Beliau dikenal sebagai seorang ahli bahasa Arab, dan pendiri Pondok
Pesantren Darullughah Wadda’wah, Raci, Pasuruan. Dialah Habib Hasan bin
Ahmad Baharun
Setiap bulan Ramadhan tiba, Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah, Raci, Pasuruan selalu mengadakan program belajar kilat Bahasa Arab. Kesempatan untuk mempelajari bahasa Arab ini mengundang ratusan peminat tidak saja dari kalangan santri, namun juga diikuti oleh mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai universitas yang ada di Jawa Timur, seperti dari Surabaya, Malang, Madura dan lain-lain.
Memang Bahasa Arab di Indonesia sampai sekarang dianggap sebagai bahasa yang sulit, dan walaupun mayoritas orang Indonesia tidak bisa berbicara dengan menggunakan bahasa Arab. Dengan mengikuti program belajar kilat, setiap santri mempelajari bahasa Arab dengan metode khusus dari awal bulan sampai akhir Ramadhan. Dalam waktu yang singkat setiap santri mampu berkomunikasi bahasa arab yang benar (fusha).
Yang mengajar program ini adalah Habib Hasan bin Ahmad Baharun, pria kelahiran Kepulauan Kecil, Sumenep, Madura 11 Juni 1934. Ia dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah yang terletak di Desa Raci, Bangil, Pasuruan Jawa Timur.
Dia dikenal sebagai seorang ahli bahasa Arab. Ustadz Hasan bin Ahmad Baharun dari masa mudanya telah diilhami oleh rasa cinta untuk menyebarluaskan bahasa Arab. Niat beliau tiada lain adalah kecintaan dan menjalankan perintah baginda Nabi Muhammad saw sebagaimana sabdanya, ”Belajarlah kalian bahasa Arab dan ajarkanlah kepada umat manusia.”
Sumbangsih Habib Hasan terhadap dunia Bahasa Arab bisa kita lihat dalam karya–karya tulisnya, antara lain Kamus Al-‘Ashriyah (Kamus Modern), Kitab Muhawarah I, Kitab Muhawarah II, Al-Af’al Al-Yaumiyyah dan Al-Asma ?l-Yaumiyyah. Kitab-kitab yang dikarangnya itu merupakan kitab-kitab yang cukup populer di dunia pesantren dan perguruan tinggi Islam.
Ia selalu menasehati kepada santri-santrinya untuk selalu berbicara bahasa arab dengan niat mengikuti (ittiba’) dan meneruskan bahasa yang keluar dari mulut Nabi Muhammad SAW. Karena bahasa arab adalah bahasa Al-Qur’an yang suci dan bahasa ahli surga. Semangatnya dalam mensyiarkan bahasa Arab tertanam sejak berusia muda. Ia selalu berpindah-pindah dari pesantren ke pesantren lain, dari madrasah ke madrasah lain. Beliau selalu memperkenalkan kepada para pelajar cara belajar bahasa arab dengan mudah dan gampang di mengerti serta di pahami terutama bagi para pemula.
Dalam pengajaran nya beliau selalu memperkenalkan yang pertama kali adalah: isim, fiil dan huruf. Beliau selalu berkata,” Bahwa bahasa arab tidak keluar dari tiga unsur diatas, itu semua dilakukan agar orang-orang gemar dan tidak merasa sulit dalam belajar bahasa Arab.”
Habib Hasan bin Ahmad Baharun merupakan putra pertama dari empat bersaudara dari pasangan Habib Ahmad bin Husein bin Thohir bin Umar Baharun dengan Fathmah binti Bakhabazi. Sejak masih kecil, ia sudah ditanamkan kedisplinan dan kesederhanaan oleh kedua orang tuanya hingga mengantarkan Habib Hasan menjadi sosok yang berakhlaq tinggi dan pribadinya dipenuhi sifat-sifat terpuji.
Selain mendapat didikan langsung dari kedua orangtuanya, Habib Hasan juga menempuh pendidikan dasar di Madrasah Makarimal Akhlaq, Sumenep. Ia juga berguru pada sang kakek, yakni Ustadz Ahmad bin Muhammad Bakhabazi. Habib Hasan juga menimba ilmu dari paman-pamannya sendiri seperti, Ustadz Ustman bin Ahmad Bakhabazi dan Umar bin Ahmad Bakhabazi.
Selepas menamatkan Madrasah, Habib Hasan melanjutkan pendidikan ke PGA di Sumenep, namun cuma sampai kelas 4. Ia kemudian melanjutkan sekolah menengah (SMEA) di Surabaya. Di kota pahlawan itu, ia juga berguru pada Habib Umar Ba’agil. Selain belajar ilmu agama, Habib Hasan sejak usia remaja telah menjadi seorang aktivis gerakan keislaman. Ia aktif di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dan Pandu Fatah Al-Islam di Sumenep.
Setamat dari SMEA, ia mengikuti ayahnya berdakwah dan sembari berdagang ke Pulau Masalembu. Keluarga ustadz Hasan Baharun dikenal sebagai keluarga yang ramah dan suka membantu siapa saja. Apabila ada orang yang tidak mampu membayar hutangnya, maka disuruh membayar semampunya, bahkan tak jarang dibebaskan dari seluruh hutang-hutangnya.
Tahun 1966, ia merantau ke Pontianak dan mulai berdakwah dari satu desa ke desa yang lainnya. Uniknya, selama berdakwah ia selalu membawa seperangkat pengeras suara agar tidak merepotkan masyarakat dan kebetulan saat itu alat pengeras suara masih sangat langka. Ia juga membawa tabir (kain pemisah) untuk menghindari terjadinya ikhtilat (pencampuran) antara laki-laki dan perempuan dalam setiap pertemuan yang ia selenggarakan.
Selain berdakwah, Habib Hasan aktif di partai Nahdlatul Ulama. Ia dikenal sebagai juru kampanye (jurkam) yang berani dan tegas dalam menyampaikan kebenaran. Sehingga, ia sempat diperiksa dan ditahan oleh aparat keamanan. Pada saat itu, masyarakat akan melakukan demostrasi besar-besaran apabila tidak dikeluarkan. Atas jaminan dan bantuan salah satu pamannya, akhirnya Habib Hasan dibebaskan.
Sekitar tahun 1970, atas permintaan dan perintah dari ibunya ia pulang ke Madura. Namun, ia masih sempat berdakwah ke Pontianak dan mengajar bahasa arab di Pesantren Gondanglegi (Malang). Selain itu, ia juga mengajar di pondok pesantren Sidogiri (Pasuruan), Salafiyah Asy-Syafi’iyah (Asembagus, Situbondo), Langitan (Tuban) dan lain-lain.
Dari hubungan dengan yang harmonis dengan berbagai pondok pesantren yang ada di Jawa Timur di atas, ini yang memudahkan Habib Hasan bin Ahmad Baharun mendirikan pesantren tepatnya tahun 1982. Awalnya ada 6 orang santri yang belajar di rumah sewa di Kota Bangil, Kabupaten Pasuruan.
Dengan sarana dan prasarana yang sangat sederhana para santri tersebut dibina langsung olehnya dan Habib Ahmad As-Saqqaf. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1983 membuka atau menerima santri putri yang berjumlah 16 orang yang bertempat di daerah yang sama. Keadaan (tempat pondok pesantren) terus berpindah-pindah tempat dan sampai 11 kali kontrak rumah hingga tahun 1984.
Dengan jumlah santri yang terus berkembang serta tempat (rumah sewa) tidak dapat menampung jumlah santri, maka pada tahun 1985 Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah pindah ke sebuah desa yang masih jarang penduduknya dan belum ada sarana listrik, tepatnya di Desa Raci, Kecamatan Bangil. Jumlah santri pada waktu itu sebanyak 186 orang santri yang terdiri dari 142 orang santri putra dan 48 orang santri putri.
Setelah Ustad Hasan bin Ahmad Baharun wafat pada 8 Shafar 1420 H atau 23 Mei 1999, pondok ini kemudian disasuh oleh salah satu anaknya, yakni Habib Zain bin Hasan bin Ahmad Baharun yang merupakan murid asuhan Almarhum Buya Habib Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki.
Hingga saat ini lahan yang ada telah mencapai kurang lebih 4 Ha dan telah hampir terisi penuh oleh bangunan sarana pendidikan dan asrama santri dengan jumlah santri sekitar 1500 yang berasal dari 30 propinsi di Indonesia, negara-negara Asia Tenggara dan Saudi Arabia. Santri-santri dibina oleh tidak kurang 100 orang guru dengan lulusan/alumni dalam dan luar negeri. Ditambah dengan pembantu yang diikutkan belajar sebanyak sekitar 95 orang.