Disela rutinitas harian yang semakin padat menjelang ujian syahr tsani
dan persiapan menghadapi ujian fashl tsani aku sempatkan untuk
menuangkan apa yang selama ini telah menjadi uneg-uneg dalam hati.
Ada beberapa catatan yang kujadikan pelajaran hasil keisenganku ketika memperhatikan satu persatu curriculum vitae para Ulama Ahli Hadits yang melakukan transmisi secara bersambung dari generasi ke generasi.
Sebagian besar dari kita pasti tidak asing dengan nama-nama kaliber semacam Al-Imam Al-Bukhori, Muslim, At-Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Enam tokoh puncak dalam Ilmu Hadits yang buku-buku kumpulan Hadits adikarya mereka adalah referensi utama sumber hukum dalam Islam setelah kitab suci Al-Qur’an.
Setelah itu kita sesekali akan menemukan nama-nama asing yang tak kita hafal dengan baik atau malah yang belum pernah kita ketahui semisal Ibnu Taghri Bardi, Mughlatoy, Mundal, Ibnu Lal, Elkiya Hirosi, Ibnu Marduyah, Ibnu Hammuyah, Al-Asydaq, Abdul A’la dan seterusnya. Padahal di sana, Guru-guru Ilmu Hadits yang mentransfer Hadits-hadits melalui enam tokoh yang tersebut di atas secara total hampir ada 10.000 nama.
Dalam disiplin Ilmu Hadits, untuk menentukan apakah Hadits itu berstatus Shohih atau Dho’if kita diharuskan mengerti biografi para perawinya satu persatu, serta apakah mereka benar-benar pernah bertemu muka atau tidak.
Tentu saja saat berhadapan dengan Hadits-hadits yang asing, pendalam Ilmu Hadits terkadang menemukan kesulitan sebab kekurang lengkapan data atau curriculum vitae dari para tokoh yang hidup lebih dari 1200 tahun yang lalu. Lepas daripada semua itu sekaligus kembali pada topik yaitu catatan yang aku dapat adalah background dari beberapa biografi Ulama’ Hadits.
Tak sedikit aku temukan dari para tokoh itu yang berideologi menyimpang dari ideologi mayoritas Ahlussunnah waljama’ah. Ada tokoh Ilmu Hadist yang ternyata adalah dedengkot Mu’tazilah atau dalam terminologi masa kini adalah tokoh Liberal.
Ada juga yang berideologi Mujassimah, sekaligus Nashibah. Keyakinan tajsim sendiri beranggapan bahwa Allah berfisik. (Maha Suci Allah dari hal itu). Sementara nashibah adalah ketidaksukaan secara ekstrem kepada keluarga Nabi. Dalam term masa kini adalah mereka yang tergabung dalam gerbong yang menamakan diri Salafi. Metamorfosa Wahabi. Cikal bakal muslim radikal.
Atau tokoh beraliran Syiah kelas berat yang kerap disebut Rafidhah, kelompok Syiah hard yang mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Aisyah dan sebagian besar sahabat. Ada juga tokoh yang berpaham Murji’ah, atau aliran kebatinan. Dan lain sebagainya. Lantas apa tidak berpengaruh pada validitas sebuah Hadits? Tentu saja sebagian berpengaruh jika mereka tidak lolos kualifikasi yang dikriteriakan para Ulama’ Hadits secara konsensus yang berideologi menyimpang itu mempropagandakan ideologinya.
Adapun jika tidak mempropagandakan atau menyebarkan pemikirannya, dengan kata lain ideologi itu hanya untuk pribadinya saja, maka periwatan dan transferring Hadits dari tokoh-tokoh itu tetap diterima.
Pelajaran penting dari catatan ini adalah ketiadaan fanatisme berlebihan dari para Ahli Hadits itu terhadap ideologi masing-masing sehingga mereka masih tetap bersatu dan tidak berselisih yang tidak perlu Meski berbeda paham sekaligus bertanggungjawab atas keotentikan Hadits yang disampaikannya. Dari sini, dari kekompakan itu, dan dari amanah ini, Hadits-hadits Nabi sampai pada kita dengan selamat dan steril.
Andai mereka berpecahbelah atau tidak amanah sebab ideologi yang dianutnya, maka kita belum tentu bisa menikmati Kitab-kitab Hadits fenomenal semacam Shohih Bukhori dan seterusnya yang benar-benar objektif dengan kevalidan yang tak diragukan lagi.
Persatuan dan tanggungjawab seperti ini, meski dengan berbagai macam perbedaan ideologi yang saat ini sangat kita butuhkan. Sebab tentu saja sebuah keanehan jika sebagian diantara kita berteriak-teriak dan menyerukan untuk mengikuti Salafus sholih (diantaranya adalah 10.000 tokoh itu), mengikuti jejak mereka, tetapi disaat yang sama malah justru tidak mengikuti sikap mereka. Hanya sekedar teori dimulut saja.
Dengan kata lain mereka tidak berpecahbelah, tidak saling menghujat antar golongan. Tetapi kita masih saja disibukkan dengan menghujat dan mencela orang yang tidak sepaham dengan kita. Memang pasti kita beranggapan bahwa orang yang tidak sepaham dengan kita adalah salah, tetapi bukan lantas seenaknya kita mengolok-oloknya, mencelanya, terlebih menyesatkan, membid’ahkan, hingga mengkafirkan lantas menghalalkan darahnya. Sebab selama seseorang itu menyatakan diri bahwa tiada Tuhan selain Allah, Nabi Muhammad utusan Allah, dan dia Sholat menghadap kiblat, maka dia adalah saudara muslim seiman dan seagama dengan kita apapun jenis ideologi yang harus kita pegang dalam menyikapi lain golongan.
Pada akhirnya, jika seseorang semakin luas cakrawala keilmuannya, wawasannya, niscaya hatinya akan semakin lapang dan memaklumi setiap perbedaan yang terjadi. Dan di sinilah terlihat kebijakan dan kedewasaan seseorang.
Akhir catatan, kita masih perlu banyak belajar banyak dalam menyikapi hidup ini dan tidak merasa paling benar sendiri. Di atas langit masih ada langit. Dalam bahasa Al-Qur’an, Wafauqo kulli dzii‘ilmin ‘aliim. Wallahu a’lam.
Oleh: Luthfil hakim, mahasiswa tingkat I fakultas Syariah walqonun, Universitas Al-Ahgaff, Hadhramaut, Yaman.