Tareqat A Amudiyah
Seiring dengan perkembangan zaman, mungkin pemakaian term “tarekat”
dapat di analogikan dengan kata “madrasah”. Jikalau generasi kita
proses belajarnya dalam setiap jenjang dan struktur pendidikan memakai
metode ilmu psikologi, sosial, ekonomi, filsafat dll, terpengaruh
dengan sistem Dikarto dan Baflofy, Roust, dan Jean Jack Rosou, dan yang
sejalan dengannya, di mana pemikirannya banyak berperan pada
terbentuknya formula sekolah modern, yaitu sekolah yang memberikan
ijazah kepada para alumninya.
Ketika kita membahas permasalahan tasawuf dengan cermat, kita akan
menemukan kenyataan bahwa proses pendidikan modern yang ada saat ini
baik di barat maupun timur lebih terkontaminasi dengan metode di atas
ketimbang proses pendidikan tasawuf sebagaimana tuduhan mereka bahwa
sistem pengajaran tasawuf merupakan pengaruh dari metode barat.
Sebenarnya tuduhan itu tak lain hanyalah hasil rekayasa orentalis. Dari
sinilah, timbul propaganda terhadap tasawuf dan proses sistem
pengajaran non klasikal.
Walaupun
demikian, terkadang kita melihat beberapa oknum yang menisbatkan
dirinya kepada tasawuf tidak konsisten (berlebih-lebihan, atau
mengabaikan) baik dari segi sistem maupun metodenya. Sebagaimana hal
itu juga terjadi dalam proses bermazdhab dan aneka ragam cara pandang
hingga saat ini, tapi kita tidak bisa mengklaim penyimpangan yang
dilakukan segelintir penganutnya tersebut merupakan bias dari sistem
dan metode yang ada dalam ajaran tasawuf.
Sebagai contoh,
pendidikan yang ditempuh oleh orang-orang yang bermazdhab Hambali,
tidak sedikit dari pengikutnya yang menyimpang baik dari segi
pemikiran, hukum, maupun keyakinan, namun dengan kenyataan itu, para
ulama tidak menisbatkannya kepada mazdhab Hambali dan penganutnya
secara keseluruhan. Melainkan mengkhususkan penyimpangan tersebut hanya
kepada yang bersangkutan. Inilah konsep dalam Islam, yang telah
diimplementasikan para sahabat dalam menyikapi perbedaan corak pandang,
keyakinan, maupun politik pada masa-masa awal Islam. Jadi, pendidikan
tasawuf adalah corak pendidikan yang mempraktekkan ajaran Islam dalam
segala aspeknya. Yang salah satu tujuan urgennya adalah pembinaan
akhlak dan keistiqamahan hati pada kemurnian ajaran Nabi Muhammad SAW.
Adapun mengenai keterkaitannya dengan syariat Islam bersinergi dengan
aneka macam corak pandang madzhab Islam yang ada. Yang terpenting
dalam pembahasan ini adalah seputar pendidikan tasawuf yang ada di
Hadramaut.
Sebelum abad ketujuh Hijriyah di Hadramaut tidak
terdapat ajaran tasawuf. Di lain tempat sekitar Yaman berkembang
tarekat Qadiriyah. Seiring dengan perkembangan tarekat Qadiriyah, sejak
abad ke tujuh Hijriyah muncul pula di Hadramaut tarekat Syuaibiyah.
Setelah itu bermunculan tarekat-tarekat lain, dan pengajaran tasawuf
terus berkembang. Kala itu, pengajaran ini menjadi pavorit dalam
mewakili corak pendidikan pemikiran yang mampu mengimbangi tantangan
zaman saat itu. Dari situlah, kita menemukan sosok mujtahid dalam
bidang Usul dan Hadist semisal al Faqih al Muqaddam banting setir dari
posisinya -sebagai Mujtahid Usul- kepada tasawuf yang tidak menyukai
kemasyhuran. Beliau beserta generasi penerus dari ahlulbait , pengikut
yang menyintainya, dan para ahli agama rela menempuh jalan kefakiran
dan menghiasi dirinya dengan perilaku kaum sufi. Pedoman ini merupakan
keharusan dalam ekosistem masyarakat, serta relevan dengan perkembangan
zaman saat itu. Maka dari itu, ketika hal ini menjadi sebuah keharusan
dan merupakan kebutuhan primer dalam hidup, tidak ada jalan lain
kecuali menempuhnya. Dalam hal ini Syekh Said bin Isa al Amudy antusias
dalam menjalaninya dengan senantiasa berada di bawah naungan bendera
Mujtahid Usul –al Faqih al Muqaddam- yang memiliki satu misi dan
berasal dari satu sumber. Adapun penamaan “Tarekat al Amudy” oleh
sejarawan maksudnya adalah rentetan pengambilan sanad yang bersambung
dengan seorang Syekh yang mana seorang murid setelah itu mengembalikan
sanadnya kepadanya…dilanjutkan pengambilan baiat dan tahkim (pengokohan
seorang Syekh) untuk generasi setelahnya. Dari itulah, al Imam al
Allamah al Wajih Abdurrahman bin Abdullah bal Faqih dalam kitabnya
“Raf`u al Sitar” berkata : “Sesungguhnya tarekat al Amudiyah salah satu
dari tarekat yang masyhur dan diridoi, terdiri dari sekitar 23 tarekat,
seluruhnya kembali kepada satu tarekat, yaitu tarekat Syekh Syuaib Abu
Madyan.
Syekh Abu Madyan Syuaib
Syekh Abdurrahman al Maqad
Syekh Abdullah al Shaleh al Maghriby
Al Faqih al Muqaddam Syekh Said al Amudy Syekh Ba Amran
Cabang Tarekat al Amudiyah melalui Tarekat keturunan Syekh al Amudy dan murid-murid setelahnya.
Syekh Said dan Murid-muridnya
Beberapa
kewajiban seorang Syekh yang shaleh, al Murabby (mampu membimbing pada
kebenaran hakiki) al Nasih (mampu menunjuki kejalan yang benar) adalah
kemampuannya mencetak sosok pengikut yang dapat mengambil mutiara ilmu,
amal dan kemurnian pekertinya, mampu mengimplementasikan esensi yang
terdapat pada sosok Syekh dari tindakan kesehariaan, ketaatan dan
ketekunan mujahadah, serta kebenaran tawajuhnya kepada Allah SWT.
Syekh Said adalah salah satu figur seorang Syekh pembimbing yang
sulit dicari tandingannya saat itu, khususnya setelah hidup dalam
masa yang lama, berikut keintimannya dengan Syekh Abdullah al Shaleh al
Maghriby, dan mampu mencetak seorang pembimbing rohani dan jiwa. Beliau
pernah mengutarakan akan keadaan dirinya sebagai berikut : “Dari hasil
bimbinganku aku telah menjadikan seorang Muqaddam sebanyak 17 Syekh. Di
antara mereka ada yang mendapatkannya secara rahasia, sebagian lagi ada
yang memperolehnya secara terang-terangnan”. Maksud dari
“takdim”(pengedepanan) di sini adalah formula untuk dapat menjadi
panutan dalam sebuah pengajaran dan suri tauladan yang baik.
Murid-murid yang mengambil tarekat dari Syekh Said al Amudy
menyebarkannya ke berbagai pelosok negeri. Di antara mereka yang
tersohor akan kealiman dan kesalehannya antara lain :
1. Syekh
Muhammad bin Muhammad Ba Abbad al Dauany, beliau adalah salah seorang
murid kesayangan Syekh Said, mengambil pengetahuan dari SyekhSaid
secara sempurna hingga tuntas, sekaligus mendapat izin atas
kemampuannya untuk tampil sebagai Syekh. Konon, masalah ini menjadi
sangat mengganjal perasaan salah seorang murid Syekh Said, beliau
merasakan gejala tersebut, dan berkata kepada murid-muridnya :
“Janganlah kalian berprasangka yang tidak baik kepadaku, sesungguhnya
Syekh Muhammad Ba Abbad adalah Buzzal Kuhhal dan kalian qu`dan yang
belum mampu membawa bebannya”. Syekh Ba Abbad mempersunting salah
seorang putri dari keluarga al Amudy, dan mempunyai beberapa orang anak
antara lain: Al Ghazali, Ummu Mahmud, Umu Abil Qasim, dan Umu Ruqayyah,
sebagaimana disebutkan dalam kitab “Uns al Salilkin” di sela-sela
keterangannya tentang karamah Syekh Said al Amudy, Syekh Ba Abbad hidup
di desa “Radum” daaerah “al Wahidy” dan wafat di sana, kuburannya tidak
asing lagi di mata masyarakat, keturunan beliau masih tersisa hingga
saat ini dengan sebutan “Keluarga Ba Abbad”.
2. Syekh Muhammad bin Salim Ba Wazir.
3. Syekh Najih bin Amta`
4. Syekh Ba Umar dari daerah Urah
5. Syekh Ba Yazid dari daerah al Khamilah
6. Syekh Ba Balil
7. Syekh Ba Asyan dari Ribat yang terkenal di lembah Dauan.
8. Syekh Ba Haj dari daerah Rimah Lembah Amaqien
9. Syekh Sulaiman Ba Mani` dari Huraibah
10. Syekh Hasan Bal Khoir dari Hajr
11. Syekh Ali dan Syekh Aflah
12. Para Syekh dari keluarga Ba Hamisy.
Di antara mereka yang belajar kepada Syekh Said adalah kedua putranya
Syekh Jamaluddin Muhammad bin Said dan Ali bin Said, dari keduanya
silsilah tarekat ini berlanjut kepada anak cucu dan kerabatnya, seperti
Maula Sya`b Khodm Syekh Umar bin Muhammad, Syekh Ustman bin Umar bin
Muhammad, Syekh Muhammad bin Ustman, Syekh Abdullah bin Muhammad bin
Ustman dari Dzimar, Syekh Ustman bin Abdullah, Syekh Ahmad bin Muhammad
yang bergelar dengan “al Qadim”, Syekh Ustman bin Ahmad, Syekh Umar bin
Ahmad yang bergelar “ al Tayyar”, Syekh Abdullah bin Umar Shahib al
I`rd, Syekh Umar bin Ahmad Abdullah, Syekh Abdurrahman bin Umar,
biografinya terdapat dalam kitab “an Nur as Safir”, Syekh Ustman bin
Muhammad yang disebutkan dalam kitab “Tarikh Ba Makhramah”, Syekh Ahmad
Abdurrahman yang pernah belajar kepada Bin Hajr al Haitami dan al
Romli, Syekh Umar bin Abdulkadir yang pernah belajar kepada Imam
Haddad, Syekh Abdullah bin Ustman dari Daufah, Syekh Ustman bin Said
yang di kuburkan di Ribat Ba Asyan, Syekh Ustman bin Abdulkadir dari
“Lembah Yabast” Syekh Muhammad bin Abdullah yang di makamkan di daerah
Qaidun, Syekh Ustman bin Ahmad yang dikenal dengan sebutan Ahmad al
Shagir untuk membedakan antara dia dengan kakeknya Muhammad bin Ustman
bin Ahmad al Qadim, beliau – Syekh Ustman- adalah orang yang pertama
kali memindahkan “zawiyah al Amudy” dari Qaidun ke Budhah. Tatkala
berada di Qaidun, Zawiyah tersebut dikelola oleh Syekh Umar bin Ahmad,
kemudian karena beberapa hal beliau melepas tanggung jawabnya dan
selanjutnya menyerahkan tanggung jawab kepada saudaranya Ustman.
Figur dan Akhlaq Mulia Syekh Said
Beliau berperawakan tinggi besar, berkulit sawo mateng, jenggotnya
lebat, terbersit darinya cahaya dzikir dan ibadah, tidak sombong dan
congkak, senantiasa rendah hati dan menghiasi kehidupannya dengan
ibadah dan kefakiran, menaiki kendaraan tanpa alas, memakai pakaian
seadanya dengan tidak berlebih-lebihan dan pamer, sosok yang dermawan,
menafkahkan apa yang dirizkikan Allah SWT kepadanya kepada yang berhak,
memberi makanan fakir miskin, menghormati tamunya, begitu pula tidak
sungkan-sungkan memberikan apa yang Allah SWT limpahkan dari rahasia
ilmu kepada murid-muridnya, tidak kikir dan tidak berlebihan-lebihan
dalam menginfakkannya, beliau juga banyak melakukan mujahadah dalam
menempuh jalan Allah SWT, banyak berdzikir, sering merenung, cepat
terpengaruh dengan bacaan al Quran, sering mengunjungi para sholihin
dan wali-wali Allah SWT. Memenuhi hak-hak keluarga, kerabat, dan
tetangganya.
Dari dirinya tercipta kebajikan, baik yang sifatnya umum ataupun khusus
dan sangat bernilai, sentuhan tangannya yang barokah menyembuhkan
penyakit orang-orang sakit, lewat doanya Allah SWT melepaskan segala
kesedihan yang menimpa, demikian pula sering tampak pada dirinya
karamah dan hal di luar nalar, yang menandakan maqam Syekh Said dan
kemulyaannya, dan kebenaran penyerahannya kepada yang Maha mengabulkan
segala doa yang tertimpa lara dan yang Maha menghilangkan segala
keburukan. Tidak sedikit dari para pengarang kitab yang menulis tentang
karamah yang tampak dari diri Syekh Said, dan kami sengaja
melewatkannya karena hal tersebut tidak lain hanyalah buah dari amal
perbuatannya dan hubungan yang hakiki antara seorang hamba dan
tuhannya. Pembahasan kita saat ini berkisar seputar amal perbuatan itu
sendiri, yang mana Allah SWT telah menganugerahkan kepadanya melalui
sosok dan maqamnya, dan itu merupakan inti dari persaingan dalam
mencapainya, serta upaya dalam mendapatkanya, demikian juga sebab
diterimanya amalan di sisi Allah SWT. Adapun atmosfir generasi kita
saat ini yang telah terkena virus penginkaran terhadap segala apa yang
bertentangan dengan akal, penyebabnya adalah banyaknya pengaruh racun
(kemodernan) yang memasuki dirinya. Akal pada dasarnya sebuah elemen
yang kemampuan dan daya tampungnya terbatas, tidak dapat dijadikan
sebuah ukuran dalam menilai sesuatu dalam dimensi agama maupun
kehidupan di dunia ini. Akan tetapi fungsi dari komponen akal ini dalam
pandangan Islam – yang merupakan tujuan penciptaannya- agar digunakan
sesuai dengan fungsi dan objek kegunaannya yang bersinergi dengan
hal-hal konkrit, pemahaman objek tertentu, menganalisis serta
memanfaatkan daya pikir untuk menyingkap apa yang ada di balik alam dan
isinya. Adapun menjadikan akal sebagai tolak ukur dalam menghukumi
sesuatu yang abstrak adalah sebuah kemustahilan, hal itu telah
menyalahi tujuan penciptaannya.
Yang perlu diketahui oleh generasi saat ini, bahwa karamah adalah kesan
lahiriah (akibat amal perbuatan) yang terjadi atas izin Allah SWT pada
hambanya yang shaleh, sedangkan sihir dan semacamnya juga merupakan
kesan lahiriah terjadi atas izin Allah SWT yang tampak dari hambanya
yang mustadraj (keadaan yang bersifat sementara). Adapun mukjizat
adalah kesan lahiriah terjadi atas izin Allah SWT yang di tampakkan
kepada para Nabi dan para Utusan yang mulya. Jadi, dalam setiap
tingkatan terdapat pengertian dan dalilnya. Siapapun yang menisbatkan
kesan (pengaruh) ini kepada yang bukan ahlinya, hal itu berarti telah
menyelahi tujuan penciptaannya atas seorang hamba. Dan telah
menjadikan akal dan hawa nafsunya tolak ukur dalam menyikapi apa yang
bersumber dari Allah SWT dan Rasulnya. Maka berhati-hatilah mereka yang
menentang perintah-Nya akan tertimpa fitnah atau adzab yang pedih.
Syekh Said dan Ilmu Agama
Para ulama mengklasifikasikan ilmu pengetahuan kepada dua bagian :
pertama Ilmu Kasby dan kedua Ilmu Wahby. Ilmu Kasby adalah sesuatu yang
diperoleh oleh seseorang dengan usaha keras saat mencarinya, senantiasa
duduk bersama ulama dan Syekh, membaca dan menganalisis serta melakukan
percobaan dalam hidupnya.
Adapun Ilmu Wahby adalah semua yang diberikan Allah SWT kepada hambanya
melalui bawah sadarnya saat mencari ilmu, atau tatkala menempuh
perjalan menuju tuhannya dengan ketaatan dan perbuatan yang shaleh, di
mana pada setiap ketaatan terdapat hasil buahnya. Dan di setiap hasil
buah itu terdapat dzauq (rasa), kebanyakan perusak buah ketaatan adalah
perbuatan maksiat, apabila buah itu rusak, maka rusak pulalah dzauq
(rasa), dan tinggallah ketaatan bagaikan pohon yang tanpa buah. Setiap
orang yang taat kepada Allah SWT, akan mendapatkan buah dari
ketaatannya. Melimpahkan kepada mereka beraneka ragam dzauq, di mana
dari dzauq tersebut muncullah sebuah maqam keimanan tertentu. Mengenai
hal ini dikatakan : “Kemanisan iman aka terasa oleh mereka yang rela
bahwa Allah SWT adalah tuhannya, Islam adalah agamanya, Nabi Muhammad
Saw. adalah Nabi dan Rasul” barang siapa yang merasakan manisnya iman
maka Allah akan menampakkan bias pada perkataannya yang senantiasa di
hiasi mutiara hikmah dan ilmu. Allah SWT berfirman : "Maka bertakwalah kepada Allah niscaya Allah akan mengajarimu”. Inilah letak pembahasan kita mengenai biografi Syekh Said –semoga Allah merahmatinya .
Sosok Syekh Said bin Isa al Amudy, sebagaimana digambarkan dalam
beberapa buku adalah seorang yang Ummi tidak dapat membaca dan menulis,
ummiyah adalah cela bagi seseorang. Kecuali atas Rasulullah Saw. Yang
memilki pengertian khusus. Namun ketika kita mencermati ummiyah yang
ada pada diri Syekh Said, dapat kita temui bahwa keummiyannya tidaklah
seperti yang dibayangkan orang, mereka yang memaknai ummiyah dengan
kebodohan sering melebih-lebihkan hal itu. Syekh Said menghabiskan
umurnya pada kegiatan belajar dan ilmu. Daerah Qaidun dan sekitarnya
merupakan daerah yang dipenuhi dengan ulama dan ilmu pengetahuan. Hanya
saja Syekh Said tidak seperti para pencari ilmu, melainkan mencukupkan
dirinya hanya dengan menyimak dan duduk bersama Syekh. Dan itu
merupakan salah satu metode dalam mencari ilmu. Konon di Hadramaut tak
jarang yang hafal quran tanpa disadari saking banyaknya menyimak dan
menghadiri halaqah alquran. Hal ini bukan mustahil, apalagi para ulama
setiap siang dan malam tidak henti-hentinya memberikan pelajaran
berkenenaan dengan amal ketaatan dan ibadah, tanpa melakukan riset
ataupun berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Maka sosok
Syekh al Amudy di kategeriakan ummi dari sudut pandang jenjang yang
semestinya di tempuh oleh seorang pencari ilmu kepada para ulama ketika
itu, adapun dari sisi kepasitas keilmuan beliau adalah seorang yang
mumpuni. Akan tetapi beliau tidak suka menampakan diri, uzlah,
menjauhkan diri dari dunia pemikiran yang ada. Dalam keadaan seperti
ini beliau belajar, menimba pengetahuan dan cahaya pengetahuannya terus
bersinar terang. Cahaya ini semakin berkilau tatkala beliau menekuni
ilmu tasawuf, menjadi panutan, Syekh, dan sosok pembimbing, dari
lisannya terucap mutiara dzauq dan hikmah dan membimbing anak didiknya
kepada ilmu dan pengamalan, simaklah ucapannya berikut ini : “Tidak
seorangpun dari para Syekh mendapat keutamaan apabila menginginkan
pujian dari apa yang diperbuat untuk muridnya, sebab anak didik
bagaikan anaknya, dan pujian tidak dapat diberikan kepada siapa yang
berbuat untuk orang lain yang bukan kerabatnya.” Beliau juga berkata :
“Janganlah sekali-kali kalian bersahabat dengan orang yang pesimis
walaupun memberikan tumpangannya.”
Dalam bidang ilmu Hadis mengenai barokah dalam ilmu dan pengamalannya
beliau berkata : “Buahnya banyak namun panennya sedikit” ketika beliau
ditanya tentang syarat seorang Syekh Pembimbing (murabby) jawabnya:
“Seorang Murabby hendaknya terus mengaktifkan pikirannya,
mencemerlangkan dzikirnya, tidak banyak berdebat, terus membenahi
dirinya, lemah lembut, banyak ilmunya, dadanya sangat lapang, rendah
hati, tertawanya adalah senyuman, dan pertannyaannya adalah
pembelajaran, pengingat bagi yang lalai, pengajar orang bodoh,
penentram orang asing, penolong setiap muslim dalam setiap kesukaran,
bapak bagi orang yatim, pengayom orang-orang lemah dan fakir miskin,
kesedihannya terselubung dalam hatinya, bergembira dengan tuhannya,
merasa enggan dengan pecinta dunia, tidak kikir dan tidak tergesa-gesa
(dalam menginfakkannya), tidak tertawa dengan kemenangan yang
diperolehnya, tidak marah kepada orang yang menyakitinya, melainkan
memaafkannya, tidak menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang tidak
berguna, apabila di cela ia tidak membalasnya, kalau diminta ia
memberi, ketika keinginannya tak terpenuhi ia tidak marah, lebih lunak
dari busa, lebih manis dari madu, dekat dengan kebaikan dan ahlinya,
jauh dari kejahatan dan ahlinya, kemarahannya didasari dengan keadilan.
Beliau juga berkata : “Bukanlah seorang Syekh apabila ia belum
menguasai usuluddin (pokok agama) dan cabangnya. Pokok dalam agama ada
tujuh sedangkan cabangnya sebanyak tujuh puluh”
Ketika Syekh Ahmad bin Abu al Ju`di bertanya tentang tarekat kaum sufi
beliau menjawab : “Tarekat kaum sufi adalah tarekat para penempuh
kebenaran, dan tarekat para mujtahid, adapun tarekat para penempuh
kebenaran adalah meninggalkan makhluk, dan memutuskan segala hubungan,
dan bersungguh-sungguh dalam berkhidmah kepada penguasa makhluk. Adapun
tarekat para mujtahid adalah puasa dan bangun malam serta meninggalkan
segala bentuk dosa.
Beliau juga menjawab pertanyaan lain dari Ibn Abu al Ju`di ketika
ditanya tentang ciri-ciri seorang fakir yang sabar :”Memakai baju
perang dari segala cobaan, menyandang pedang untuk kemulyaan, dan
serempang (rida’) dari kekhusuan, celana untuk keiffahan, dan selimut
kemaluan, jubah pengawasan (muraqabah), tongkat ketawakalan, dan
lentera untuk mengedepankan yang lain, sandal kesabaran, siwak
kekanaahan (cukup dengan yang ada), dan hendaknya mempunyai tempat
(zawiyah) untuk ilmu pengetahuan, meneguk minuman makrifat, apabila ia
telah berdiri di depan pintu makrifah dan berada di pintu yang maha
suci berarti ia berada pada tahap akhir, apabila ia berada dalam
tahapan ini maka akan dianugerahkan kepadanya sifat-sifat luar biasa
dan darinya mendapat pengetahuan tertentu, apabila ia mengetahui
dengannya hal tertentu, maka ia akan lebih lembut dari air, lebih
tinggi dari langit, di sekelilingnya akan subur dan himmahnya
(cita-cita mulyanya) lebih tajam dari pedang, tutur katanya jauh dari
kebohongan, perumpaannya bagaikan lautan di mana orang-orang mandi di
dalamnya, ikannya disantap orang, yang memasukinya akan menemui sebuah
ketenangan dari capeknya kejauhan jarak yang ditempuh, menghilangkan
ketakutan, ketika berucap ia jujur, kalau dikatakan kepadanya ia
membenarkannya, hak yang berkenaan dengan dirinya diterapkan, dan yang
berkenaan dengan orang lain di abaikannya (tidak menuntut balas),
menerima dan merasa cukup terhadap apapun yang Allah SWT rizkikan
kepadanya, tidak mendzalimi siapapun dari makhluk Allah, apabila ada
yang mendzaliminya ia bersabar dan memaafkan, merekalah orang-orang
yang mendapat petunjuk dari Allah SWT dan merekalah orang-orang yang
beruntung.
Peninggalan Syekh Said Al Amudy
Syekh Said bin Isa al Amudy mewariskan banyak peninggalan ilmiah
yang nyata di mayoritas daerah di Hadramaut dan beberapa daerah di
Yaman, Afrika bagian timur, Indonesia dan lainnya, seperti halnya
peninggalan para Sadah Bani Alawi, karena metode yang di terapkan oleh
al Faqih al Muqaddam dan Syekh Said al Amudy berada dalam satu misi dan
tujuan yang sama. Maka dari itu pengaruh keduanya terjadi dalam satu
masa dan anak didik dan pengikutnya tersebar di setiap penjuru, setiap
kharisma dari keluarga Bani Alawi tampak kepermukaan maka akan
ditemukan pula pengaruh dari Syekh keluarga dari al Amudy. Terkadang
kiprah dari masyayekh keluarga al Amudy meningkat di beberapa daerah
dan secara independen menyebarkan dakwah dan ilmu, memperbaiki hubungan
antara satu sama lain. Sebagai contoh kita menemukan bahwa pengaruh
keluarga al Amudy di lembah Dauan sejak era Syekh Said sampai ke masa
anak keturunannya cukup kuat. Bahkan dalam beberapa fase dapat membina
sebuah kekuasaan dalam bidang agama maupun keduniaan. Begitu pula di
lembah Hajr dan sekitarnya, pengaruh Syekh Said begitu besar, khususnya
pembangunan masjid-masjid. Tidak ada masjid kecuali dinisbatkan kepada
keluarga al Amudy dan anak cucunya. Di daerah itu juga Syekh Said
meninggalkan tradisi bersedekah yang telah menjadi adat-istiadat sejak
abad dahulu, yaitu ketika para warga daerah itu mengadu kepada beliau
tentang kerusakan yang menimpa tanaman kurma dan buahnya, beliau berdoa
agar dijaga oleh Allah SWT, dan menyuruh penduduk di situ untuk
menyedekahkan kurmanya kepada para fakir miskin. Tradisi ini masih
dilestarikan hingga menjelang zaman perubahan di era kebangkitan di
Yaman.
Di daerah al Awaliq al Sufla Syekh Said al Amudy banyak
meninggalkan peninggalan, di situ terdapat sejumlah masjid, seperti
masjid al Masani, masjid Lakh dan masjid Syekh Said Ba Ahwar, semuanya
dinisbatkan kepada Syekh Said ketika beliau mengunjungi daerah Ahwar
pada abad ketujuh Hijriah. Menurut riwayat, salah seorang keturunan
Syekh Said berkunjung ke Ahwar dan melihat penghuninya ditimpa
penyakit cacar sehingga membinasakan banyak orang, beliau menyuruh
mengumpulkan seluruh penduduk untuk keluar mengelilingi daerah itu
sambil berkata : “Syai` lillah2x syuwailillah ya al Amudy” kemudian
mengajak untuk saling bersedekah antara satu dengan lainnya, yang mana
hal itu akhirnya menjadi adat yang dilaksanakan pada nisf sya`ban,
menjadi ikon daerah itu, yang pada saat kemudian terkontaminasi oleh
hal yang tercela yakni bercampur aduknya laki-laki dan perempuan di
rumah-rumah dan jalanan. Dari itulah, maka Sayid Ali bin Abu Bakar al
Masyhur (abahku) tatkala mengunjungi Ahwar tahun 1362 sangat menginkari
peristiwa tersebut. Kemudian meminta dari Sultan Idrus bin Ali al
Ulaiqi untuk menghentikannya, dengan sigap pelarangan itu segera
diterapkan setahun atau setahun kemudian, akan tetapi penyakit yang
membinasakan itu kembali lagi menimpa daerah itu, kemudian abahku
membolehkan lagi pelaksanaan tradisi itu dengan syarat terbatas pada
anak-anak kecil saja, adat ini berlanjut hingga kini dan dikenal dengan
“al Syuwailillah”.
Salah satu bentuk peninggalan Syekh Said bin Isa al Amudy di daerah
al Awaliq adalah banyaknya keturunannya tersebar di situ hingga kini,
menempati bagian pantai di Ahwar, seperti Bandar, al Masani, Hanad,
Ahwar dan lainnya. Mereka memiliki adat, maqamat (kedudukan) dan
prosesi keagamaan yang menyerupai tradisi di Qaidun, Budhoh, dan daerah
lainnya di Hadramaut, namun hal itu kini punah bersamaan kepergiaan
para tokoh dan masyayekh di daerah itu penyebabnya adalah arus zaman
dan pendidikan yang mempengaruhi generasi mudanya. Dari keluarga al
Amudy juga ada yang berprofesi di bidang bisnis. Tidak sedikit dari
mereka yang pergi ke Hijaz, Indonesia, Afrika, India, dan lainnya,
mereka berprofesi sebagai pedagang, orang-orang kaya yang turut
memberikan kontribusi dalam perkembangan ekonomi dan perdagangan di
daerah tersebut. Dari mereka ada yang memanifestasikan penghasilannya
untuk pembangunan daerahnya dan pembangunan masjid datuknya Syekh Said
bin Isa al Amudy.
Hingga kini banyak manuskrip dan koleksi buku yang ditinggalkan
mereka berada di rumah kuno keluarga al Amudy di Dauan. Dengan mata
kepala sendiri saya menyaksikan banyak dari perpustakaannya baik di
Dauan Aysar maupun Ayman tertutup semenjak sepuluh tahun terakhir. Yang
paling dikhawatirkan punahnya literatur ini, baik disebabkan oleh
perubahan anak keturunan atau melalui faktor perbedaan cara
berpikirnya, sehingga sampai pada tindakan membakar atau menghilangkan
warisan itu, sebagaimana terjadi pada sebagian oknum saat ini, la haula
wala quwwata illa billah.
Bersambung