http://www.english.hadhramaut.info Biografi Syeh Said bin Isa Al-Amudi (Bagian I) [The Source: indo.hadhramaut.info - 26/7/2008] Silsilah keturunan Syeh Said bin Isa Al-Amudi Syeh Said bin Isa bin Ahmad bin Isa bin Sya'ban bin Isa bin Daud bin Muhammad bin Abi Bakar bin Thalhah bin Abdillah bin Abdirrahman bin ABi Bakar Ash-shiddiq Khalifati Rasulillah SAW.


Beliau dikenal dengan julukan Al-Amudi yang berarti tiang, karena saking rajinnya melaksanakan shalat dan salat merupakan tiang agama, paling utama-utamanya ibadah yang dilakukan seorang hamba dalam bermunajat, bahkan dalam hadits disebutkan " Pokok perkara adalah Islam sedangkan tiangnya adalah Salat", kemudian kata "العماد " dikatakan "العمودي" sebagaimana istilah penduduk setempat.

Waktu dan Tempat Kelahiran Syeh Al-Amudi

Syeh Said bin Isa dilahirkan di Lembah Doan, beliau sejak lahir hidup dalam keadaan bersahaja, jauh dari gemerlap duniawi. Ayahnya sangat memperhatikan beliau dalam segi pendidikan agama, beliau dididik ilmu agama semenjak dini, adapun tarbiyah ruhani, beliau dapatkan secara talaqy dan berkumpul dengan para Syeh, karena beliau tidak pernah belajar membaca ataupun menulis, ilmu yang beliau dapatkan adalah berkat seringnya berkumpul dan hadir dalam majlis para masyayeh, dengan hal itu dan berkah doanya para masyayeh, Syeh Said mendapat dalam hati para Solihin.

Syeh Said umpama sebuah tunas yang batangnya tumbuh lurus diantara masjid-masjid serta majlis-majlis sholihin, beliau tumbuh di zaman kezuhudan, di Lemba yang jauh dari gemerlap kehidupan, lembah yang merupakan tujuan setiap orang yang ingin mengasingkan dirinya dari keramaian kehidupan dunia dan husyu' beribadah kepada Allah SWT.

Seringkali Syeh Said ketika mengembala kambing-kambingnya di tebing-tebing gunung bertafakur tentang keagungan Allah dalam penciptaan makhluk-makhlukNya, memenuhi panggilan fitrah iman terhadap apa yang dibaca oleh indra dan dilihat oleh hati, demikianlah hal yang dilakukan syeh said hingga terpancarlah sumber-sumber hikmah, dan tumbuhlah keinginan yang begitu kuat yang mendorongnya untuk bermujahadah dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi, serta bergeraklah lisannya dalam dzikir, serta hatinya dalam syukur, sehingga kemudian masyarakat sekitarnya mendengar manisnya kalam beliau dan mereka mendapatkan obat hati, serta pedihnya dosa, dan melebihi itu semua adalah zahirnya nur pada keningnya yang membuat ciut nyali orang sombong dan melemahkan orang yang zalim, dan termasyhurlah beliau tidak ada suatu majlis kecuali namanya disebut dalam majlis tersebut.
Kisah Pernikahan Syeh Said

Dikisahkan bahwa Syeh Said menikah dengan putri Syeh Said bin Ahmad Balwaar Balafif, ketika tiba malam pertama, istrinya memperhatikan ibadahnya Syeh Said, namun apa yang dia lihat dari Syeh Said tidak seperti yang dia dengar dari masyarakat banyak, begitupula tidak seperti bapaknya dalam beribadah. Melihat kenyataan seperti itu besok paginya dia balik ke orang tuanya, dan berkata kepada ayahnya "bagaimana saya hidup bersama orang yang tidak salat malam", mendengar pengaduan putrinya syeh Said Balafif menyuruh putrinya kembali lagi kepada suaminya dan meneliti apa yang dilakukan suaminya pada malam hari.
Kembalilah istri Syeh Said ke rumah suaminya dengan dibarengi salah satu keluarganya yang disuruh untuk mengirim berita tentang amalan yang dilakukan Syeh Said pada malam hari, pada malam hari berikutnya istri Syeh Said terus mengamati apa saja yang dilakukan beliau dari mulai datngnya malam hingga terbitnya fajar, setelah itu dia mengirim utusan kepada ayahnya untuk menyampaikan apa yang dia lihat tentang amalan suaminya pada malam hari, dalam pesan kepada ayahnya dia berkata : "Aku melihatnya ketika malam mendekati fajar dia shalat dan berkata ana (aku) … ana (aku) … ana (aku)… ", ketika ayahnya mendengar kabar tersebut maka beliau mengirim utusan kepada putrinya dan berkata : "Itu adalah sebuah maqom yang tinggi dan kita belum sampai kepada maqom tersebut", perkataan Syeh Said Balafif tersebut mengisyaratkan bahwa maqom Syeh Said bin Isa Al-Amudi adalah maqom radd (menjawab) terhadap panggilan (Barangsiapa yang taubat? Barang siapa yang mempunyai permintaan?)

Kunjungan Syeh Abdullah Ash-Shalih Al-Magribi ke Hadhramaut

Kabar tentang para masyayeh pada zaman itu baik yang berada di Siria, Yaman, Hijaz, Maroko, dan Irak membuat Syeh Said berharap akan bisa berkumpul dengan mereka, maka beliau meminta kepada Allah agar dipertemukan dengan para Masyayeh tersebut supaya bisa menimba berkah dari mereka.

Tidak lama kabar gembira yang dinanti-nanti oleh Syeh Said itu ahirnya tiba, pada suatu pagi di tahun 590 H, datanglah Syeh Abdullah Ash-Shalih Al-Magribi ke Lembah Doan dengan membawa sepucuk surat untuk Syeh Said Al-Amudi, setelah sebelumnya dari Tarim untuk mengantarkan surat kepada Al-Ustadz Al-A'dzam Al-Faqih Al-Muqoddam Muhammad bin Ali Balawi, dan mengambil Ahd (baiat) serta memakaikan Khirqoh (Jubah Sufi), selain itu beliau memerintahnya untuk menyiarkan dakwah sufiah, maka semenjak itu tersebarlah dakwah tasawuf di Hdahramaut.

Asal muasal datangnya surat dari Maroko tersebut adalah tersebarnya berita tentang Faqih Al-Muqoddam dan Syeh Said Al-Amudi yang sampai ke Maroko melalui Hijaz, dan kabar tersebut sampailah kepada Syeh Suaib Abu Madyan, begitu beliau mendengar tentang kabar kedua orang alim di Hadhramaut tersebut beliau langsung mengirim utusan untuk menghubungkan mereka dengan manhaj tasawuf dan madrsah akhlak, adapun orang yang dipercaya untuk mengemban tugas tersebut adalah Syeh Abdurrahman Al-Maq'ad salah seorang ulama yang datang ke Maroko untuk mengambil ilmu Toriqoh dari Syeh Suaib Abu Madyan, Syeh Abdurrahman yang menjadi utusan ke Hadhramaut tersebut menurut Syeh Suaib dia akan meninggal ditengah perjalanan menuju Hadhramaut dan kemudian memilih Syeh Abdullah Ash-Sholeh Al-Magribi yang menjadi teman perjalanan syeh Abdurrahman Al-Maq'ad, dan setelah Syeh Abduurahman melakukan perjalanan maka terjadilah apa yang dikatakan Syei Suaib tersebut, Syeh Abdurrahman meninggal dunia di tengah perjalanannya menuju Hadhramaut, dan tugasnya menyampaikan surat ke Hadhramaut dilanjutkan oleh Syeh Abdullah Ash-Sahlih salah satu keturunan raja Maroko.

Utusan Syeh Abu Madyan Tiba di Doan

Utusan Syeh Suaib Abi Madyan tiba di Tarim dan melaksanakan tugas yang beliau emban dari Syeh Abi Madyan, dan setelah selesai menunaikan tugasnya beliau langsung bergegas menuju Doan untuk bertemu dengan Syeh Said bin Isa Al-Amudi, sesampainya di Doan beliau minta ditunjukan tempatnya Syeh Said Al-Amudi kepada salah satu warga disana, orang tersebut mengatakan bahwa Syeh Said ada dilembah Gidun sedang mengembala kambing-kambingnya, maka pergilah syeh Al-Magribi menuju tempat yang ditunjukan orang tersebut, sesampainya ditempat yang dituju bertemulah beliau dengan Syeh Said yang pada waktu itu sudah menginjak usia delapan puluhan, maka beliau sampaikan surat dan pesan yang diembannya dari Syeh Suaib Abi Madyan, selain itu beliau mengambil janji (baiat) dari Syeh Said Al-Amudi dan memakaikan Khurqoh (Jubah Sufi), serta mengajaknya untuk menyebarkan dakwah sufiah, karena sebelumnya Syeh Said mengambil sufi sebagai jalan hidup untuk pribadinya bukan sebagai dakwah dan toriqoh, disamping itu Syeh Al-Magribi juga memberitahukan Syeh Said bahwa sebelumnya beliau telah membaiat  Faqih Al-Muqoddam sertamemakaikan Khurqoh.

Syeh Said adalah orang yang tawadu' dan menyukai khumul serta zuhud karena beliau dari kecil tumbuh dalam lingkungan keluarga yang bersahaja dan cinta akhirat, oleh sebab itu pembaiatan dan ilbas (pemakain Khurqoh terhadap seorang murid) bagaikan sebuah mahkota yang dianugerahkan kepada orang yang siap dan pantas memakainya, keadaan beliau tersebut bagaikan ungkapan syair yang bekata :

لا يدرك الذوق إلا من له حال        ولا المقام سوى من فيه إقبال
الذوق نور من العرفان يقذفه الر        حمن في قلب صب في إجلال
    إلى الحضائر في الأوقات منجذب        بحاله وبها منه صفا البال

Maka semenjak pembaiatan dan ilbas tersebut Syeh Said mulai menyebarkan dakwah sufiah di wadi Doan dan sekitarnya.

Kedatangan Syeh Al-Magribi ke wadi Doan bukan saja disambut gembira oleh Syeh Said yang mengharapkan pertemuan tersebut sejak lama tapi juga semua penduduk lembah tersebut menyambut gembira kedatangan Syeh dari negeri Maroko tersebut, sehingga untuk beberapa waktu lamanya syeh Al-Magribi menetap di lembah tersebut, sebelum kemudian pindah untuk menetap di lembah Maifa' sampai akhirnya beliau dipanggil sang pencipta, menurut sebagian riwayat mengatakan bahwa beliau dari lembah Doan pindah ke kampung "Usbu'un", dan menikah dengan putri kampung tersebut, dari hasil pernikahanya Syeh Magribi mempunyai keturunan semuanya perempuan, dan ketika beliau meninggal dunia urusan keluarganya semuanya dipasrahkan kepada Syeh Said Al-Amudi sesuai wasiatnya menjelang wafat.

Al-Faqih Al-Muqoddam Khalifah Syeh Al-Magribi

Diantara keajaiban yang diriwayatkan oleh para penulis sejarah tentang Syeh Al-Magribi adalah ketika beliau mendekati waktu wafatnya, beliau mengirim utusan kepada tiga murid utamanya yaitu Al-Faqih Al-Muqoddam, Syeh Said bin Isa Al-Amudi dan Syeh Bahamran, dan ketika mereka tiba di kediaman Syeh Al-Magribi, ketiga murid utama Syeh Al-Magribi tersebut meminta beliau untuk menunjuk halifah yang menggantikan posisi Syeh Al-Magribi apabila beliau meninggal dunia, mendengar permintaan itu dari para muridnya Syeh Al-Magribi tidak langsung, tetapi beliau diam, setelah selang beberapa waktu lamanya beliau berkata : " Syeh yang akan menggantikanku kelak adalah pemilik tasbih", dan aku telah menjadikan harta peninggalanku diantara kalian berempat. Harta warisan Syeh Al-Magribi tersebut adalah: tasbih, tongkat, obor, kendil, tikar, dan dua bilah pedang.

Dan ketika Syeh Al-Magribi wafat maka warisannya dibagi sesuai dengan wasiatnya beliau, sebagai berikut : tongkat dan tasbih diwarisi Al-Faqih Al-Muqoddam, panci dan obor diwarisi Syeh Said bin Isa Al-Amudi, kendil dan tikar diwarisi Syeh Bahamran dan pedang diwarisi Syeh Baumar, sesuai wasiatnya sebelum meninggal agar pemilik tasbihlah yang menjadi pengganti beliau setelah beliau meninggal dunia, maka setelah ternyata Al-Faqih Al-Muqoddam yang mendapat warisan tasbih secara langsung hal tersebut menjadikannya sebagai halifah dari Syeh Al-Magribi, Dan semua pembesar ulama tasawuf tunduk dan rukun diatas kepemimpinan beliau.
Syeh Said Al-Amudi "Khizanah Ali Balawi"

Semenjak bersatunya kedua pemegang bendera tasawuf di Hadhramaut, Al-Faqih Al-Muqoddam dan Syeh Said Al-Amudi, masyarakat menyebut keluarga Al-Amudi dengan sebutan "Khizanah Ali Balawi" (gudang keluarga baalawi) ikatan batin yang begitu erat antara Al-Faqih Al-Muqoddam dan Syeh Al-Amudi menjadikan Syeh Al-Amudi sebagai penasehat dan penopang dalam segala keputusan yang diambil oleh Al-Faqih Al-Muqoddam, termasuk keputusan Al-Faqih Al-Muqoddam dalam "mematahkan pedang" sebagai simbol berpalingnya beliau dari gaya kehidupan masyarakat pada waktu itu menuju "khumul" serta menjauhi kepangkatan duniawi, selain itu pematahan pedang yang dilakukan oleh Faqih Muqoddam juga sebagai simbol mengedepankan ilmu dan amal sebagai dasar pola pemikiran baru yang digagas oleh beliau.

Penamaan tersebut sebagaimana disebutkan dalam "As-Syamil" karena Syeh Al-Amudi yang menjadi pewaris dan penjaga "sir"nya Al-Faqih Al-Muqoddam, Habib Jakfar dalam qosidahnya yang berisi pujian atas Syeh Al-Amudi berkata :

فيه مكنون سرنا آل علوي        أخبرتنا بذا الثقات شفاها
 
Langkah yang diambil oleh Faqih Muqoddam bukan berarti menjerumuskan keturunannya kepada kemunduran dan kebodohan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi langkah yang diambil Faqih Muqoddam tersebut merupakan langkah menuju perubahan dalam dua sisi penting dalam kehidupan, yaitu segi politik dan sosial agama.

Adapun dari segi politik pengarang  Sayid Muhammad bin Ahmad As-Syatiri menerangkan secara gamblang dalam kitabnya "Adwar Tarikh Al-Hadrami", "Bahwa pada masa itu para pembesar dan politikus di Hadramaut, memandang "Bani Alawi" sebagai saingan mereka yang harus diawasi dan diwaspadai gerak-geriknya, hal tersebut sebagaimana terjadi pada nenek moyang mereka pada zaman dinasti Bani Umayah dan Bani Abasiah serta raja-raja lainya, bahkan Faqih Muqoddam menyaksikan sendiri itu terjadi pada kerabat dekatnya, seperti hal yang terjadi pada kakeknya Shahib Marbat (Muhammad bin Ali) yang terpaksa hijrah ke Dzafar karena terror yang terus-menerus dari para pembesar waktu itu, begitu pula kejadian yang menimpa pamanya (Alawi) yang diracun oleh hakim Tarim waktu itu. Oleh karena itu, sikap untuk mempertahankan senjata pada masa itu akan dianggap suatu tantangan bagi mereka yang menganggap "Bani Alawi" musuh dan suatu ketika mesti akan terjadi bentrok antara kedua belah pihak, dan seterusnya hal tersebut akan menjadi rantai balas dendam kepada anak cucu kedua belah pihak dikemudian hari sebagaimana yang terjadi antar kabilah-kabilah pada zaman itu.

Melihat kenyataan seperti itu Faqih Muqoddam mempunyai pandangan yang jauh ke depan dalam membasmi kemunkaran dari akarnya, maka dipilihnya tasawuf  moderat, dan dipilihlah tongkat sebagai pengganti dari pedang yang melambangkan tasawuf.

Sedangkan dari segi sosial agama, langkah yang diambil Faqih Muqoddam dengan meletakkan senjata dan bahkan mematahkannya merupakan suatu ajakan untuk melepaskan senjata guna menghapuskan adat kesukuan dan mengajak untuk hidup rukun dan damai dalam lingkup keagamaan dan kenegaraan tanpa mempermasalahkan madzhab dan suku, dan senjata sesungguhnya adalah ilmu dan iman, dan ilmu serta iman itulah yang akan menjadikan seseorang pemimpin yang berhasil dalam suatu masyarakat.

Dari hal tersebut itulah jelas sekali, bahwa pendirian Faqih Muqoddam adalah pendirian seorang yang berani, begitu pula pendirian Syeh Said Alamudi yang selalu menjadi penopang dalam segala keputusan yang diambil oleh Faqih Muqoddam. Kitab-kitab sejarah menyebutkan bahwa patahan pedang serta sebagian peninggalan Faqih Muqoddam berada dan dan dirawat oleh keluarga Al-Amudi sebagaimana diwasiatkan oleh Faqih Muqoddam, hal tersebut juga merupakan adat ulama sufiah dengan memberikan seorang yang akan dipilih sebagai halifah sesuatu baik berupa pakaian atau lainnya, sebagai tanda perpindahan kepemimpinan kepada murid tersebut. Dan peninggalan Faqih Muqoddam tersebut hingga kini masih disimpan dan dirawat di wadi Gidun oleh penjaga maqom Syeh Said Al-Amudi, hal tersebut merupakan suatu lambang atas hubungan rohani antara kedua imam yang dikenal dengan "persatuan menyeluruh" (Toriqoh, ilmu, amal dan pertalian keluarga/besan)

Tentang hubungan dua keluarga tersebut Sayid Alwi bin Tohir mengatakan : "Keluarga Al-Amudi dan keluarga Baalawi sudah mempunyai hubungan yang erat sejak dahulu, hal tersebut berkat hubungan yang erat antara Al-Qutub Al-gauts Al-Faqih Al-Muqoddam Jamaluddin Muhammad bin Ali Baalawi dan Syeh Al-Kabir Al-Arif billah Said bin Isa Al-Amudi, dan berkah dari hubungan tersebut keluarga Al-Amudi dilimpahi harta yang banyak dan barokah, disamping dianugerahi aqidah yang lurus dan kuat serta hubungan kekeluargaan yang langgeng tidak terputus, hal tersebut sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Nabi SAW, "Setiap keturunan dan hubungan kekeluargaan (besanan) nanti di hari kiamat akan putus kecuali keturunanku dan hubungan kekeluargaanku", hadits ini diriwayatkan dengan maknanya.