http://www.english.hadhramaut.info Al Imam Ubaidillah (Bagian III Selesai) [The Source: hadhramaut.info/indo - 10/7/2008] Akhir dari sebuah perjalanan hidup yang terus dikenang sepanjang masa


Kembali ke Hadhramaut

Setelah sekian lama menimba ilmu dari ulama di Haramain, mendapatkan ijazah dari para ulama di sana, dan sanad  tinggi, serta para ulama di sana telah memberi izin padanya untuk berfatwa, kembalilah Imam Salim ke tanah kelahirannya. Sesampainya di Hadhramaut, Imam Salim disambut gembira oleh keluarga dan para ulama di Hadhramut. Kedatangannya dari Haramain tidak disia-siakan para pelajar dan ulama, terutama para ulama Kota Tarim yang merupakan sumber ulama dan pelajar. Di antara ulama Tarim yang mengambil sanad dari Imam Salim adalah Syeikh Muhammad bin Abil Hubb, Syeikh Ali bin Ahmad Bamarwan, Syeikh Al-Qadli Ahmad Ba Isa, Syeikh Ali bin Muhammad Al-Khatib, dan Imam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali.

Kisah Imam Salim bin Imam Bashri dengan Sultan

Kota Tarim semenjak dulu dikenal dengan kota ulama dan kota wali. Bahkan menurut sejarah, pada 6 Hijriah, jumlah ulama Tarim yang mencapai derajat Mufti berjumlah 300 orang. Tapi dari kesekian banyak ulama di kota tersebut, semuanya sepakat bahwa Imam Salim lah yang paling unggul dari semua ulama di kota itu.

Alkisah, pada suatu kesempatan, Sultan Tarim mengumpulkan semua ulama dan meminta mereka untuk menunjuk siapa dari mereka yang paling utama. Para ulama sepakat menunjuk Imam Salim bin Bashri sebagai orang yang paling mumpuni di antara semua ulama. Mendengar pengakuan para ulama tentang keutamaan Imam Salim bin Bashri, timbul niat raja untuk mengujinya. Untuk menguji Imam Salim bin Bashri, Sultan memanggil seorang perempuan yang terkenal mempunyai putri yang elok. Ia lalu memerintahkan perempuan tersebut untuk mendandani putrinya guna menggoda Imam Salim. Untuk pekerjaan itu, sultan memberi imbalan banyak pada perempuan tersebut.

Hingga pada suatu hari, ketika Imam Salim dalam perjalanan pulang dari ziarah kubur yang biasa dilakukannya tiap hari, wanita tadi memohon kepada Imam Salim untuk sudi mengobati putrinya yang sedang (pura-pura) sakit. Imam Salim pun memenuhi permintaan wanita tersebut dan mengikutinya, hingga ia tiba di rumahnya. Setelah Imam Salim masuk kedalam rumah, yang didapati Imam Salim bukan orang sakit. Tapi seorang gadis yang cantik dengan dandanan yang begitu memukau.

Seketika itu pula ibu sang gadis mengunci rumahnya dari luar dan sang gadis mendekati Imam Salim seraya menggodanya. Merasa dirinya dijebak, Imam Salim pun marah dan memukul gadis tersebut dengan sandalnya. Seketika gadis itupun menjerit histeris karena dari bekas pukulan sandal Imam Salim tadi timbul kusta. Setelah menyaksikan kejadian yang menimpa putrinya, wanita itu langsung melaporkan apa yang dilihatnya kepada sultan. Mendengar cerita tersebut, Sultan langsung mendatangi rumah wanita itu untuk melihat secara langsung apa yang terjadi.

Setelah melihat dengan mata kepalanya, sultan akhirnya mengakui keagungan Imam Salim dan mengutus utusan untuk meminta maaf. Juga memohon pada Imam Salim agar memaafkan kelakuan gadis tersebut dan ibunya yang telah lancang dan berbuat tidak senonoh padanya. Utusan itu sekaligus memohon agar Imam Salim sudi mendoakan gadis tersebut agar disembuhkan dari penyakit kustanya. Imam Salim pun menerima permohonan maaf sultan dan memaafkan gadis serta ibunya serta mendoakan gadis tersebut agar disembuhkan. Setelah didoakan, seketika penyakit kusta yang diderita gadis itu hilang tanpa bekas.

Imam Salim bin Imam Bashri Meninggal Dunia

Setelah sekian lama mengabdi pada masyarakat dan agama dalam meneruskan dakwah yang dirintis kakeknya, Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir, Imam Salim akhirnya dipanggil menghadap sang Khalik. Tentang wafatnya Imam Salim, para ahli sejarah berbeda pendapat, ada yang mengatakan Imam Salim meninggal dunia dibunuh seseorang. Tetapi Habib Muhammad bin Ahmad As-Syatiri dalam kitabnya Al-Adwar menegaskan, Imam Salim bin Bashri meninggal dunia secara biasa pada tahun 604 H dan dimakamkan di pemakaman Zambal Tarim.
 
Imam Jadid bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir

Imam Jadid adalah putra bungsu Imam Ubaidillah dari istri keduanya setelah pindah ke kampung Sumal, sepeninggal Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir tahun 345 Hijriah. Semenjak kecil, Imam Jadid hidup dalam bimbingan ayah dan kedua kakaknya yang begitu memperhatikannya. Karena itu dalam usia yang masih belia, ia sudah hafal Al-Qur’an dan sudah mempelajari dasar-dasar ilmu syariah dan bahasa Arab. Bahkan di antara teman-teman sebayanya, Imam Jadid dikenal yang paling pandai dan cerdas. Di samping kepandaian dan kecerdasan, Imam Jadid bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu dari para ulama, seiring dengan kata-kata syair, “Jangan kamu kira bahwa kemuliaan itu adalah buah kurma yang kamu makan. Kamu tidak akan mencapai kemuliaan sebelum melalui kepedihan.”

Pergi ke Tanah Suci dan Bashrah

Kisah kepergian Imam Jadid ke Tanah Suci Makkah dan kemudian ke Bashrah dipaparkan dalam kitab Al-Jauhar Asy-Syafaaf. Ketika Imam Ubaidillah, ayahanda Imam Jadid, menganggap para putranya cukup dewasa dan mumpuni dalam ilmu syariah, ia memberi izin pada kedua putranya, Imam Alawi dan Imam Jadid, untuk pergi ke Tanah Suci Makkah guna menunaikan ibadah haji, mengambil hasil panen dan ziarah kepada sanak kerabat yang berdomisili di Makkah. Setelah ibadah haji, Imam Jadid melanjutkan perjalanannya ke Bashrah sesuai perintah ayahandanya untuk menyambung silaturahim dengan para kerabat di Bashrah.
Dalam perjalanan pulang yang melewati Pantai Teluk, kemudian Ahsa, Quthaif, Oman dan kemudian Dzafar, Imam Jadid tidak menyia-nyiakan waktunya untuk menimba ilmu dari setiap ulama yang ia temui di setiap daerah. Tentang kealiman dan keluasan ilmu pengetahuannya, seorang ahli sejarah Abdullah bin Nuh dalam bab akhir kitab al-Imam Al-Muhajir mengatakan, “Setelah kewafatan ayahandanya, Imam Ubaidillah, tahun 383 H, Imam Jadid memilih pindah ke kampung Bait Jubair yang terletak tidak jauh dari kota sejarah Tarim. Di kampung barunya, ia bukan saja dikenal sebagai seorang alim, tapi juga giat dalam bertani dan membimbing masyarakat setempat dalam meningkatkan hasil produksi mereka, baik dalam pertanian atau peternakan. Sehingga hal itu bisa memenuhi kebutuhan mereka tanpa bergantung kepada pasokan dari luar. Hasil dari jerih payah Imam Jadid membuahkan hasil yang begitu memuaskan. Berkat kegigihannya dalam membina masyarakat, baik dalam keagamaan ataupun dalam hal duniawi, terciptalah suatu kampung yang subur dan mandiri.
“Setelah menetap di kampung Bait Jubair, Imam Jadid dikaruniai Allah SWT keturunan yang kemudian terkenal dengan ilmu dan ketakwaanya. Namun menurut para pakar sejarah, keturunan Imam Jadid pupus pada abad ke-7, sebagaimana terjadi dengan keturunan Imam Bashri.”

Keturunan Imam Jadid

Walaupun dikatakan keturunan Imam Jadid punah pada pertengahan abad ke-7 H, namun sebagian ahli sejarah menyebutkan beberapa orang keturunan Imam Jadid, di antaranya:
1.    Nurudin Ali bin Muhammad bin Jadid.
2.    Abdullah bin Muhammad bin Jadid.
3.    Abdul Malik bin Muhammad bin Jadid.

Riwayat Hidup Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir

Imam Alawi bin Ubaidillah adalah datuk ahlul bait di Hadhramaut. Karena sebagaimana disebutkan sebelumnya, kedua saudaranya, Imam Bashri dan Imam Jadid, keturunannya pupus pada awal abad ke-7 H.

Imam Alawi lahir di Desa Al-Husaysihah. Sebagian ahli sejarah mengatakan, ia dilahirkan di Kota Sumal. Ia merupakan orang pertama kali yang dinamai Alawi. Kepadanya pula kembali silsilah keturunan bani Alawi di seluruh dunia.

Imam Alawi besar dalam lingkungan keluarga ilmu dan takwa. Ia tumbuh dalam asuhan ayahandanya, Imam Ubaidillah, serta bimbingan kakaknya, Imam Bashri. Suatu hal lumrah bila dalam usia masih belia, ia sudah mumpuni dalam segala bidang ilmu syariah.

Menuntut Ilmu di Haramain

Ketika usianya menginjak dewasa, Imam Alawi atas izin dari ayahandanya pergi merantau ke Haramain untuk menimba ilmu dari para ulama di sana.
Setelah beberapa tahun menimba ilmu pengetahuan dari para ulama terkemuka di Tanah Suci Makkah dan Madinah, Imam Alawi pulang ke Hadhramaut membawa segudang ilmu pengetahuan.

Kehadiran Imam Alawi di tanah kelahiranya setelah sekian lama menimba ilmu di Tanah Suci Makkah dan Madinah menambah semarak dunia pendidikan dan dakwah di Hadhramaut. Hingga berbondong-bondonglah para pelajar dari berbagai daerah, berdatangan menimba ilmu dari Imam Alawi yang pandai dan mumpuni.

Selain masyhur dengan keilmuannya, Imam Alawi –sebagaimana keturunan Imam Al-Muhajir lainnya- terkenal dengan segala sifat terpuji, disamping kemurahan hati dan kedermawanannya terhadap kaum miskin dan lemah. Bahkan ia gemar sekali membagikan sedekah langsung pada orang yang membutuhkannya dan menghibur mereka.

Diceritakan sebagian pakar sejarah, pada suatu saat beliau menunaikan Ibadah Haji dan mengajak serta sebanyak 80 orang selain dari keluarganya. Semua biaya dan perbekalan ditanggung dia.
Ditengah-tengah kesibukannya menyiarkan dakwah, ia tidak melupakan urusan duniawi. Imam Alawi membagi waktunya untuk mengajar dan berdakwah, mendidik para putranya dan mencari rejeki halal.

Pindah ke Bait Jubair

Imam Alawi beserta keluarganya pindah dari kampung kelahirannya, Sumal, ke kampung Bait Jubair. Setelah sebelumnya Imam Jadid, kakaknya, terlebih dulu pindah ke sana. Di kampung barunya, ia aktif mengajar dan menyebarkan dakwah. Dalam mengajar murid-muridnya, ia mengharuskan mereka menghapal hadits, serta memperdalami ilmu fiqih dan tafsir. Terkadang ia mengajak murid-muridnya ke lokasi perkebunannya karena ia senang berada di tempat-tempat hijau dan sejuk.

Imam Alawi Meninggal Dunia

Tidak ada satupun pakar sejarah yang menyebutkan secara pasti kapan meninggalnya Imam Alawi. Adapun keturunannya, sebagaimana disebutkan dalam beberapa kitab sejarah adalah, putranya, Muhammad bin Alawi, dan cucunya, Alawi bin Muhammad bin Alawi.