3. Munculnya Paham al-Ibadhiyah
Al-Ibadhiyah adalah salah satu paham Khawarij yang diambil dari nama pembesarnya, Abdullah Bin Ibadh. Dia pencetus pertama paham ini. Khawarij, golongan yang keluar dari kelompok Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah radliyallahu ‘anhu, terpecah menjadi 20 aliran dan yang paling dominan adalah al Ibadhiyah yang akhirnya juga terpecah menjadi 4 aliran.
Tokoh aliran ini yang terkenal adalah Abdullah bin Yahya al-Kindy (wafat 130 H) yang bergelar Thalib al-Haq (sebagaimana disebutkan). Dia orang pertama yang menjadi imam panutan umat di kalangan Ibadhiyyin (pengikut aliran al-Ibadhiyah, red) di Hadhramaut. Dia pula yang mempelopori gerakan rovolusi melawan pemerintahan Bani Umayah, Marwan Bin Muhammad (129 H).
Setelah menguasai wilayah Hadhramaut dan menjadikan kota Shibam sebagai pusat kepemimpinannya, al-Kindy melebarkan sayap ke Sana'a dengan membawa 2000 pasukan khusus dan berhasil menguasainya. Lengkap sudah kekuasaan al-Kindy di Yaman. Namun ia belum puas, hingga berniat menambah kekuasaanya ke Hijaz (Makkah dan Madinah). Sampai di Makkah, tepat pada musim haji, lagi-lagi ia sukses. Seorang panglima perangnya, Abu Hamzah, berhasil menguasai Makkah dan melanjutkan jejaknya ke Madinah. Kota itu berhasil dikuasai setelah terjadi pertempuran sengit di daerah Qadid, dekat Madinah.
Keberhasilan menguasai Hijaz tidak membuat dirinya ‘ongkang-ongkang kaki’. Dia pun berencana mengirim pasukan untuk menyerang pemerintahan Umawiyah di Syam (sekarang Suriah dan sekitarnya). Tapi sebelum pasukan al-Kindy menyerang, Marwan Bin Muhammad (pemegang tampuk pemerintahan Umawiyah) mengirim pasukan yang dikomandoi Abdul Malik bin Athiyah as-Sa'di dan berhasil mengalahkan pasukan al-Kindy.
Setelah pertempuran selesai, Abdul Malik pergi ke Sana'a untuk membunuh al-Kindy. Sampai di Sana'a, tepatnya di daerah Tubala, mereka bertemu dengan pasukan Al Kindy. Pertempuran pun terjadi. Untuk kedua kalinya, pasukan al-Kindy mengalami kekalahan. Al-Kindy sendiri terbunuh dalam pertempuran itu.
Sepeninggal al-Kindy, tampuk kekuasaan dipegang Abdullah bin Sa'id al-Hadhrami. Selain Abdullah bin Sa'id, ada tokoh al Ibadhiyah yang kharismatik pada akhir abad ke-2 H, yaitu Muhammad bin Amr bin Abdullah al-Haritsy al-Hadhrami yang berhasil membunuh Ma'n bin Za'idah asy-Syibani.
Pada awal hingga pertengahan abad ke-5 H, ada pula tokoh al Ibadhiyah yang sangat populer, bernama Abu Ishaq Ibrahim bin Qais bin Sulaiman al-Hamdani al-Hadhrami (454 H). Pada abad ke-6 H, aliran al-Ibadhiyah melegenda di bawah kepemimpinan keluarga an-Nu'man, keturunan Bani ad-Daghar (penguasa kota Shibam).
Yang sangat terkenal kala itu adalah Rasyid bin Ahmad bin an-Nu'man yang mati terbunuh ketika memimpin gerakan melawan kekuasaan Abdullah Bin Rasyid dari aliran Sunny (605 H).
4. Munculnya Sunni Asy'ariyah
Pada tahun 260 H, di kota Basrah Iraq lahir seorang anak bernama Ahmad bin Isa bin Muhammad dari keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya bernama Isa dan kakeknya bernama Ali bin Muhammad al-Uraidhi. Keduanya hijrah ke Madinah al-Munawarah dan wafat disana. Walaupun ditinggal ayah dan kakeknya, Ahmad bin Isa tetap tinggal di Kota Basrah Iraq hingga tumbuh dewasa.
Saat itu (255 H), kondisi Iraq secara umum sedang gonjang-ganjing. Kekuasaan dipegang oleh orang kulit hitam yang telah membawa banyak kerusakan dan malapetaka. Polemik ini lebih disebabkan karena panglima Ali bin Ahmad yang mengaku dirinya sebagai Nabi. Kondisi seperti itu bertahan hingga pemerintahan Bani Abbas berhasil membunuhnya di tahun 270 H.
Stabilitas keamanan semakin tidak menentu setelah kekuasaan Bashrah dipegang oleh Abu Thahir al-Janabi (311 H). Dia melucuti senjata, menculik, menawan wanita dan merampas harta rakyat. Tragedi-tragedi yang menakutkan seperti ini terus menimpa kota Bashrah. Bani Alawiyyin (keluarga Ahmad bin Isa) tak luput dari siksa dan penderitaan yang berat itu, hingga pada puncaknya Ahmad Bin Isa memutuskan untuk hijrah.
Pada tahun 317 H, Ahmad bin Isa melakukan perjalanan hijrah pertama menuju Hijaz (Madinah al-Munawwarah). Ia ditemani anaknya, Ubaidillah dan cucunya, Bashri bin Ubaidillah. Sementara keluarganya yang lain, Muhammad, Ali  dan Hasan, ditinggal di Bashrah dan menetap di sana hingga mempunyai keturunan yang turun temurun.
Setelah menetap di Madinah kurang lebih satu tahun, Ahmad bin Isa melanjutkan perjalanan ke Makkah (318 H). Kemudian ke Yaman dengan berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain. Ketika sampai di Hadhramaut, Ahmad bin Isa merasa cocok dan akhirnya menetap di sana.
Daerah pertama yang dijadikan tempat tinggal adalah Wadi (lembah) Doan yang penduduknya beraliran Syiah, meski mayoritas masyarakat  Hadharamaut secara umum saat itu pengikut Ibadhiyah. Setelah beberapa lama tinggal di Do'an, ia berpindah ke daerah Hajrain, kemudian Qarah Bani Jusyair (sebuah desa dekat Bour), kemudiaan pindah lagi ke Khasisah dan membeli tanah yang kemudian diberi nama Shauh.
Ahmad bin Isa yang bergelar al-Muhajir (orang yang berhijrah, red) beraliran Sunni dan beraqidah Asy'ariyah. Ini jelas berbeda dengan Ibadhiyah. Perbedaan ini merupakan salah satu faktor kepindahannya dari satu tempat ke tempat lain. Konon, diantara kedua belah pihak sering terjadi perdebatan sengit. Adu argumen dan hujjah ini terus berlangsung sampai akhir hayat dan diteruskan oleh keturunanya (Bani Alawi), sampai aliran Ibadhiyah ini lenyap dengan sendirinya dari Hahramaut pada abad ke-7 H.
Al-Muhajir menetap di Hadhramaut selama 26 tahun. Ia dimakamkan di Khasisah (345 H). Keturunan dari al-Muhajir inilah yang disebut dengan sebutan Alawiyyin (Bani Alawi) di Hadhramaut, diambil dari nama kakeknya, Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa. Mula-mula, nama Alawiyyin digunakan untuk membedakan keturunan al-Muhajir dengan anak pamannya, Jadid bin Ubaidillah, yang saat itu, di Iraq, nama Alawiyyin identik orang yang fanatik dengan Ali bin Abu Thalib.
Demikian pengaruh dan dominasi keturunan al-Muhajir terus berkembang di Hadhramaut dan sekitarnya hingga berpengaruh pada kebudayaan,  kehidupan sosial dan karakter penduduknya. Lewat pengajaran dan tuntunannya, mampu mencetak masyarakat yang madani, berbudi luhur dan berpendidikan. Tidak dapat dipungkiri jasa mereka di kancah politik untuk membela negeri Hadhramaut demi menciptakan kedamaian.
5. Dinasti Rasyidiyah (400-700 H)
Dinasti Rasyidiyah adalah keturunan Bani Qahthan, salah satu Dinasti Himyar. Mereka adalah anak-anak pamannya dari Bani Daghar yang dikalahkan oleh Dinasti Syibam. Silsilah nasab mereka bertemu dari Fahd bin al-Qail bin Ya'fur bin Murah bin Hadhramaut bin Saba al-Asghar. Hadhramaut di masa pemerintahan Rasyidiyah yang dipimpin Qahthan Bin al-Aum al-Himyari juga mengalami kemajuan pesat. Pusat pemerintahan berada di Tarim, lalu diteruskan oleh anaknya, Ahmad pada tahun 430 H. Kekuasaan ini terus berlangsung sampai abad ke-7 H. Pemerintahan Rasyidiyah bermazhab Sunni Syafii, berakidah Asy’ari. Karena itu, terjadi perbedaan dengan Mazhab Ibadhi yang masyhur saat itu. Orang yang paling populer adalah Abdullah bin Rasyid yang sekarang namanya dipakai untuk lembah di Hadhramaut, wadi Bin Rasyid.
Saat keturunan Rasyid memegang kekuasaan yang berpusat di Tarim, di daerah lain terdapat sejumlah pemerintahan sendiri. Seperti pemerintahan Bani Daghar di Syibam dan pemerintahan Alu Iqbal di Syihr yang disebut juga keluarga Faris. Saat itu, sering terjadi pertempuran melawan pasukan asing yang berusaha menguasai Hadhramaut.
Pada tahun 569 H, kelompok asing al-Ayyubiyyun (Turky) berhasil menguasai Hadhramaut dengan pimpinan Thauran Syah, saudara kandung Shalahudin al-Ayyubi. Ia mengirim pasukan untuk menguasai Hadhramaut pada tahun 575 H, dipimpin oleh panglima perang, Utsman al-Zanjabily. Mereka berhasil menguasai wilayah Syihr. Pemerintahan Rasyidiyah beserta dinasti-dinasti lain terus mengadakan perlawanan, namun selalu gagal.
Kekalahan yang menimpa dinasti-dinasti di Hadhramaut tidak mematahkan semangat untuk terus mengadakan perlawanan mengusir pasukan asing. Namun kondisi makin kacau, perampokan, penculikan dan penjarahan semakin merajalela saat tampuk kekuasaan dipegang oleh Umar bin Mahdi al-Yamani yang mengusung akidah dari luar. Ia menginstruksikan penyerangan terhadap Dinasti An-Nahdliyah di Shibam yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban dari pasukannya sendiri (621 H).
Setelah Qabilah an-Nahdiyah dapat menguasai keadaan, semua tawanan Umar Bin Mahdi, dilepaskan dari penjara di Tarim. Termasuk keturunan Abdullah bin Rasyid yang kemudian bertolak ke Shihr dan tinggal di sana sampai akhir hayat. Demikianlah Hadhramaut saat itu, terus menerus dilanda perang dan perebutan kekuasaan yang tidak ada habisnya.
6. Awal Dinasti al-Katsiri
Al-Amir Salim Bin Idris Bin Muhammad Bin Ahmad al-Hubudzi bukan orang Hadhramaut. Dia lahir dan besar di Dhafar (Oman). Tapi kakeknya merupakan penduduk Hadhramaut. Kakeknya adalah salah satu punggawa dari kesultanan Muhammad Bin Ahmad al-Akhal, seorang Emir dari daerah Mirbath Oman wilayah pantai timur daerah Dhafar. Ia dipercaya menjalankan perdagangan sang sultan.
Ketika sultan wafat dan tidak ada yang menggantikannya, Muhammad al-Hubdzi maju untuk memegang tampuk pimpinan di daerah Dhafar. Setelah itu diteruskan oleh anaknya, Ahmad yang telah membangun daerah Dhafar hingga menjadi kota modern di tahun 650 H. Ahmad terkenal dermawan, sederhana dan berakhlak mulia.
Kemudian pemerintahannya dilanjutkan oleh keturunannya Muhammad bin Idris, kemudian Salim bin Idris. Salim inilah yang berambisi untuk menguasai seluruh daerah Hadhramaut. Ia lalu datang di Hadhramaut dan membeli tanah di Syibam tahun 673 H dan dijadikan sebagai pusat aktifitasnya. Ia memulai perang di sejumlah kota dan berhasil menduduki Seiyun, Damun, al-'Ajz al-Gheil. Namun kemudian ia gagal setelah Raja Tarim, Umar bin Mas'ud Yamani bersama pasukannya mengepung dan mengurungnya beberapa bulan, sampai akhirnya menyerah dan kembali ke Syibam, lalu pulang kenegerinya (Dhafar).
Keluarga al-Katsiri sejak akhir abad ke-6 H mempersiapkan diri untuk menguasai Hadhramaut dan membangun kekuasaan Dinasti al-Katsiri. Tapi saat al-Hubudzi datang ke Hadhramaut dari Dhafar, kekuasaan al-Katsiri diserahkan kepada al-Hubudzi. Dan saat al-Hubudzi pulang ke Dhafar, Al-Katsiri kembali menggantikan kekuasaanya dengan memakai nama al-Hubudzi (675 H). Pada tahun itu, pemimpin Al-Katsiri, Ali bin Umar bin Katsir (disebut al-Katsiri Pertama), yang tengah bersiap-siap menguasai Hadhramaut wafat.
7. Akhir Dinasti al-Katsiri
Pernah suatu ketika, Raja al-Mudzaffar Yusuf bin Umar bin Rasul  mengirim utusannya kepada Raja Persia untuk mengantarkan hadiah berharga melalui jalur laut. Di tengah jalan, utusan tersebut diterjang badai hingga terdampar di pantai Dzafar. Salim bin Idris al-Hubudzi, yang kebetulan menjadi raja Dzafar, menahan dan merampas perbekalan serta hadiahnya.
Raja Mudzaffar marah dan menganggap hasil rampasan itu akan digunakan untuk menyerang Aden. Maka sebelum terlambat, Raja al-Mudzaffar mengirimkan pasukan besarnya ke Dzafar. Dzafar digempur habis-habisan dari laut dan darat hingga semua al-Hubudzi terbunuh pada tahun 678 H.
Setelah kematian al-Hubudzi, al-Katsiri mulai menguasai semua kekuasaanya di Hadhramaut. Kekuasaan Al-Katiri ini berbeda dengan yang lain. Ia senang mendekati para pemuka agama hingga para ulama pun mendukung pemerintahannya. Salah satunya adalah Syekh Muhammad bin Umar Ba 'Abbad beserta putranya, Abdullah al-Qadim yang membangun kota Ghurfah di tahun 701 H.
Hubungan al-Katsiri dengan Alawiyyin yang disegani kala itu, sangat baik. Hal itu menjadikan kekuasaannya meluas ke seluruh daerah Hadhramaut. Hanya satu daerah yang tidak bisa dikuasai, yaitu daerah Bur yang diduduki oleh Qabilah Ali Banjar yang menolak pemerintahan Al-Katsiri. Namun akhirnya Bur dapat dikuasai setelah berhasil mengalahkan dan menghancurkan kekuasaannya di tahun 723 H.
Akhir abad ke-8 H, semua daerah menjadi kekuasaan al-Katsiri. Pada tahun 814 H, salah satu keluarga Al-Katsiri, Ali bin Umar bin Ja'far bin Badr bin Muhammad bin Ali bin Katsir pergi meninggalkan Bur. Ia bergerilya ke segala penjuru Hadhramaut sampai berhasil menguasai daerah Dzafar. Mulai saat itu, dia mendapat gelar Sultan. Dialah orang al-Katsiri pertama yang mendapatkan gelar itu.
Ia wafat setelah menguasai Syibam, Dzafar dan hampir seluruh wilayah Hadhramaut. Dzafar berada di bawah kekuasaan al-Katsiri hingga dinasti kerajaannya tidak memiliki pengaruh lagi di tahun 1130 H.
8. Dinasti Badujanah dan Sultan Badr Abu Thuwairiq
Sejarah telah mencatat, Kota Syihr sering mengalami pergantian pemerintahan. Pernah suatu kali independen, terkadang juga di bawah otoritas raja-raja Yaman. Bahkan yang unik, kota ini pernah menjadi ibu kota dan di lain waktu menjadi kota biasa.
Penguasa pertama Syihr adalah al-Amir Said bin Mubarak bin Faris Badujanah al-Kindi (keturunan bani Kindah). Ia berkuasa pada paruh awal abad ke-9 Hijriah. Ia dikenal tegas, pemurah, berwibawa, adil dan bijaksana. Setelah meninggal dunia, ia digantikan oleh putranya, Muhammad yang mewarisi sifat sang ayah. Ibunya berasal dari keluarga besar Ma'asyir yang nota bene dikenal dengan kecerdasan, cerdas dan pakar dalam berpolitik.
Sementara itu, Dinasti al Rasul yang kokoh di Yaman dan Hadhramaut telah terhempas dari peredaran, direposisi kemudian oleh Dinasti Al Thahir yang telah menduduki Aden, dataran rendah di Yaman, dan Kota Taiz.
Aden saat itu mengalami ketidakstabilan politik. Ditambah lagi dengan perang yang berkecamuk antara Bani al Kald dan Bani al Ahmad, keduanya dari Bani Yafi'. Hal ini memaksa Al Kald untuk berlindung ke Syihr dan memotivasi Amir Badujanah untuk menduduki Syihr sambil menjanjikan bantuan. Ibunda Amir tidak setuju dengan rencana ini. Namun saying, Amir tidak menggubris nasehatnya.
Saat ia hampir sampai di pesisir Aden, tiba-tiba angin kencang datang. Akibatnya, kapal-kapal pasukan maritim ikut tenggelam. Amir selamat dari bencana itu, tapi ia tertangkap di sana (tahun 862 H). Saat berita itu sampai ke telinga ibunya, ia bergegas menuju Aden dan meminta Sultan Amir untuk membebaskan putranya, dengan syarat penyerahan kekuasaan Syihr ke tangan al Thahir.
Sebagian sumber sejarah mengatakan, Sultan Amir menduduki Syihr tahun 865 H. Sementara Badujanah melarikan diri ke desa Hayrey, Mahrah.
Tatkala Sultan Badr bin Muhammad bin Abdullah al-Katsiri mengetahui kabar keberhasilan al Thahir menduduki Syihr, ia mengirim surat persahabatan sekaligus perjanjian (867 H.). Lalu ia memasuki Syihr sebagai penguasa. Itulah awal mula al Katsiri bercokol di Syihr.
Pada tahun 883 H, al Dujanah berhasil merebut kembali Syihr dan mengusir al-Katsiri. Sultan Badr lari menuju Hadhramaut, tepatnya di kota Syibam yang merupakan sentral kerajaan al-Katsiri saat itu.
Al-Dujanah seterusnya menguasai Syihr sampai awal abad 10 H. Peperangan silih berganti terjadi dan akhirnya dimenangkan oleh Sultan Dja'far bin Abdullah bin Ali al-Katsiri tahun 901 H. Ia menggabungkan Syihr dalam kerajaan al-Katsiri.
Diantara pemuka di kerajaan al-Katsiri adalah Sultan Badr bin Abdullah bin Ja'far al-Katsiri yang bergelar Abu Thuwairiq. Ia dianggap Sultan pertama yang berhasil mempersatukan Hadhramaut sampai ujung perbatasannya.
Abu Thuwairiq membangun militernya dari etnis selain Hadhramaut. Mulai dari Turki, Bani Yafi', budak-budak Afrika, kabilah-kabilah Zaidiyah Yaman dan lainnya. Tujuannya adalah menenangkan mereka sekaligus menumbuhkan loyalitas. Siasat politik ini sangat berpengaruh guna menjaga stabilitas keamanan.
Kekuasaan Abu Thuwairiq melebur dari Awaliq bagian barat manuju Sayhut bagian timur, dari pesisir selatan menuju padang pasir al-Ahqaf bagian utara. Bani Abdul Wahid dan Awaliq juga berikrar tunduk kepadanya.
Pada tahun 937 H, ia menginstruksikan agar namanya dicetak dalam uang perak negara nominal satu riyal setengah dan seperempat. Di tahun 942 H, ia kembali mencetak dengan nama Qisyah. Perhatiannya pada sisi keilmuan juga patut diacungi jempol.
Diantara aktivitas kemiliterannya adalah blokade terhadap Syibam yang saat itu dikuasai Al Muhammad. Tarim juga sempat dikepung 20 hari sampai penguasa Tarim saat itu, Muhammad bin Muhammad bin Ja'far, menyatakan menyerah beserta al-Yamani. Al Amir lalu mengusir mereka tanpa terkecuali, hanya saja budak-budak keluarga Yamani dibiarkan tetap di Tarim. Dengan demikian tercatat Dinasti Al-Katsiri adalah yang pertama menguasai Tarim. Di bulan yang sama, ia menguasai Haynan.
Begitulah perjalanan politiknya, hingga pada akhirnya ia menguasai semua kawasan Hadhramaut dari ujung sampai ujung lainnya.
Perlu dicatat, di abad ke-10 itu juga Hadhramaut mengalami masa yang kaya ulama dan sastrawan. Ulama saat itu betul-betul memperoleh penghormatan, meski ada beberapa gonjang-ganjing politik yang membuat Abu Thuwairiq bersikap antipati terhadap ulama. Syekh Ma'ruf Ba Jammal misalnya, seorang sosok ulama yang dikenal shalih, sempat dituduh mendukung salah satu pembangkang dari sepupunya. Ia ditangkap dan diarak dengan cara tidak layak, sambil digantungkan di lehernya seutas tali dengan diikuti yel-yel "Ini adalah sesembahanmu, hai rakyat Syibam". Ulama itu lalu diisolir ke Dau'an.
Tahun 929 H, Portugal datang menyerang Syihr. Tapi penduduk setempat melawan dengan gigih. Para syuhada banyak berguguran. Sampai saat ini, di sana terdapat makam ‘tujuh syuhada’, tepatnya di desa Aql Bagharib. Pertempuran terus berkecamuk, hingga akhirnya Portugal hengkang menuju India.
Tapi tahun 942 H, Portugal kembali mencoba menduduki Syihr. Abu Thuwairiq mengobarkan semangat perlawanan hingga menyebabkan Portugal kewalahan. Pertempuran berlangsung terus menerus baik di darat maupun di laut. Tentara Abu Thuwairiq benar-benar gigih berperang. Hingga di hari kedua, Portugal kalah telak. Koban bergelimpangan di jalanan. Perahu-perahu mereka dirampas berikut penangkapan para nakodanya. Pasukan Portugal menyatakan menyerah dan memohon aman. Abu Thuwairiq memberikan jaminan keamanan pada mereka, termasuk kapten kapal. Tawanan perang ini berjumlah 70 orang. Abu Thuwairiq membaginya untuk masing-masing kompi pasukannya, sepuluh untuk para komandan, sepuluh untuk tentara Zaidiyah, sepuluh untuk Bani Yafi' dan sepuluh untuk para budak. Abu Thuwairiq berhasil menguasai kapal, uang, harta dan budak.
Setelah itu, ada rombongan Portugal lagi yang datang. Mereka membawa harta kekayaan dari Afrika timur. Abu Thuwairiq menangkap mereka untuk menyusul teman-temannya yang sudah tertawan. Ia lalu menghadiahkan 35 tawanan untuk Sultan Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) di Istanbul Turki. Sebelas tawanan untuk saudaranya, Muhammad, yang menjabat gubernur Dzifar. Dan membawa 30 tawanan ke pedalaman Hadhramaut saat musim panas di tahun 942 H.
Perang melawan Portugal yang terjadi berulang-ulang, kemudian berdamai setelah perang, atau berperang yang diakhiri damai, membuat Badr memiliki banyak tawanan Eropa. Hingga suatu saat, Badr mencium gelagat pembangkangan sebagian orang Portugal. Ia menginstruksikan agar mereka semua dibunuh tanpa sisa. Ia lalu mengirim kepala-kepala mereka ke Raja Turki saat itu, Sultan Sulaiman al-Qanuni.
Ternyata, beberapa bangsawan al-Katsiri merasa tidak senang dengan sikap Abu Thuwairiq yang diktator dan menyerahkan urusan-urusan penting kenegaraan kepada pihak selain keluarga al-Katsiri.
Dimulai oleh Ali bin Umar Al Katsiri di Syibam. Ia menyatakan lepas dari Abu Thuwairiq dan memproklamirkan pembangkangannya. Ia dibantu oleh orang-orang berpengaruh Hadhramaut saat itu, diantaranya Syekh Ma'ruf Ba Jammal. Mendengar berita itu, Badr menyerang Syibam dan berhasil menguasainya (958 H). Ali bin Umar al-Katsiri ditahan di penjara Muraymah yang kemudian menjadi penjara bangsawan al-Katsiri yang membangkang.
Di Haynan, Amir Muhammad bin Badr bin Muhammad juga melakukan pergolakan dan akhirnya ikut mendekam di penjara Muraymah. Tidak ketinggalan Muhammad, saudaranya sendiri. Peperangan antara mereka berdua menjadi sebuah rivalitas yang akhirnya Amir Muhammad hanya berhasil menduduki Syihr sampai ajal menjemputnya.
Pergolakan demi pergolakan datang silih berganti, sampai-sampai putranya sendiri yang bernama Abdullah ikut ditangkap dan ditahan di penjara Muraymah pada bulan Shafar 976 H. Ketika sakit keras menimpa, ia kembali ke Seiyun sampai kematian menjemput di tahun 977 H. Setelah perjuangan panjang, ia berhasil menjadikan Seiyun sebagai ibu kota. Kuasa dan hukum al-Katsiri di Seiyun dan beberapa desa di lembah Hadhramaut bertahan sampai munculnya revolusi dan kemerdekaan tahun 1967 M.
9. Umar bin Awadh bin Abdullah al-Quaithi al-Yafi'i
Umar lahir di abad 12 Hijriah, di daerah Lahrum, kawasan Andal. Imru'ul Qois, seorang penyair arab kawakan yang sajaknya banyak dikutib kitab-kitab klasik, dalam gubahan syairnya mengatakan:
Sepertinya aku tak pernah begadang di Dammun meski sekali
Dan tak pernah menyaksikan pertempuran satu hari pun di Andal
Ayah Umar selalu pulang pergi antara Lahrum dan Syibam. Oleh karena itu, ketika sang ayah meninggal, Umar beserta ibunya yang memiliki pengaruh besar dalam pendidikannya, pindah ke Syibam. Di sana ia belajar baca tulis, berhitung, dan dasar-dasar ilmu agama. Kecerdasan dan kepiawaiannya sudah tampak sejak kecil.
Pada tahun 1207, saat krisis ekonomi menimpa keluarganya, untuk mencukupi keperluan hidup --sebab sang ayah tak meninggalkan kekayaan  sepeserpun-- ia berimigrasi ke India, negara favorit yang selalu dituju para imigran asal Hadhramaut saat itu. Ia lalu bergabung dengan pasukan Raja Nakbur. Ia lihai di bidang militer dan kepemimpinan. Tapi di saat ia menjabat sebagai komandan militer, sering terjadi insiden-insiden yang kemudian memaksanya untuk hengkang menuju Haidar Abad.
Raja Haidar Abad, yang sudah mendengar perihal Umar, menawarinya untuk mengepalai satu peleton dari pasukan militernya. Umar pun tak ragu menerimanya. Mulai saat itu, ia diberi gelar "Nuwab Jan Natsar Jank", sebuah gelar penghormatan di India. Ia dengan penuh keseriusan menjalankan tugas yang diembannya. Allah SWT menganugrahinya lima orang putra; Muhammad, Abdullah, Sholeh, Awadh dan Ali.
Kabilah Yafi' di Hadhramaut saat itu banyak mengalami tekanan dari beberapa infasi militer yang bertujuan mencabut kekuasaan mereka dari tanah Hadhramaut. Geliat pemberontakan itu dipimpin Manshur bin Umar dari keluarga Isa bin Badr dan Gholib bin Muhsin al-Katsiri. Manshur berhasil menanam benih perpecahan dan fitnah di antara kabilah-kabilah yang ada di Syibam. Ia mulai mengobarkan api permusuhan, sehingga berhasil mengusir Kabilah Bani Yafi’ dari Syibam tanggal 27 Ramadhan 1255 H.
Setelah adu kekuatan berdarah, tidak ada yang selamat kecuali beberapa gelintir pasukan garnisum Yafi' di Syibam. Harta dan rumah mereka pun dirampas. Tidak cukup itu, ia juga memblokade kerabat dari pihak ibu bani Yafi', yaitu keluarga Ali Jabir Bakhsyamir. Bahkan mereka mengirim orang untuk berbuat onar di Qathn. Di sana, mereka meledakkan rumah Bin Ma'mar al-Khallaqi dengan batu dan membunuh orang yang ada di dalamnya, diantaranya dua bibi Umar bin Awadh al-Quaithi.
Sedangkan di timur lembah, Ghalib bin Muhsin juga berupaya merebut kekuasaan Yafi' di Tarim, Seiyun dan desa sekitarnya.
Silih berganti kabar menyedihkan ini terdengar di telinga Umar bin Awadh di India. Ia memikirkan cara untuk menyelamatkan kerabatnya. Ia memulainya dengan cara membeli tempat sebagai markas, yaitu tanah "Raydhah" milik keluarga al-Aydrus, yang selanjutnya ia bangun di sana benteng-benteng kokoh di tahun 1255 H.
Pada tahun 1258 H, saat utusan bani Yafi' datang ke India untuk meminta tolong padanya, Umar mengutus anaknya, Muhammad, agar menetap di Raydhah sekaligus membeli alat-alat perlengkapan perang, lalu mengajak tentara bani Yafi' untuk berjuang bersama.
Langkah awal adalah mengembargo keluarga Ali Jabir dan merebut beberapa benteng milik Mansur bin Umar di sekitar Kushamir. Begitu pula benteng-benteng al-Aqqad yang lokasinya dekat dengan Syibam. Kemudian mereka mengusir paksa keluarga Katsiri dari Hadziyeh, salah satu kota di Qathen yang klasik dan historik.
Mereka juga membuat penjagaan ketat di desa Khumur, setelah terlebih dulu mengusir peduduknya yang nota bene masih kerabat keluarga Katsiri. Semua ini sebagai terobosan perdana untuk menyerang Syibam. Setelah al-Quaithi merasakan stabilitas Qothen, ia mulai mencari sekutu dari kabilah lain. Di antaranya keluarga Abdul Aziz di Suwayri, timur Tarim, juga dengan kepala kabilah keluarga bani Tamim, Ahmad bin Abdullah at-Tamimi. Berkat langkah ini, mayoritas keluarga Tamim yang berdomosili di kawasan timur menjadi sekutu al-Quaithi. Kemudian mereka menjadikan Suwayri sebagai pusat penyerangan terhadap al-Katsiri dari belakang.
Langkah selanjutnya, mereka mengadakan perjanjian dengan kepala tertinggi Bani Nahd, Tsabit bin Abdurrahman an-Nahdi, Raja Ma'rib Syarif Abdurrahman al-Khalidi, Raja Darriyah di Najd Muhammad bin Husein bin Qumla dan Sultan Awaliq Awadh bin Abdullah al-Aulaqi. Dengan begitu, tersebarlah propaganda kerajaan Quaithi baru sampai ke ujung Najd Yaman. Demikianlah, Umar bin Awadh terus berupaya memperkuat kekuasaannya dan bersiap diri menghantam Syibam dengan cara bersekutu dengan keluarga besar Hudzeil al-Katsiri, yang kebetulan tinggal di Dhahirah, kawasan Syibam. Lokasi itu sekaligus dijadikan sebagai pangkalan perang.
Markaz di Syibam ini diserang tahun 1279 H dari arah utara yang disebut daerah Syuwairi', hingga nyaris roboh. Melihat realita itu, al-Quaithi memutuskan untuk menangguhkan serangan atas Syibam. Ia memerintahkan tentaranya untuk merobohkan pos-pos mereka dan mengevakuasi penduduk Syuwairi' yang asalnya tinggal di Syibam menuju Raydhah Qathen. Diantaranya adalah kabilah al-Syuaib, al-Mu'allim, al-Birrahiah dan lainnya. Ia juga memberikan bantuan materi untuk mereka dan berjanji akan kembali ke Syibam dalam waktu dekat.
Al-Quaithi masih bertekad bulat membersihkan kawasan Syibam dari sisa-sisa al-Katsiri. Karena itu ia mulai menduduki Khamir tahun 1273 H. Ia menyerang benteng Sa'adiyah Bazraq dan ar-Rahz. Tiga-tiganya adalah benteng penting kota. Ia berhasil menguasainya setelah melakoni pertempuran sengit di tahun 1274 H.
Manshur bin Umar merasa posisinya berada dalam bahaya. Ia meminta gencatan senjata dengan memberi syarat pembagian Syibam mejadi dua bagian. Dengan begitu, al-Quaithi berhasil menduduki Syibam di awal Muharam 1275 H. Dilanjutkan dengan penculikan Mansur bin Umar di tahun yang sama, sehingga Syibam mampu dikuasai secara penuh.
Namun di tahun yang sama, tepatnya di bulan Dzul Hijjah, al-Katsiri kembali berambisi merebut Syibam. Tak ayal lagi, pertempuran sengit terjadi di kawasan al-Karan dan Jarab Hasyam sebelah barat Syibam. Namun mereka tidak berhasil.
Al-Quaithi lalu membeli kota Hurah dari keluarga Umar bin Ja'far, keluarga besar Isa bin Badr al-Katsiri. Dengan langkah ini, Hurah menjelma menjadi kota kedua setelah Syibam yang berhasil dikuasainya. Pusat-pusat kota yang penting sama sekali tidak dikuasai Kabilah al-Katsiri, kecuali Sahil bin Mahri yang terletak di sebelah selatan Syibam.
Mereka terus menerus mempertahankan kota itu, hingga terjadi peperangan demi peperangan selama 4 tahun dan baru berakhir dengan penyerahan Sahil beserta benteng-bentengnya kepada al-Quaithi di tahun 1281 H. Sebagai gantinya, al-Quaithi membayar 10,000 Riyal sebagai tebusan harta kekayaan Al Mahri di Sahil, Masilah, dataran tinggi Sabbalah, yang semuanya di bawah kuasa al-Quaithi.
Di bulan Shafar 1282 H, al-Jama'dar Umar bin Awadh al-Quaithi, pelopor Dinasti Quaithi, meninggal dunia di Haidar Abad. Ia berwasiat agar kuasa hukum sepeninggalnya diserahkan kepada tiga orang putranya Abdullah, Awadh dan Sholeh dan berpesan kepada Muhammad dan Ali, dua putranya yang lain agar tunduk kepada mereka bertiga.
Dengan begitu, Dinasti Quaithi terus berkesinambungan dalam perluasan pemerintahan di masa al-Jama'dar Awadh bin Umar orang yang bergelar Sultan pertama kali sesuai keputusan pemerintah India tahun 1902.
Syihr Yaman dapat dikuasai di bulan Dzul Hijjah 1283 H, begitu pula Syuhair. Kemudian di tahun 1292 H, Ghail ikut diduduki. Akibatnya keluarga Umar Ba'mar, para penguasa setempat, melarikan diri. Sebelumnya, di tahun 1287 H, Kota Hami Mukalla juga berhasil diduduki. Demikian juga Bagasywan, Qren, Dies, lalu Qushair, dapat ditaklukkan pada tahun 1288 H. Dengan perluasan ini, semua pelabuhan timur Yaman di bawah kuasa hukum al-Quaithi.
Di lain tempat, Naqieb (ketua, pen) Sholah bin Muhammad al-Kasadi yang saat itu memerintah Mukalla memiliki banyak hutang kepada al-Quaithi untuk biaya operasional salah satu infasi militernya. Setelah ia wafat, al-Quaithi menuntut Umar bin Sholah selaku anaknya agar melunasi hutang itu. Sengketa terjadi antara kedua kerajaan dan berakhir dengan diserahkannya setengah dari Mukalla, Brum dan Harsyiyyet, untuk al-Quaithi. Tapi sengketa bertambah memanas. Sampai akhirnya Inggris ikut campur dalam penyelesaian masalah ini dan memaksa al-Kasadi agar meninggalkan Mukalla menuju Zanjibar bulan Nofember 1881 M.
Begitulah ceritanya, hingga akhirnya pelabuhan-pelabuhan penting Hadhramaut berada di bawah kuasa al-Quaithi. Begitu pula kawasan bagian dalam yang meliputi Syibam, Qathen, dan Hinah.
Tanggal 13 Februari 1881 M. bertepatan dengan Jumadil Tsani 1305 H, al-Quaithi menandatangani perjanjian protektorat dengan Inggris. Tahun 1317 H, al-Quaithi berhasil meduduki Desa Khureibeh Dau'an.
Tahun 1318 H, al-Quaithi mengadakan persekutuan dengan kabilah-kabilah Hajar dan selanjutnya mampu menguasai seluruh lembah.
Tahun 1325 H/1909 M, Sultan Awadh al-Quaithi meninggal dunia. Posisinya diganti oleh Ghalib, putranya yang wafat tahun 1340 H./1922 M. Dilanjutkan kemudian oleh Umar yang wafat tahun 1354 H. Lalu dilanjutkan oleh Shaleh bin Ghalib dan terus berkuasa sampai Revolusi Yaman selatan meletus.
Begitu pula dengan dinasti al-Katsiri di Seiyun, Tarim dan sekitarnya, serta kawasan Kabilah Abd Aziz di sebelah Syibam, sampai Yaman Selatan merdeka dari cengkraman kolonial Inggris. Setelah merdeka, Yaman Selatan bersatu dan kerajaan-kerajaan yang terpencar-pencar menyatu menjadi Republik Yaman Selatan Nasional.
Tapi kepedihan rakyat Yaman selatan secara umum dan Hadhramaut pada khususnya masih belum reda saat pemerintah sosialis selama lebih dari 30 tahun memerintah. Ketika konflik internal dalam waktu yang cukup lama terus menerus membuncah, terkadang dengan dalih merampas sekte oportunis kiri, terkadang pula atas nama sekte oportunis kanan, begitulah seterusnya sampai Yaman secara keseluruhan bersatu di bawah bendera Republik Yaman (al-Jumhuriyyah al-Yamaniyyah). Dan Hadhramaut menjadi salah satu provinsi di negara itu.