http://www.english.hadhramaut.info MENDOBRAK "TUHAN" DENGAN DOKTRIN AGAMA [The Source: indo.hadhramaut.info - 14/02/2013]
Polemik agama tidak jumud hanya dengan melalui peperangan-peperangan. Baik itu perang badar, perang Uhud, perang khandaq dan sebagainya. Dan polemik ini tetap berjalan dengan diiringi waktu yang terus bergulir. Bahkan pasca wafatnya baginda Nabi Muhammad Saw, polemic ini semakin marak.
 

Pada masa diutusnya Nabi Muhammad Saw, orang non Islam mempermasalahkan kebenaran risalah yang dibawa nabi. Mereka menentang dengan sekuat tenaga, memeras intelegensi untuk merobohkannya. Nabi kita yang ummi dikatakan gila, pembohong, pendusta, dan sebagainya. Usaha mereka tidak berhenti sampai disini saja, mereka mencoba menyaingi mushaf Qur'an. Mereka membuat ayat tandingan dan hal ini tentunya tidak akan bisa. Bahkan ketika ditantang untuk membuat ayat satu saja, mereka hanya bisa 'melongo' dan gigit jari.
 
Setelah potensi untuk menandingi mushaf suci gagal, mereka mencoba membangun doktrin dan mengatakan bahwa mushaf umat islam adalah buah pena dan karya Muhammad. Doktrin ini tentunya tidak ilmiah dan tidak logis. Karena Nabi kita adalah ummi, alias tidak bisa membaca dan menulis. Ayat pertama yang diturunkan pada nabi kita (Surat al'Alaq yang berbunyi "bacalah" selanjutnya jawaban beliau : "Aku tidak bisa membaca") dapat kita jadikan argumen untuk memperkuat ke-ummi-annya. Jadi, selentingan argumen ini pun gugur dengan sendirinya.
 
Dan di era kekinian, masa globalisasi. Kuffar(orang-orang kafir, red) tidak seperti dahulu. Nenek moyang mereka telah gagal dalam menandingi qur'an. Tidak ada satu pun yang mampu menyaingi qur'an. Mereka tidak dapat membuat ayat yang hampir sama seperti qur'an. Baik dari segi keindahan bahasa, kandungan maupun prediksi masa depan. Akhirnya, mereka tidak menandingi qur'an. Mereka lalu menekankan pengkaburan validitas qur'an. Mereka menjadikan kaum muslimin ragu (skeptik) dengan ajarannya. Banyak ajaran dan pandangan yang ditujukan untuk mengkaburkan ajaran suci ini.

Metode pengkaburan ini tentunya sangat halus dan pasti. Mulai dari cara mereka menyusupkan (infiltrasi) metode penafsiran qur'an yang bebas. Mereka mendoktrin kaum muda untuk bersemangat ijtihad. Dengan kedok agama, mereka mengatakan bahwa Islam menjadi stagnan sebab terus mengekor pada masa lalu. Mu'tazilah dijadikan ibroh dalam berijtihad. Yang lebih parah lagi, metode penafsiran qur'an disamakan dengan bible, yakni penafsiran heremeneutika.
 
Usaha ini ternyata bisa dikatakan jitu dengan bukti sebagian kaum muslim segera berduyun-duyun mengikutinya. Seperti Nasr Hamid Abu Zayd, yang mengaku seorang sekular membongkar konsep al-Quran. Arkoen dan Fazlur Rahman, sudah melakukan itu. Rahman menyatakan, dalam bukunya, “Islam”, bahwa “the Quran is entirely the Word of God and, in an ordinary sense, also entirely the word of Muhammad.” Arkoun, dalam bukunya “Rethinking Islam Today”, menyayangkan sarjana Muslim yang tidak mau mengikuti jejak kaum Kristen dalam melakukan kritik folosofis terhadap teks suci al-Quran.
 
Pada 1927, pendeta Kristen Prof. Alphonse Mingana, menyatakan, “Sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).”
Kemudian, apakah kita akan meniru mereka? Dan 'sujud' terhadap kaca mata orang-orang kafir seperti pendeta Alphonse?
 
Tidak puas hanya dengan pengaburan penafsiran qur'an saja, mereka menyisipkan ajaran plurarisme dan inklusivisme. Pluralisme yang berarti pemahaman yang memandang semua agama sama meskipun dengan jalan yang berbeda namun menuju satu tujuan: Yang Absolut, Yang terakhir, Yang Riil. Sebagaimana yang diungkapkan Nurcholis Majid.
 
Inklusivisme adalah pemahaman yang mengakui bahwa dalam agama-agama lain terdapat juga suatu tingkat kebenaran (demikian keterangan JIL dalam Fiqih Lintas Agama, hal. 65, Paramadina, Juni 2004).kemudian, jika semua agama sama meskipun dengan jalan yang berbeda. Maka orang Kristen, budha, konghucu sama dengan islam. Nikah dengan antar agama juga boleh. Toh mereka juga sama dengan kita. Mereka membuat lapangan deskripsi, seandainya si A ingin pergi ke Surabaya. Dia bisa lewat Jombang ataupun lewat Pare dan sebagainya. Dan tujuan si A tadi sama yakni Surabaya meskipun jalan dan arahnya beda. Kalau memang semua agama disamakan, bukankah tiap agama mempunyai Tuhan masing-masing. Kristen mempunyai tuhan bapa dan trilogy, konghucu menganggap api yang mampu melindunginya, Budha mempunyai Sidharta gautama, Islam mempunyai ALLAH dan Nabi Muhammad sebagai utusanNya. Jika disamakan dan digebyah uyah atau digeneralisasikan, maukah orang Islam tunduk pada tuhan bapa, atau pada api dan sebaliknya. Apakah mau Kristen tunduk dan menyembah Allah, dan ironinya mengapa orang Kristen tidak mau masuk islam saja toh katanya semua agama sama (sebagaimana yang diungkapkan Habib Abdullah baharun, rector Al Ahgaf).

Kalaupun pluralisme ini tidak dipaksakan pada ajaran akan tetapi pada sikap yang saling toleransi, ini juga akan banyak menerima rintangan. Diantaranya, masalah pernikahan antar agama, pembagian warisan antar agama( misalnya ayah non muslim dan anaknya muslim) dan masih banyak lagi. Kalau mereka mengandalkan rasio maka tidak mungkin agama yang berbeda ini disamakan dengan alasan mempunyai satu tujuan, yang absolut yang terakhir. Coba kita tinjau kembali dengan rasio pula. Seandainya kita melihat hewan dengan ekor pendek, mempunyai bulu tidak setebal domba warnanya coklat, tingginya sekitar delapan puluh sampai seratus dua puluh meter, dan suaranya "mbek…mbek…mbek…" apakah kita akan mengatakan itu adalah ayam. Dengan alasan toh tujuannya sama, yakni sama-sama hewan. Dengan kriteria hewan yang sudah tertera, apakah rasio kita menerima jika dikatakan itu adalah ayam atau unta? Tentu tidak, karena setiap hewan baik unta, ayam, kambing mempunyai spesifikasi yang berbeda. Begitu juga agama, tiap agama mempunyai spesifikasi yang berbeda. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk disamakan.
 
Kemudian kaca mata yang mengatakan akan adanya tingkat kebenaran dalam agama lain, yakni selain Islam. Coba kita analogikan! Secara sadar, apakah anda mau dikatakan sebagai orang yang lemah, orang cacat, atau orang tidak benar? Tentunya tidak mau. Begitu pula masalah ajaran. Orang Kristen dan yang lain tidak mau dianggap ajarannya salah dan keliru. Tak ketinggalan orang muslim. Mereka juga tidak mau dianggap ajarannya keliru dan salah. Itu yang terdapat dalam hati nurani tiap manusia. Lha sekarang yang menjadi ganjil adalah orang muslim yang mengatakan akan adanya tingkat kebenaran dalam agama lain. Mestinya dia mengandalkan dan membanggakan agamanya sendiri malah mengatakan seperti tadi.

Dan yang harus menjadi catatan lagi, bukankah dalam alqur'an telah disebutkan bahwa ajaran yang paling benar disisi ALLAH adalah islam. Jika mereka berani mengatakan seperti itu apakah mereka masih yakin akan qur'an yang menjadi tempat peraduannya dalam segala kebijakan. Apakah mereka masih akan menjadikan mushaf suci yang diturunkan pada umat muslim menjadi tolak ukur dalam setiap pemikiran?

Dan yang urgen dalam wacana ini adalah betapa gigihnya mereka orang kuffar untuk menghancurkan islam. Lalu apa tugas dan sikap kita ?Wallahu a'lam

Oleh : Upi Noval