Judul : Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat
Penulis : Al-Hamid Jakfar Al-Qadri
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, Desember 2012
Tebal : XVII+117 Halaman
ISBN : 978-979-433-753-0
Kesadaran akan adanya pluralitas serta perbedaan dalam kehidupan beragama agaknya semakin memprihatinkan. Keragaman yang semestinya menjadi warna di negeri ini, jika tidak disikapi secara dewasa, justru bisa berbalik menjadi petaka. Keadaan tersebut bisa semakin mengkhawatirkan, ketika masing-masing kelompok mendaku kebenaran sepihak dan menyerang kelompok yang tak sepaham dengan bungkus “pengkafiran”. Nilai toleransi pun terus terkikis, diganti oleh radikalisme dan fanatisme buta.
Dalam konteks inilah, pemikiran Habib Umar bin Hafidz, ulama berpengaruh dunia asal Tarim, Hadhramaut, Yaman, menemukan relevansinya. Habib Umar adalah tokoh Islam dunia yang terus berusaha membina ukhuwah umat. Bukan hanya antar sekte dalam Islam. Melainkan juga persatuan dan perdamaian antar pemeluk umat beragama di dunia.
Namanya tercantum dalam 50 urutan teratas dari The Muslim 500 ; The World’s 500 Most Influential Muslims, yang diterbitkan oleh Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, Amerika Serikat. Pada tahun 2007, beliau termasuk sebagai salah satu penanda tangan dokumen internasional yang berpengaruh, Common World (Kalimatun Sawa’); surat terbuka yang ditulis oleh para ulama terkemuka dari banyak negara kepada pemimpin Kristen dalam bentuk ajakan dialog yang produktif berdasarkan kesamaan-kesamaan di antara kedua agama.
Ditulis oleh intelektual muda Indonesia, Al-Hamid Jakfar al-Qadri, buku ini mengurai intisari dari pemikiran Al-Habib Umar—guru dari Al-Qadri sekaligus pengasuh Sekolah Darul Musthafa—dalam menyikapi perbedaan dan upayanya membangun perdamaian dan persatuan umat yang tertuang dalam makalah maupun pidato-pidato Al-Habib Umar bin Hafizh.
Dalam muktamar ad-Du’at wal-Irsyad atau konferensi para dari yang diadakan di Sana’a Yaman, dalam ceramahnya beliau menegaskan sebuah pernyataan yang sangat luar biasa, “Jika semua ulama yang berdakwah hanya mengajak kepada kelompoknya, mengajak pada madzhabnya, mengajak pada thariqah-nya, lalu siapa yang akan mengajak kepada Allah Swt ?” (hlm.45)
Bagian awal buku menjelaskan secara lugas diferensiasi mendasar antara teks-teks agama yang bersifat qoth’i (tegas), dan dzanni (asumtif). Jika yang pertama bersifat mengikat dan tak dapat diperselisihkan, maka yang kedua justru merupakan ranah berijtihad dan berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Dalam konteks ini, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa masalah-masalah fundamental (ushul) sejatinya sudah terangkum dalam tiga hal ; Iman kepada Allah, iman kepada Rasulullah, dan hari Kiamat. Selebihnya, adalah perlasalahan cabang (furu’). Jika perbedaan merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari, maka sikap toleran dan menghormati pendapat yang berbeda adalah sebuah keharusan. Sehingga sikap saling mengkafirkan dan menyesatkan, sama sekali tidak bisa dibenarkan.(hlm. 23).
Buku yang berjudul lengkap Bijak Menyikapi Perbendaan Pendapat : Telaah atas Pemikiran al-Habib Umar bin Hafidz dalam Membina Ukhuwah dan Membangun Dialog ini juga memuat konsep persatuan antara berbagai kelompok keyakinan yang disuarakan sejumlah para Ahlul Bait di Hadhramaut, antara lain : Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir, Imam Al-Faqih Muqoddam, Habib Abu Bakar bin Abdurrahman bin Syihab, Al-Habib Abu Bakar Al-Adni, dan lain-lain. Nama yang terakhir disebut (Abu Bakar al-Adni), adalah pemikir muslim kontemporer yang memiliki gagasan cemerlang terkait persatuan, yang dituangkan ke dalam karya-karyanya yang mencapai lebih dari 200 buku.
Dalam karyanya berjudul al-Muwajahah al-Safirah beliau berpendapat ,bahwa penyelesaian masalah pertikaian yang terjadi akhir-akhir ini, baik yang berkaitan dengan akidah, sosial politik, ataupun apa saja, tidak bisa diupayakan hanya dengan mencari yang mana yang benar dan yang mana yang batil. Bagi Al-Adni, jalan keluar yang paling jitu adalah mengangkat masalah-masalah persamaan yang sudah disepakati bersama (qawasim musytarakah). Yang dimaksud qawasim musytarakah disini adalah titik poin yang disepakati sesama muslim, apa pun pandangan dan madzhabnya. (hlm. 62).
Kehadiran buku setebal 117 halaman ini sangat penting bagi masyarakat Indonesia, khususnya dalam rangka membina kebersamaan dan persatuan dalam masyarakat yang majemuk. Apalagi, penulisnya adalah seorang intelektual muda yang bertahun-tahun mengenyam pendidikan di sebuah lembaga pendidikan Islam bertaraf internasional, Darul Musthofa – yang sebagaimana dilansir New York Times (2009), merupakan tempat multikultural yang penuh dengan pelajar dari Indonesia hingga California. Selain itu, buku ini juga mengajarkan kita untuk bijak dalam menyikapi perbedaan. Sehingga dengan demikian, mimpi persatuan dan perdamaian tak hanya sekedar retorika tanpa makna. Namun juga tertancap di bumi realita. […]
Peresensi: Dzul Fahmi Peresensi adalah mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, di Universitas Al-Ahgaff, Tarim-Hadhramaut, Yaman.