Oleh; Hamid ja’far al-Qadri*
Semangat dalam berdakwah dan beramar makruf nahi mungkar merupakan nilai akhlak yang agung disisi Allah SWT, karena dengan semua itu eksistensi agama ini bisa tegak, hanya untuk itulah Allah SWT mengutus para utusan dan nabinya. Seandaianya tidak ada semangat dakwah yang dilakukan oleh para dai dan ulama disepanjang masa niscaya agama ini hanya akan menjadi sebuah cerita dalam catatan histories anak cucu Adam.
Pemuda yang hatinya cendrung untuk mengajak kebajikan dan mencegah kemungkaran adalah sosok pemuda mulia disisi tuhannya, dan dia termasuk golongan orang-orang yang beruntung sebagaimana telah dijelasakan dalam al-Quran disurat al imran ayat 104.
Hanya saja kadang seorang muslim yang begitu bersemangat didalam membela Islam terjebak untuk membela jati diri dan hawa nafsunya ketika misi dakwahnya berbenturan dengan orang lain, sehingga islam yang sifatnya agung dan universal menjadi sebuah pemikiran dan misi yang ada pada dirinya. Ketika hal ini terjadi berarti dia bukan membela islam akan tetapi lebih cendrung membela misi dan pribadinya. Disinilah letak permasalahan yang dialami oleh para aktifis dakwah ketika berseteru dalam menanggapi masalah-masalah keagmaan, sehingga benturan pemikiran dan fisik kerap terjadi dikalangan ormas-ormas keagamaan. Dan tidak sedikit yang memakan korban gara-gara semua ini. Masalah Ahmadiyah yang berujung pada insiden monas misalnya, adalah salah satu contoh dari permasalahan ini, dan masih akan timbul masalah yang kedua dan yang ketiga yang semuanya akan memakan korban dengan atas nama agama islam, agama yang membawa kasih sayang.
Hal ini terjadi menurut pemikir besar islam DR. Muhammad said Ramdhan al-Buti, gara-gara para aktifis dakwah melupakan etika dakwah yang sebenarnya, menurutnya ada tiga hal yang harus difahami oleh para aktifis.
Pertama : dia harus memahami bahwa gerakan dan aktifitas dakwah yang sedang ia lakukan, pada hakekatnya adalah bentuk pengabdian seorag hamba pada tuhannya, dia melakukan semua ini demi menggapai keridhoaanya. Pekerjaan yang dia lakukan bukan karena tuntutan hawa nafs, bukan karena kepentingan pribadi atau kelompoknya dan bukan untuk menhancurkan atau mengalahkan kelompok lain, akan tetapi semua ini ia lakukan demi melaksanakan firman Allah “ dan hendaknya ada diantara kalian golongan yang menyeru pada kebaikan, memerintah pada kebajiakan dan mencegah kemunghkaran, merekalah orang-orang yang beruntung”
dan berharap untuk masuk didalam golongan yang disifati oleh Allah dengan firmanya “dan siapa yang lebih baik perkataanya dari pada orang-orang yang mengajak pada Allah dan beramal baik serta berkata
aku termasuk orang-orang yang pasrah” al fusilat ; 33.
Jika dakwah dilaksanakan dengan dasar ini maka pelaksananya akan mendapat dua jaminan, jamainan pertama adalah: hawa nafsu dan egoisme yang ada pada tiap manusia tidak akan mempengaruhinya, dan bila merasa akan timbulnya sifat-sifat tercela tersebut dia akan segera menepisnya dengan perasaan bahwa dia dalam melaksanakan pengabdiaan pada Allah SWT, dan apa yang dia laksanakan saat ini tidak lain hanya untuk meraih ridhonya. Bila perasaan ini yang berkecamuk dalam jiwa seorang dai maka ketenangan dan ketegaran akan dirasakan, sehinga dakwah yang dia laksanakan akan bersih dari segala kepentingan selain kepentingan untuk mendapatkan ridhonya.
Dan diantara sifat dai dengan krakteria tersebut, bila timbul dalam jiwanya perasaan-perasaan egois dan semacamnya dia akan segera memeriksa hatinya dengan mengadu kepada Allah, seperti banyak berdzikir dengan hati yang khusuk, membaca al-Quran atau dengan merintih pada Allah SWT. Pada kenyataanya semua manusia tidak akan lepas dari hawa nafsu dan gangguan setan, hanya saja semua itu tidak berpengaruh pada hati manusia, jika manusia itu sendiri senantiasa waspada darinya dan selalu mengharap perlindungan Allah SWT, dalam hal ini Allah telah memberi solusi pada hamba-hambanya yang mempunyai kesungguhan untuk menjadi abdi sejatinya “dan orang-
orang jika melakukan perbuatan keji atau mendholimi dirinya mereka segera mengingat Allah dan meminta ampun atas dosa-dosanya, dan siapa yang memberi ampunan selain Allah? Dan mereka tidak terus menerus melaksanakan apa yang mereka kerjakan dari kesalahannya sedang mereka menyadarinya” al Imran 135.
Sedangkan jaminan kedua adalah: hakekat islam dimana seorang dai mengajak ummat kedalamnya, tidak akan berubah pada sebatas pemikiran atau madzhab yang bersifat simbolis belaka. Sebab seorang muslim ketika mengajak manusia pada ajaran-ajaran islam dan dia menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa dia berada dalam pengabdian pada sang pencipta, maka pasti akal pikirannya dan perasaan hatinya tenggelam dalam hakikat islam yang sempurna, dengan begitu prilaku dan kata-katanya akan mencerminkan fitrah islamiah yang ada pada tiap
manusia seperti apapun keadaan manusia itu. Berbeda dengan dakwah yang dilakukan tidak dengan dasar ini, seperti hanya untuk membela organisasi, pribadi atau ajaran-ajaran tertentu, maka pasti dai yang semacam itu akan melupakan Allah disela-sela aktifitas dakwahnya, misi dan ajaran-ajarannya pasti akan berobah dari yang sebelumnya bersih menjadi manhaj yang sama seperti manhaj-manhaj kelompok lain yang tidak berdasrkan islam. Sehingga dakwah yang semacam ini tidak akan membuahkan sebuah perobahan selain hasil yang bersifat duniawiy. Dalam pandangan kami ormas islam yang dilandasi dengan dasar-dasar tersebut, tidak ada bedanya dengan organisasi-organisasi skuler yang ada dimuka bumi ini. Dengan persamaan untuk kepentingan pribadi yang bersifat sesaat. Hal yang kedua yang harus difahami oleh para aktifis dakwah adalah : dakwah, apapun bentuknya, harus berdasarkan rasa kasih sayang kepada semua hamba Allah. Tanpa harus memandang agama, aliran dan pemikirannya. Dan semua ini tidak akan diraih kecuali dengan mengorbankan
kepentingan pribadinya demi untuk memberi kebaikan pada mereka.
Kalau kita masih belum memahami atau sulit untuk melaksanakannya, maka kita harus kembali pada tujuan pokok adanya agama ini (baca; islam). Bukankah perintah dan larangan-larangan Allah diturunkan sebagai bentuk kasih sayang Allah pada semua hamba-hambanya? Perhatikan apa yang disampaiakan oleh seorang ulama besar, Izuddin bin Abdisalam; kita tidak akan menemukan disetiap apa yang Allah turunkan berupa perintah atau larangan selain hal yang membawa kemaslahatan atau hal yang mencegah kerusakan manusia itu sendiri. Selanjutnya kalau diperhatikan secara seksama akan terutusnya para nabi dan rasul maka kita akan menemukan dengan jelas bahwa semua itu dilakukan oleh Allah sebagai bentuk dari penghormatan Allah dan kasih sayanganya pada hamba-hambanya. Bukankah Ia yang berfirman tentang Rasulullah SAW; Aku tidak mengutusmu melainkan sebagai Ramat untuk alam semesta.
Kalau semua ini masih belum bisa diterima oleh seorang dai, maka lihatlah bagaimana pribadi sebaik-baiknya dai yaitu Rasulullah SAW dalam berdakwah dan beramar makruf nahi mungkar!
Belaiu sama sekali tidak pernah mewrnai aksi-aksinya dengan kekerasan. Perhatikanlah kasus Thaif, beliau bila diminta untuk mendoakan seseorang beliau selalu mendokan dengan rahmat, pengampunan dan hidayah, meskipun yang didoakan adalah orang kafir atau aorang yang memusuhinya. Ketika seorang sahabat datang dan berkata kepada beliau; ya Rasulallah sesungguhnya kaum dus telah berpaling dan ingkar pada kita, maka doakanlah mereka (agar binasa). Rasulullah mengangkat tangan seraya berdoa Ya Allah berikanlah hidayah pada kaum Daus dan datangkanlah pada kami dalam keadaan beriman. Itulah sikap Rasulullah sendiri belum lagi sabda dan anjurannya mengenai kasih sayang dan perdamaian. Kalau masih ada yang beralasan kenapa mesti ada peperangan dalam sepanjang sejarah islam? Sehingga dengan dasar itu kekerasan yang sering dilakukan oleh islam haroki dalam menjalankan aktifitas dakwahnya kerap terjadi. Maka jawabannya adalah: lihatlah kembali latar belakang peperangan yang terjadi dimasa Rasulullah, para ulama dan fuqaha telah menetapkan bahwa
hukum asal didalam berdakwah adalah dengan kasih sayang dan perdamaian, sedangkan peperangan dan kekerasan dilakukan dalam keadaan darurat, yang oleh para fuqahak distilahkan dengan khilaful ashl. Dan rahmat itu sendiri dalam keadaan tertentu memang menuntut adanya perang. Namun bagitu peperangan dan kekerasan hanya bisa dilakukan ketika kaum muslimin sudah mempunyai kekuatan ( Syaukah ), seperti ketika Rasulullah setelah hijrah ke Madinah, sebelum itu sedikitpun Rasulullah tidak pernah melakukan aksi yang bersifat fisik. Semua itu ketika berhadapan dengan orang kafir yang menentang atau menghalangi dakwah islamiah, itupun hanya boleh diputuskan oleh imam yang sah. Sedangkan peperangan antara sesama kaum muslimin itu hanya boleh dilakukan bila ada satu kelompok yang menentang pada sebuah pemerintahan yang sah, itupun setelah melalui beberapa proses. Itulah ketentuan umum boleh dan tidaknya seorang dai melakukan aksi fisik dalam dakwahnya.
Adapun masalah memukul, melukai atau menyakiti sesama muslim, islam mempunyai aturan-aturan yang jelas, seperti pemukulan yang dilakukan oleh seorang imam yang menta’zir (menghukum ) rakyatnya dengan tujuan agar lebih baik, qisos itupun setelah melalui proses panjang, seorang guru yang mendidik muridnya itupun dengan syarat tidak melukai atau membuatnya patah. Pemukulan yang dilakukan diluar itu maka hukumnya haram. Apapun bentuk dan alasannya.
Jadi kekerasan dan tindakan anarkis sama sekali tidak mencerminkan ajaran islam. Dari itu Rasulullah SAW bersabda “lemah lembut pasti akan menyeimbangkan setiap perkara”.
Hal yang ketiga yang harus difahami oleh seorang dai adalah: dia harus meyakini bahwa dakwah yang sedang dia jalani hanyalah melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada hambanya-hambanya. Dalam artian: seorang dai tidak mempunyai kemampuan untuk memberi hidayah, tidak pula merobah sebuah system kemasyarakatan seperti yang dia kehendaki dan tidak pula menunggu sebuah hasil dari apa yang dia kerjakan. Akan tetapi dia hanya berusaha mengajak manusia ke jalan Allah sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Allah. Adapun hasilnya dia pasrahkan kepada Allah. Hal ini bukan berarti kita tidak mempunyai target atau strategi, akan tetapi kita harus menyadari bahwa target utama kita adalah keridhan Allah. Sehingga seorang dai tidak terkesan memaksakan kehendak yang bukan dalam kemampuannya. Al-Habib Umar dalam salah satu ceramahnya juga pernah berkata; tugas dai sejati adalah menanam dengan sebaik mungkin sedangkan tumbuh dan hasilnya dipasrahkan kepada Allah. Hal ini menurut penulis yang harus diperhatikan oleh seorang aktifis, sebab tidak sedikit dari aktifis islam yang kurang memperhatikan masalah ini, sehingga mereka berusaha melaksanakan sesuatu yang bukan tugasnya bahkan kadang berlanjut pada hal yang tidak semestinya dilakukan. Disnilah letak masalah yang kerap membawa konflik antara ormas islam dengan pemerintah atau ormas sesama ormasnya. Apalagi kadang memaksakan kehendak dengan segala cara yang jelas membahayakan agama dan Negara seperti, seperti meminta bantuan pihak asing dan semacamnya.
Dari media ini penulis mengajak pada semua elemen bangsa untuk merenungi jalan hidup yang selama ini kita jalani, kita harus menyadari bahwa kita adalah hamba yang harus tunduk pada ketetapan dan aturan tuhannya.
*peneliti di Lembaga kajian islam al-Ghanna, Jakarta.