Penggalan Syair Sayyid Muhammad Mauladdawilah
Di antara penggalan syair Sayyid Muhammad bin Ali Mauladdawilah adalah sebagai berikut:
1. Syair Fakhriah (Kebanggaan)
الحب حبي والحبيب حبيبي والسبق سبقي قبل كل مجيب
نوديت فأجبت المنادي مسرعا وغطست في بحر الهوى وغذي بي
لي تسعة وثلاثة مع تسعة والعقد لي وحدي علا بنصيبي
ما تعلموا أني المقدم في الملا ليلت سري باليثربي سري بي
Banyak yang menganggap, bait terakhir pada penggalan syair tersebut sukar dipahami dan dimengerti. Namun bila kita kembalikan ke kamus tasawwuf dan maksud dari syair tersebut, jelas bahwa suatu hal yang maklum, keturunan seseorang ada di punggung orang tersebut. Telah diketahui dari nas hadits bahwa keturunan Nabi Muhammad SAW dari tulang rusuk beliau, walau dalam dzahirnya dari Ali bin Abi Thalib. Maka, dalam bait tersebut, Imam Muhammad bin Ali mengatakan bahwa dia bersama kakeknya Rasulullah SAW (karena ia berada di punggungnya) pada waktu Isra' Mi'raj. Makna seperti itu banyak sekali diungkapkan oleh penyair sufi. Kita harus memahaminya sesuai dengan keadaan supaya bisa dimengerti oleh semua orang.
2. Syair Adz Dzauqiah (Perasaan)
ولما حضرنا للسرور بمجلس أضاءت لنا من عالم الغيب أنوار
وطافت علينا للعوارف خمرة يطوف بها في حضرة القدس خمار
فلما شربناها بأفواه كشفنا أضاءت لنا منها شموس وأقمار
تخاطب أرباب القلوب بلطفها وتبدو لنا وقت المسرة أسرار
رفعنا حجاب الأنس بالأنس عنوة وجاءت إلينا بالبشائر أخبار
وغبنا بها عنا ونلنا مرادنا ولم يبق منا بعد ذلك آثار
وخاطبنا في سكرنا عند صحونا كريم قديم فائض الجود جبار
وكاشفنا حتى رأيناه جهرة بأبصار فهم لا تواريه أستار
Bait-bait syair di atas menurut penulis –wallahu a'lam- menunjukkan bahwa sang penyair adalah yang mempunyai dzauq, ilmu, amal dan ‘hal’ tinggi.
Tentang ‘hal’, sufi mempunyai dua macam majaz; majaz faqri dan majaz fakhri. Kedua macam majaz itulah yang dikenal dengan sebutan ‘hal’. Menurut hemat penulis, Imam Muhammad Mauladdawilah condong terhadap majaz fakhri, sebagaimana bisa dicermati dari bait-bait syair di atas. Dan majaz fakhri itu pula yang nampak jelas dari para syekh pada masa itu. Penggalan qasidah di atas, kalau diteliti maknanya secara cermat dari mulai awal hingga akhir, menunjukan makna yang bagus, yakni "Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Kalaupun kamu tidak melihat-Nya, maka Dia melihat kamu."
Karamah Imam Muhammad bin Ali Mauladdawilah
Sebetulnya pembahasan tentang karamah telah penulis sebutkan di dalam jilid sebelumnya. Namun menurut hemat penulis alangkah baiknya kalau pembahasan tersebut diulang dalam setiap riwayat hidup para ulama. Sebab dengan menyebutkan karamah setiap ulama dalam sejarah hidupnya, akan menunjukkan kelebihan si empunya sejarah tersebut. Pada zaman dulu, hal tersebut merupakan suatu keharusan dalam menulis sejarah kehidupan seorang ulama, sesuai dengan budaya dan kemampuan orang pada masa itu.
Adapun di zaman sekarang ini, orang yang menyukai dan mempunyai karamah dalam suatu lingkungan bisa dihitung dengan jari. Adapun generasi yang hanya mempercayai ilmu teori dan belajar guna mengejar ijazah dan gelar, masalah karamah bukanlah suatu msalah yang menarik perhatian mereka. Kalaupun ada di antara mereka yang berbicara dan mempelajari tentang karamah, maka mereka melihat dan mempelajarinya sebagai suatu keanehan yang terjadi pada seorang sufi. Bahkan ada dari mereka yang menganggap hal tersebut adalah suatu penyakit yang menyerang umat Islam pada masa kemunduran.
Faktor utama yang mempengaruhi pola pikir tersebut adalah pengaruh orientalis barat dalam dunia pendidikan Islam secara keseluruhan, baik secara langsung atau tidak langsung. Hal tersebut sebagaimana kita ketahui, tuduhan terhadap segi kerohanian dalam tasawuf dan sufi merupakan hasil penelitian dan pembelajaran para orientalis. Penelitian tersebut berlangsung sejak masa revolusi industri, dengan memunculkan isu-isu keraguan dalam agama secara keseluruhan, terhadap jati diri Rasul SAW dan Al-Qur'an.
Sepeninggal para orientalis, dengan berakhirnya penjajahan fisik, pola pikir tersebut banyak diteruskan oleh lembaga-lembaga pendidikan dan kebudayaan yang telah terinfeksi pemikiran orientalis. Juga setelah terpecah belahnya negara Islam dan terbagi-baginya warisan Daulah Islamiyah di Turki (baca: Otoman). Lembaga-lembaga tersebut mempelajari tentang tawasuf dengan memakai metode yang mereka warisi dari orientalis. Penulis tidak mengatakan, semua orang yang berbicara tasawuf seperti itu. Namun kebanyakan mereka ketika berbicara tentang sufi dan tasawuf seakan-akan melepaskan suatu unek-unek yang terpendam dengan tanpa meneliti dengan seksama terlebih dahulu tentang hakikat tasawuf itu sendiri.
Setelah pendahuluan yang bermaksud untuk menjelaskan faktor-faktor yang mendorong seorang penulis sejarah untuk menyebutkan karamah dalam pembahasan riwayat hidup para ulama terdahulu, dalam bab ini kami ingin menegaskan, kebanyakan para ulama sufi yang dikarunia karamah tidak mau membicarakan, terlebih menyebarluaskan karamahnya. Bahkan mereka enggan, walaupun sekedar disebut bahwa dia mempunyai karamah terntentu. Bahkan sebagian ulama menganggap hal tersebut merupakan suatu aib. Dan di lingkungan Hadhramaut khususnya, para ulama di sana melarang para pengikutnya menyebut dan menyebarluaskan karamah.
Oleh sebab itu, penulis berpendapat, dalam berdialog dengan generasi sekarang ini kita harus menggunakan cara yang halus. Begitupula bagi para penulis sejarah tentang seorang wali, hendaknya dia menggunakan metode yang memunculkan keutamaan para wali baik dari segi keilmuan ataupun amal agar menimbulkan rasa hormat dan menjadikan mereka suri tauladan, dengan menyebutkan jasa mereka dalam mendidik masyarakat dan peran social. Masalah karamah biarlah menjadi ciri has penulisan sejarah masa lampau. Kalaupun seorang penulis harus menyebutkan suatu karamah dalam bukunya maka hendaklah dengan metode rasional agar lebih bisa dipahami dan diterima masyarakat luas.
Adapun tentang karamah Sayyid Muhammad Mauladdawilah, penulis Al-Masyra' pada halaman 201 menyebutkan, "Dikisahkan, pada suatu waktu, Sultan Yaman mengirimkan bala tentara ke Sultan Hadhramaut, Ahmad bin Yamani, untuk menduduki pelabuhan Shihir. Kebetulan waktu itu, Sayyid Muhammad Mauladdawilah sedang bersama Sultan. Maka Sultan Hadhramaut meminta kepada pimpinan tentara untuk memberikan tenggang waktu sampai selesai menunaikan Shalat Jum’at. Namun permintaan itu ditolak dan Sultan diminta untuk keluar dari Shihir pada waktu itu juga. Sayyid Muhammad Mauladdawilah lalu berkata pada Sultan, "Pergilah kamu, temui mereka. Sesungguhnya Allah akan menolong kamu." Maka pergilah Sultan Hadhramaut beserta tentaranya untuk memerangi tentara Sultan Yaman. Ketika kedua pihak saling berhadapan dan bersiap siaga untuk berperang, Sultan Hadhramaut mengambil segenggam tanah dan meniupnya, kemudian melemparkannya ke arah tentara Sultan Yaman. Seketika itu juga mereka lari berhamburan.
Dikisahkan pula, suatu ketika Sayyid Muhammad Mauladdawilah memegang teras rumahnya dan menyuruh orang-orang yang berada di dalam rumah untuk segera keluar dari dalam rumah. Begitu mereka keluar dari dalam rumah dan menjauh, seketika itu rumahnya roboh.
Itulah dua macam karamah Sayyid Muhammad Mauladdawilah yang disebutkan dalam kitab-kitab sejarah. Bukan maksud penulis mempromosikan karamah. Karena kalau tujuannya demikian, maka akan penulis sebutkan semuanya secara terperinci. Namun sebagaimana kami isyaratkan sebelumnya, tujuan kami adalah untuk menjawab kebutuhan zaman sekarang dalam mengetahui riwayat hidup para ulama. Karena itu ketika penulis menyebutkan biografi seorang ulama, maka penulis lengkapi dengan menyebutkan amal ibadah dan mujahadahnya. Adapun selain itu, seperti karamah dan semacamnya, itu merupakan buah dari amal ibadah yang mereka lakukan. Hal tersebut adakalanya didapatkan oleh seseorang dan adakalanya tidak. Hal ini bukan suatu syarat untuk menjadi wali. Syarat yang harus terpenuhi dalam diri seorang wali adalah istiqamah. Kalau seorang hamba istiqamah, sebagaimana diperintahkan Allah, niscaya Allah menyediakan jalan karamah baginya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah (فاستقم كما أمرت) yang artinya: "Maka tetapkanlah pendirianmu sebagaimana engkau disuruh." (QS Hud ayat 112)
إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا تتنزل عليهم الملائكة ألا تخافوا و لا تحزنوا وأبشروا بالجنة التي كنتم توعدون
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang berkata, "Tuhan kami adalah Allah" Kemudian mereka beristiqomah (berketetapan hati), maka malaikat-malaikat turun kepada mereka (lalu berkata), "janganlah kamu takut dan janganlah kamu berdukacita, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan (Allah) kepadamu.” (QS Fushshilat ayat 30).
Patut disebutkan juga, di antara bukti kebenaran ahwal para ulama terdahulu seperti Syekh Muhammad bin Ali Mauladdawilah, adalah kesaksian para ulama sezamannya. Sebagaimana tertera dalam qasidah Syekh Abdurrahman Al-Khatib yang mengungkapkan keutamaan dan kedudukan Imam Muhammad bin Ali.
يحق لكم ياابن الكرام التفاخر كما أول الفضل لكم والأواخر
فكم شاع في الآفاق فيض فضلكم وأسراركم ما للورى الكل غامر
بكم تدفع الأسواء عن الخلق والبلا وفي جاهكم تنشا السحاب المواطر
Hal yang sama diungkapkan penulis Al-Ghurar pada halaman 395, "Sayyid Muhammad Mauladdawilah adalah salah satu Masyayikh Arif Billah yang agung dan juga salah satu wali besar dan mempunyai pengetahuan yang dalam tentang ilmu agama.”
Penulis Al-Masyra' berkata, "Dia adalah imam yang namanya menjadikan hati terbuka, Al-Arif Billah, yang diberikan kelebihan oleh Allah dalam kemuliaan dan kebaikan.
Wafatnya Sayyid Muhammad Mauladdawilah
Dalam kitab Al-Masyra' halaman 201 disebutkan, Sayyid Muhammad Mauladdawilah pergi menghadap Sang Khaliq, pada hari Senin, 10 Sya'ban 665 H. Ia dimakamkan di pemakam Zambal, Tarim. Ia wafat meninggalkan empat orang putra yaitu Syekh Alawi, Syekh Ali, Syekh Abdullah, Syekh Abdurrahman dan seorang putri bernama Alawiyah.