Resensi:
Analisis Teoritis Fikih
Sayyidah Aisyah Ra.
Judul : Al-Qawâ'id al-Ushûliyyah al-Mustanbathah min Fiqh Sayyidah 'Âisyah
Pengarang : Doktorah Du’a Mazin
Penerbit : Dâr al-Salâm
Kota Terbit : Kairo
Tahun Terbit : 1433 H / 2012 M
Tebal Buku : 181 Halaman
I.S.B.N : 978 – 977 – 5059 – 77 – 2
Upaya penggalian warisan intelektual dari sosok Ummu al-Mu'minîn, Sayyidah Aisyah ra. tampaknya masih akan terus hidup. Setelah beberapa tahun lalu terbit Ensiklopedi ”Mawsû’ah Fiqh ‘Âisyah Ummi al-Mu’minîn Ḫayâtuhâ wa Fiqhuhâ” yang merangkum kompilasi fatwa beliau dalam banyak permasalahan hukum Islam, kini, di awal tahun 2012, penerbit Dâr al-Salâm Kairo menerbitkan sebuah buku berjudul al-Qawâ'id al-Ushûliyyah al-Mustanbathah min Fiqh Sayyidah 'Âisyah. Tentu saja, terbitnya buku tersebut menjadi angin segar dalam dunia kajian Islam, khususnya dalam literatur studi Usul Fikih. Apalagi –- sebagaimana diakui penulisnya -– upaya menelusuri konstruk epistemologi hukum versi istri Rasulullah Saw. tersebut bukanlah garapan yang sederhana.
Dengan berbekal analisa kritis dan data-data primer otoritatif, Doktorah Du’a Mazin –- muslimah progresif alumnus Universitas Islam Irak –- berhasil mempersembahkan kepada umat Islam sebuah karya genial yang berisi kumpulan kaidah Usul Fikih yang terinferensi dari kompilasi fatwa yang dicetuskan oleh Sayyidah Aisyah ra. Pada mulanya karya ini merupakan tesis master (risâlah al-mâjistîr) yang ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan kelulusan pendidikan pascasarjananya di Universitas Islam Irak, prodi Usul Fikih. Setelah melewati proses revisi dan elaborasi lebih detail, akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku di awal Januari kemarin. Karya membanggakan ini diproyeksikan guna merintis genre pembacaan baru (insight) dalam rangka konseptualisasi hasil ijtihad para pendahulu.
Sebagaimana lazimnya menyibak pemikiran tokoh, hal yang pertama ditulis oleh Du’a Mazin adalah biografi Sayyidah Aisyah. Putri keempat –- setelah Abdullah, Asma', dan Abdurrahman -- dari Khalifah pertama umat Islam, Abû Bakr al-Shiddîq ini hidup dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Ayahandanya, Abû Bakr al-Shiddîq ra. terhitung salah seorang pembesar Arab yang disegani dalam kemahiran bersyair dan sejarah peradaban Arab. Dari ayahnyalah, beliau mendapat banyak pengalaman, khususnya dalam bidang sastra. Suasana ilmiah tersebut semakin kondusif, setelah Ayah beliau tergolong diantara segelintir sahabat yang pertama masuk Islam (al-sâbiqûn al-awwalûn). Sehingga perbincangan keilmuan yang dulunya berkisar pada sastra dan peradaban Arab, kemudian beralih lebih luas ke ranah agama. Kecerdasan intelektual Aisyah semakin matang ketika Rasulullah mempersunting beliau sebagai istri, yang tentunya menjadikan beliau leluasa menggali ilmu secara langsung dari sumber permata ilmu, Muhammad saw. (halaman. 26).
Selanjutnya, Du’a Mazin memulai pembahasannya dengan mendeskrisipkan kecenderungan ijtihad para Sahabat pascawafat Rasul saw. Menurut pembacaannya, metodologi yang ditempuh para Sahabat dalam berijtihad menjawab problematika baru yang muncul sangatlah varian, namun hal tersebut bisa disimpulkan dalam dua karakter utama; pertama, kelompok yang lebih cenderung menggunakan aspek nalar yang memfokuskan aktivitas ijtihadnya dalam bentuk menggali spirit utama dari bunyi harfiah teks syariat demi menghasilkan illat al-hukmi (ratio legis) sebagai patokan beranalogi (qiyas). Diantara pengusungnya adalah Umar ibn al-Khaṯṯâb dan Ibn Mas’ûd ra. Kedua, kelompok yang lebih memperhatikan aspek riwayat dan memfokuskan aktivitas ijtihadnya pada pendalaman makna nash syariat. Pendapuk metode ini di antaranya Ibn Umar dan Zayd ibn Tsâbit. Nah, tipologi yang digunakan Sayyidah Aisyah, dalam pandangan Du’a Mazin, adalah semacam sintesa dari dua tren yang ditempuh para Sahabat kala itu. Secara brilian, Ummu al-Mu'minîn dianggap berhasil mengkompromikan keduanya serta berani mengartikulasikannya dengan pemikirannya secara mandiri, sehingga lahirlah suatu konsep teoritis berfikih yang segar, baru, serta hidup. (halaman. 39).
Konklusi ini setidaknya beranjak dari beberapa riwayat yang dianggap representatif mewakili masing-masing metode. Konsistensi beliau dalam berpegang teguh pada aspek riwayat, misalnya, bisa dilacak dalam permasalahan kewajiban tabyît al-niyyah (niat sebelum fajar) pada puasa wajib. Dalam hal ini, beliau berpijak pada salah satu hadis Rasul, ”Barang siapa yang tidak men-tabyit niat sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya” (HR. Al-Dâruquṯniy). Sedangkan sikap beliau yang mengedepankan nalar, salah satunya tampak pada keputusannya yang lebih cenderung tidak menyukai ritual tawaf dan sa’i dengan naik kendaraan (rukûb), padahal hal ini tampak bertentangan dengan realita yang dilakukan Rasulullah. Dalam hal ini beliau menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Rasulullah adalah sikap yang muncul dalam merespon sebab tertentu, yaitu bahwa Rasul melakukannya karena khawatir diwajibkannya tawaf dan sa’i dengan berjalan kaki, sehingga dalam hal ini riwayat tidak bisa diamalkan begitu saja.
Dalam menyimpulkan kaidah Usul Fikih dari kompilasi Fatwa Sayyidah Aisyah, Du’a Mazin tak bisa menghindar untuk tidak menggunakan metode induktif, yaitu metode yang bertumpu pada penelusuran hukum-hukum partikular (furû’iyyah) yang telah beliau cetuskan, kemudian menyimpulkannya menjadi kaidah tertentu yang bersifat universal (kulliy) sebagai pijakan yang dijadikan landasan berijtihad. Hal ini sangatlah wajar, karena sebagaimana diketahui, bahwa Sayyidah Aisyah tidak pernah menyatakan secara gamblang (sharîh) kaidah Usul Fikih yang beliau jadikan acuan dalam memproduksi hukum. Kendati demikian, bagi Dua Mazin, hal tersebut bukanlah berarti menegasikan keberadaan metodologi yang absah dalam aktivitas ijtihad beliau. Melainkan harus ada upaya yang sungguh-sungguh dari generasi setelahnya untuk merumuskan metodologi tersebut secara intens dan komprehensif dengan menggunakan berbagai macam pendekatan. Poin inilah yang menjadi ide utama penulisan buku setebal seratus delapan puluh satu halaman itu. Disamping hasrat penulisnya yang memang ingin membuktikan bahwa Usul Fikih, sebagai landasan berfikir dan berijtihad, bukanlah cabang ilmu yang asing dan ”diada-adakan”, melainkan fitrah dan sebuah keharusan yang telah memiliki preseden sejak generasi awal umat Islam.
Satu poin penting yang tak boleh dilewatkan dari buku ini adalah kesungguhan penulisnya dalam menjelajahi seluruh kitab hadis dan atsar yang memuat riwayat produk hukum dari Sayyidah Aisyah ra. Sikap selektifitas paripurna yang menjadi harga mati dalam penulisan karya ilmiah, benar-benar dijunjung tinggi oleh penulisnya, yang salah satunya diaplikasikan dalam bentuk penyajian riwayat yang benar-benar terbukti validitasnya (shahîh), lebih-lebih ketika menyikapi kontradiksi (ta’ârudh) yang terdapat dalam beberapa riwayat.
Menyusuri halaman demi halaman dalam buku ini bukan hanya membawa pembaca kepada pembahasan teoritis an sich – sebagaimana kebanyakan buku-buku yang ditulis dengan corak serupa –, namun juga mampu menghadirkan sebuah ’pembacaan baru’ dalam menghidangkan teori usul fikih dalam bentuknya yang lebih segar dan menjanjikan. Selain itu, aroma ”kebangkitan intelektual Muslimah” seakan berhembus kencang dari penerbitan buku yang sukses meraih nilai imtiyâz (cumlaude) ini, karena ditulis oleh seorang Muslimah yang prolifik dan concern dalam menekuni kajian-kajian ke-Islaman. Sehingga kita pun tersadar bahwa kemegahan bangunan fikih Islam sejatinya tidaklah semata-mata hasil hegemoni peran Ulama lelaki – sebagaimana tuduhan yang sering dilontarkan ke publik –, melainkan juga hasil peran aktif para intelektual Muslimah dalam menelurkan buah karyanya. Pertanyaannya sekarang, adakah Muslimah lain yang ingin merintis jejak serupa?
Oleh : Dzul Fahmi, resentator kajian usul fikih, mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Al-Ahgaff, Tarim, Hadramaut – Yaman.