Keilmuan Syeh Said bin Isa Al-Amudi
Para ulama membagi ilmu menjadi dua bagian, pertama ilmu kasab kedua ilmu wahbi (laduni). Yang dimaksud ilmu kasab adalah ilmu pengetahuan yang didapatkan oleh seseorang melalui jerih payah dalam menuntut ilmu dan berkumpul dengan para ulama dan masyayeh disamping pengalaman hidupnya.
Adapun ilmu wahby (laduni) adalah merupakan anugerah dari Allah SWT kepada seorang hamba ketika dia mencapai tingkatan dalam mencari ilmu atau seorang hamba yang menyelusuri jalan thoat dan amal shaleh, karena setiap thoat akan menghasilkan buah dan setiap buah tersebut mempunyai dzauq, dan hal yang merusak buahnya thoat adalah maksiat, dan kalau buah itu rusak maka rusak pulalah dzauq tersebut, dan jadilah thoat tersebut bagaikan pohon yang tidak berbuah. Orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam thoat kepada Allah, Allah memberinya buah yang mempunyai macam-macam dzauq dari thoat tersebut, dan dari dzauq itulah mereka menemukan makom iman, maka berkatalah orang-orang tersebut : "yang akan merasakan rasanya iman adalah orang yang ridlo Allah menjadi Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad SAW sebagai Nabinya". Dan barangsiapa yang merasakan rasanya iman maka efek hal tersebut akan terlihat daripada lisannya yang berupa ilmu dan hikmah, dan hal seperti inilah yang akan kita bahas tentang keilmuan Syeh Said
Syeh Said, sebagaimana disebutkan dalam buku-buku sejarah adalah orang ummi (tidak bisa membaca dan menulis), dan sifat tersebut merupakan suatu kelemahan bagi seorang manusia kecuali sifat umminya Rasul SAW, maka hal itu merupakan suatu kelebihan Rasul SAW. Tetapi kalau kita pelajari secara teliti "ummi"nya Syeh Said ini bukan seperti yang difahami banyak orang, dan mereka yang mengartikan ummi pada diri Syeh Said dengan kebodohan adalah suatu yang berlebihan. Hal tersebut karena kehidupan Syeh Said tidak terlepas dari belajar dan mengajar dan kampung Gidun, tempat tinggal beliau adalah tempatnya ilmu dan ulama, tetapi memang keseharian beliau tidak disibukan dengan belajar seperti halnya seorang pelajar, beliau hanya sering mendengar pengajian dan berkumpul dengan para ulama dan pada hakikatnya itupun merupakan salah satu cara mencari ilmu, bahkan dikisahkan di Hadhramaut ada orang yang hafal qur'an dengan tidak sengaja menghafalnya, tetapi karena banyak mendengar bacaan Al-qur'an dan seringnya hadir dalam halaqoh qur'an serta membacanya, dan hal seperti itu bukanlah suatu yang mustahil.
Kalau dilihat dari kebiasaan orang banyak, Syeh Said bisa digolongkan dalam golongan orang "ummi" karena beliau tidak belajar sebagaimana halnya seorang pelajar dimasa itu, pada hakikatnya beliau tahu akan segala hal yang wajib diketahui dalam agama, tetapi beliau memilih "khumul" dan uzlah serta menjauhi dunia intelektual. Namun dibalik semua itu, beliau terus belajar dan menimba ilmu pengetahuan sehingga makin bertambahlah nurnya, dan pada ahirnya nur itupun semakin jelas pada diri Syeh Said ketika beliau memilih jalan tasawuf hingga kemudian menjadi imam dan syeh serta murobbi yang lisannya selalu mengekspresikan dzauk dan hikmah dan selalu membimbing para muridnya kepada ilmu dan amal, silahkan teliti perkataan beliau : "Seorang Syeh tidak dianggap mempunyai keutamaan kalau dia ingin dipuji atas apa jasa-jasanya kepada para murid, sesungguhnya para murid itu seakan-akan anaknya sendiri, maka seseorang yang melakukan hal seperti itu tidak berhak untuk dipuji". Beliau juga berkata : "Janganlah sesekali kamu menemani orang yang sakit walaupun dia ditawari menumpang bersamanya".
Dan tentang hal berkah ilmu dan amal beliau berkata :"Buah itu banyak, tapi yang dipanen sedikit". Ketika beliau ditanya tentang syarat seorang syeh murobbi, beliau menjawab : "Seorang syeh hendaknya 1.berwawasan luas 2.mempunyai nama baik 3.tidak gemar berselisih 4.menerima kritikan 5.sangat pemaaf 6.berilmu tinggi 7.rendah diri 8.tertawanya adalah senyum 9.pertanyaannya adalah suatu pelajaran 10.selalu mengingatkan yang lupa 11.mengajari orang bodoh 12.tidak merasa senang atas musibah yang menimpa orang lain 13.tidak meremehkan orang yang tidak mengenal dirinya 14.menerima orang yang datang kepadanya dengan gembira 15.akrab kepada orang asing 16.senang membantu kesusahan muslimin 17.sebagai bapak anak yatim 18.penolong orang lemah dan miskin 19.kesedihannya tersimpan dihatinya 20.gembira atas Tuhannya 21.menjauhi ahli dunia 22.tidak pelit dan tidak tergesa-gesa 23.tidak tertawa atas kemenangan yang diraih 24.tidak membenci orang yang menyakitinya bahkan dia mengampuni dan memaafkannya 25.tidak melakukan sesuatu yang tidak penting 26.kalau dicaci tidak membalas cacian 27.tidak menolak permintaan 28.kalau permintaannya ditolak tidak marah 29.lebih lembut daripada busa ombak 30.lebih manis dari madu 31.dekat dengan kebajikan dan ahli kebajikan 32.jauh dari kemunkaran 33.marahnya didasarkan keadilannya.
Beliau juga berkata :"Seseorang tidak menjadi Syeh kecuali mengetahui Usuluddin dan furu'nya, Usuluddin ada 7 adapun furu'nya 70.
Ketika Syeh Ahmad bin Abilja'di bertanya kepada Syeh Said Al-Amudi tentang toriqoh tasawuf beliau menjawab : "toriqoh tasawuf adalah toriqoh muhaqiqin dan toriqoh mujatahidin, yang dimaksud toriqoh muhaqiqin adalah menjauhi makhluq, memutuskan hubungan selain dengan Allah, dan bersungguh-sungguh dalam mengabi kepada sang pencipta, adapun toriqoh mujtahidin adalah : menjalankan puasa, shalat dan meninggalkan perbuatan dosa". Beliau juga berkata ketika ditanya oleh Syeh bin Abilja'di tentang faqir yang sabar ? orang yang dirundung cobaan, khusuk, terpelihara harga dirinya, berselimutkan rasa malu, merasa selalu diperhatikan oleh Allah, bertongkatkan tawakkal, beralas kaki shabar, qonaah, memili ilmu pengetahuan apabila dia sampai kepada ma'rifat maka sampailah di pintu Almalik alquddus, apabila sudah sampai disitu maka dia akan dianugerahi sifat yang aneh sebagai tanda, apabila sudah seperti itu maka kepribadiannya lebih halus dari air, lebih tinggi daripada langit, semangatnya lebih tajam daripada pedang, pembicaraanya jauh dari kebohongan, dia seumpama lautan airnya dipakai mandi, ikannya dijadikan santapan, orang yang masuk kepadanya merasa tenang, kalau dia berkata maka perkataannya itu dan membenarkan apa yang dikatakan kepadanya, rido dan merasa cukup atas rizqi yang diterima dari Allah SWT, tidak berbuat dzalim kepada sesama hamba Allah SWT, kalau dia dizalimi maka dia sabar dan memaafkannya, merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah SWT dan merekalah orang-orang yang berbahagia.
Peninggalan Syeh Said Al-Amudi
Syeh Said Al-Amudi meninggalkan pengaruh ilmiah yang luas di Hadhramaut, kota-kota lain di Yaman, Negara-Negara Afrika Timur, Indonesia dan banyak lagi, pengaruh masyayeh dari keluarga Al-Amudi terlihat sangat dominan sekali di beberapa daerah di Hadhramaut.
Salah satu contoh atas hal tersebut adalah pengaruh keluarga Al-Amudi di Wadi Dauan dari semasa hidupnya Syeh Al-Amudi hingga anak cucunya mereka mempunyai pengaruh yang sangat kuat sekali, hal yang menjadikan mereka menjadikan mereka mempunyai kekuasaan baik dalam hal duniawi ataupun agama. Selain itu di Wadi Hajr dan sekitarnya Syeh Al-Amudi memiliki peninggalan yang banyak sekali, peninggalan yang paling penting adalah berupa masjid, hamper semua majisd yang berada dipelosok Wadi Hajer dinisbatkan kepada Syeh Al-Amudi atau anak cucunya, selain itu Syeh Said Al-Amudi mempunyai sedekah yang masih berlangsung hingga beberapa tahun silam, sodaqoh yang telah berlangsung semenjak ratusan tahun silam itu bermula ketika penduduk setempat mengadu kepada Syeh Said atas gangguan jin terhadap kurma dan palawija mereka, maka Syeh Al-Amudi meminta kepada Allah SWT agar tanaman mereka dijaga dari gangguan, dan imbalannya para petani harus memberikan sodaqoh atas hasil panennya kepada fakir miskin, hal tersebut terus berlangsung dan menjadi adat penduduk setempat hingga terjadi perubahan dalam tatanan kehidupan sosial menjelang revolusi.
Hal serupa bisa disaksikan di negeri Al-Awalik bagian bawah, banyak masjid disana yang dinisabatkan kepada Syeh Said atau salah satu dari anak cucunya, diantaranya masjid Al-Masani, masjid Lakah, masjid Syeh Said di Ahwar, kesemua mesjid tersebut dinisbatkan kepada Syeh Said Al-Amudi ketika beliau berkunjung ke Ahwar pada abad ke-7 Hijriah. Di kisahkan pada suatu waktu salah satu cucu Syeh Said Al-Amudi berkunjung ke Ahwar dan di negeri tersebut sedang merebak wabah penyakit, maka cucu Syeh Said tersebut memerintahkan kepada warga setempat supaya mengumpulkan anak istrinya dan menyuruh mereka turun ke jalan dan berkeliling sambil mengatakan "شي لله شي لله شوي لله يالعمودي ", kemudian menyeru mereka agar saling memberikan sedekah semampunya, kemudian hal tersebut menjadi suatu tradisi turun temurun setiap pertengahan bulan Sya'ban, namun sedikit demi sedikit tradisi tersebut tercampur dengan hal-hal yang dilarang agama seperti campur baurnya antara laki-laki dan perempuan dijalanan, oleh sebab itu ketika ayahanda penulis Habib Ali bin Abu Bakar Al-Masyhur berkunjung ke Ahwar pada tahun 1362 H, beliau meminta Sultan Idrus bin Ali Al-Aulaqi untuk menghentikan tradisi tersebut, maka selama kurang lebih dua tahun tradisi tersebut dihentikan, namun tidak lama kemudian wabah yang semula menyerang kembali lagi, maka Habib ali memperbolehkan kembali tradisi tersebut dengan syarat yang turun kejalan hanya anak-anak saja, tradisi tersebut masih terus dilkakukan setiap pertengahan Sya'ban dan dikenal dengan nama "شويللاه ".
Peninggalan Syeh Said di Afrika Timur yang paling menonjol adalah tersebarnya keturunan beliau diwilayah Afrika Timur terutama diwilayah pantai Ahwar seperti daerah Bandar, Masani Hanadz dan lainnya, mereka mempunyai adapt dan tertib ibadah serta makomat seperti halnya yang berlaku di daerah-daerah di Hadhramaut, namun hal tersebut sedikit demi sedikit luntur dengan meninggalnya para masayeh dan pengaruh pendidikan dan zaman kepada generasi berikutnya. Dan dari sebagian anak cucu Al-Amudi ada juga mereka yang keluar dari Hadhramaut dengan tujuan berdagang, mereka pergi ke berbagai Negara seperti Hijaz, Indonesia, Afrika, India dan lainya.
Satu hal yang sangat disayangkan, kebanyakan peninggalan Al-Amudi yang berupa kitab hilang, dan sebagian lagi masih tersimpan digudang-gudang dalam rumah-rumah kuno di Doan, penulis sendiri secara langsung melihat beberapa perpustakaan yang berada di Wadi Doan baik bagian kana ataupun kiri yang telah ditutup beberapa puluh tahun lalu, dan tidak diketahui tentang keadaan kitab-kitab didalamnya. Penulis sangat khawatir warisan Al-Amudi yang sangat berharga tersebut akan hilang karena ditelan waktu ataupun karena para pewarisnya terkan pengaruh pemikiran sekarang, sehingga sebagian dari mereka dengan sengaja memusnahkan peninggalan para leluhurnya tersebut dengan membakaranya.
Wafatnya Syeh Said bin Isa Al-Amudi
Syeh Al-Amudi sepanjang hidupnya penuh dengan pengabdian kepada kemanusiaan, hari-harinya digunakan untuk mengajak manusia kepada jalan Allah SWT, kehidupan sehari-harinya dihiasi dengan ibadah hatinya, dipenuhi dengan kerinduan dan cinta kepada sang khaliq, dihari-hari akhir hayatnya beliau sering mengulang-ulang syairnya Robiah Al-Adawiyah yang berbunyi :
يا قريبا من الفؤاد يا بعيدا عن النظر
أنت عذبت مهجتي أنت كلفتني السهر
هكذا يا معذبي من بلي بالهوى صبر
ليس من يكتم الهوى مثل من باح واشتهر
Yang artinya :
Wahai engkau yang dekat dihati, wahai engkau yang jauh dari pandangan mata.
Engkau siksa jiwaku, Engkau memerintahkanku agar meninggalkan tidur malam.
Begitulah wahai Engkau yang membuatku tersiksa, orang yang sedang jatuh cinta harus sabar
Tidak sama derajatnya orang yang menyembunikan cintanya dengan orang yang berterus terang dan memamerkan cintanya.
Syeh Said bin Isa Al-Amudi dipanggil menghadap sang khaliq pada tahun 671 H, dan dimakamkan di Gidun, makamnya samapai sekarang masih terpelihara begitu pula masjidnya.
Hubungan Bani Alawi dengan Al-Amudi sepeninggal Syeh Said
Setelah meninggalnya kedua tokoh sufi yang melambangkan hubungan erat kedua keluarga besar Bani Alawi dan Al-Amudi, generasi kedua keluarga besar tersebut tetap menjaga hubungan harmonis yang telah dijalin oleh pendahulu mereka Al-Faqih Al-Muqoddam, hal tersebut tercermin dari silaturrahmi para keturunan Bani Alawi ke Gidun dalam rangka menyebarkan ilmu serta ziarah ke Syeh Said, dan diantara saksi hubungan harmonis antar Bani Alawi dan masayeh Al-Amudi perkataan Syeh Abdurrahman bin Ali bin Abi Bakar :"Syeh Said telah disirami rahmat ditempat Nabi Hud, dan kemudian dijuluki "al-amud" (tiang).
Dan ketika Sayid Jakfar bin Ahmad bin Zen Al-Habsy mengunjungi Gidun dan ziarah makam Syeh Said beliau mengumandangkan sebuah syair, diantara bait sayair tersebut adalah :
فإذا مابدت لك أعلام واد يدع قيدون فأنخ بفناها
زر لعالي العلى سعيد بن عيسى فهناك القلوب تعطى مناها
الإمام الهمام من قد تسامى في ذرى المجد وارتقى لعلاها
فيه مخزون سرنا آل علوي أخبرتنا بذا الثقات شفاها
Dalam akhir kitab ini penulis akan mengakhiri dengan petikan bait syair Syeh Said bin Salim As-Syawwaf tentang Syeh Said Al-Amudi dalam Qosidahnya yang berjudul "Qissotul Asal fi Madhi Ahlillah Azza Wajal".
فأولهم السيد الهول بالحال أيضا وبالقول
ماله مثل في السادات آياته أعظم آيات
سيدي بن عيسى يذكر في البحر أيضا والبر
ذاك العمودي المشهار حتى الفرنج الكفار
الشيخ مولى قيدون للخلق مره يردن
وآل العمودي مره وأهل العلا والفخره
سيدي العمودي بالطول غوث الملا شي لله
له في السما رايات يفرق لها املاك الله
له شأن عالي يشهر مشهور شاهره الله
يعرفه من في الأقطار تخضع له شي لله
بحر الفرات وسيحون فائض على خلق الله
سادة من أهل الشهرة أصلحهم الرب الله
Hal serupa diungkapkan pula oleh Syeh Abdullah Basudan dalam syairnya :
كالعمودي الذي غدا سعده فس الملا بدر
لاحظته عناية اللــ ـه في حالة الصغر
و ترقى إلى العلا لمقام به افتخر
و له حضرة بها نوره ضاء كالقمر
وعليها جلالة تلبس الحال من حضر
Keluarga Al-Amudi dan Penyebarannya
Sejak abad ke-7 Hijriah, keluarga besar Al-Amudi mempunyai posisi social dan kekuasaan yang kuat di Wadi Doan dan sekitarnya, adapun sebab dari semua itu adalah kedudukan dan karismatik Syeh Said yang juga sebagai pendukung juga penopang dalam segala keputusan yang diambil oleh Faqih Muqoddam, dengan karismatik dan posisi sosial Syeh Said inilah tersebarlah manhaj tsawuf serta madrasah alawiyah dan toriqoh Al-Amudiah disemua madrasah, zawiyah serta masjid dengan metodenya yang khas serta medianya yang tidak asing lagi, diantaranya :
1- Sistim halaqoh dalam mempelajari madzhab syafi'I dan membaca kitab-kitab "adz-zauq".
2- Membaca dzikir dan maulid
3- Mujahadah terhadap jiwa dengan melaksanakan perintah-perintah Syara'
4- Membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran dengan tata krama dan akhlak serta sifat tawadlu'.
5- Berprasangka baik dengan semua orang
6- Berlomba-lomba dalam ketaatan dan kebaikan.
Dengan metode dan amalan inilah tersebarlah toriqoh tasawuf kepada seluruh lapisan masyarakat, dari bawah hingga para pembesar, dan dengan metode inipula para masayeh bisa masuk dan diterima ditengah-tengah para kabilah arab sehingga berkat karismatiknya para masayeh terciptalah keamanan para pengembara dari pencopet dan perampok, selain itu pengaruh ini juga mendukung pergerakan pasar serta perkembangan perdagangan dan menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman.
Disamping itu para masayeh juga mengambil janji dari para kabilah dan dari para pembesar di pemerintahan untuk dengan bersama menjaga kemaslahatan umum, seperti menjaga kemanan jalan, menuntaskan pertikaian serta menjaga harta benda. Demikianlah tersebar undang-undang rohani tersebut diseluruk penjuru Yaman, hingga orang yang bepergian tidak merasa takut, begitu juga para juru dakwah berpindah dari satu kota ke kota linnya dengan tanpa ada rasa takut.
Penutup
Ketidak pedulian kita terhadap sejarah kita sendiri dan mengagung-agungkan akan keadaan sekarang serta mengelu-elukan tokoh dan adat-adatnya, menjadikan kita hina dan rendah, dan yang lebih memprihatinkan kita seakan-akan boneka yang menjadi bulan-bulanan dan melakukan bisikan orang-orang yang benci kepada generasi yang baik, kitapun diam saja ketika mata ditaburi debu, sampai debu itupun kahirnya menutupi mata hati kita, dan akhirnya generasi yang tadinya mempunyai perhatian besar terhadap sejarahnya kini berbalik menggugat sejarah tersebut dengan menuduh para pendahulu yang shalih. Padahal kebanyakan dari mereka bahkan tidak tahu untuk kebaikan siapa mereka berbuat hal seperti itu? Dan mereka tidak bisa membedakan antara haq dan batil, entah sampai kapan hal ini terjadi? Sampai kapan kita tahu dalang dibelakang semua ini? Kapankah kita akan memahami kata hikmah yang berbunyi "berbahagialah orang yang mengetahui dirinya sendiri".