Sejak awal babak dimulainya kehidupan, manusia selalu mengorientasikan
setiap hal yang mereka lakukan dan setiap sesuatu yang berada di
sekeliling mereka pada dua neraca penilaian yang dari awal babak
kehidupan hingga sekarang tak pernah berubah, yaitu baik dan buruk.
Dua term ini telah disepakati fungsinya oleh seluruh peradaban bangsa, dimanapun dan kapanpun peradaban tersebut tumbuh dan berkembang, serta telah melewati proses uji kelayakan dalam ranah ilmu pengetahuan, dan peradaban setiap bangsa itu sendiri.
Namun, meski telah terbukti mampu bertahan sebagai neraca tunggal yang mampu melewati perhelatan waktu dan tradisi, ternyata sampai sejauh ini, masih terdapat beberapa pemahaman yang kontra produktif terhadap dua term tersebut, sehingga kemudian berkonsekuensi pada kaburnya substansi term itu sendiri. Sering kali, jika kita menilisik cara para filosof terdahulu dalam menginterpretasi dua term ini, kita akan menemukan beberapa pendapat yang berbeda. Friedrich Nietzsche, misalnya, dalam Beyond good and evil, karya yang oleh seorang filosof berkebangsaan Jerman itu disebut sebagai Untimely Meditation ini memuat sekian aforisme tentang apa yang oleh banyak orang disebut dengan baik dan buruk. Simaklah salah satu aforisme dalam bukunya : "Hal-hal yang dilakukan karena cinta selalu terjadi diluar kebaikan dan keburukan". Fantastis, sebuah aforisme yang memberhalakan perasaan dan mengesampingkan fitrah kemanusian. Demikian gentayangan ( !!?? )
Selain pengarang buku fenomenal Thus Spake Zarathustra yang filsafatnya banyak dianut oleh Adolf Hitler tersebut, banyak sekali kita jumpai dalam perjalanan sejarah bangsa-bangsa besar, beberapa nilai lain yang gentayangan dan merupakan hasil interpretasi dari kedua term di atas. Di Persia, misalnya, Zoroaster mengembangkan sebuah filsafat yang menganggap baik pernikahan dengan ibu, anak, atau saudara perempun sendiri, sehingga Yazdajerd, raja Persia yang berkuasa pada paruh abad ke lima masehi mengawini anak kandungnya sendiri. Atau Mazdakia, seorang filosof Persia lain yang membebaskan pergaulan dengan wanita, dan menjadikan manusia sejenis benda yang bisa dikongsi.
Selain Persia, ada beberapa bangsa lain yang dengan ekstrim melembagakan term baik dan buruk dalam kepentingan pribadi. Filsafat pemikiran seperti ini adalah madzhab Abecor, filosof Yunani yang hidup pada sekitar tahun 230 S.M yang kemudian di kembangkan oleh Hobez. Interpretasi semacam ini belakangan oleh para filosof kontemporer seperti Erich Fromm dalam The Art of loving disebut dengan istilah Narsisme. Ada juga yang menganggap bahwa baik dan buruk merupakan sesuatu yang berorientasi pada manfaat umum. Madzhab ini awal kali dicetuskan oleh Stewart Meyl dan Bentam. Sepintas lalu, filsafat ini seperti mengedepankan kemajemukan dan kepentingan bersama dalam masyarakat, hanya saja pada titik tertentu, madzhab ini justru lebih arogan dari sekian pemikiran yang lain. Hal tersebut tidak lain karena untuk mensosialisasikan ide dan gagasannya, madzhab ini mengharuskan genosida terhadap komunitas tertentu dari masyarakat. Ekstrimnya idealisme dari madzhab inilah yang kemudian menimbulkan penolakan secara massif dari para filosof yang lain, sehingga kemudian madzhab ini dinilai hanya merupakan teori kosong dan mimpi masa kanak-kanak.
Sekian banyak filsafat dan interpretasi yang muncul dari ragamnya pemikiran dan madzhab yang saling berbenturan, sebenarnya bukan disebabkan karena ketidak-mengertian mereka tentang subtansi dari dua term tersebut, melainkan karena mereka beranggapan salah dengan mencoba menafsirkan term tersebut menggunakan sekian banyak pengetahuan pendukung yang mereka miliki sebagai hasil interaksi mereka terhadap nilai yang berkembang di masyarakat tertentu. Mereka terlalu jauh mencari esensi nilai yang terkandung dalam dua term tersebut, sementara secara subtansial, kedua term tersebut hampa makna.
Untuk memperjelas teori ini, simaklah premis ini : Baik dan buruk adalah sebuah cermin kosong yang hanya dapat membiaskan bayangan sesuatu yang berada di depannya. Dari premis ini, kita bisa menarik benang merah bahwa para filosof dalam menilai baik dan buruk hanya berdasarkan bias yang memantul dari apa yang ada di depannya tanpa mereka ketahui bahwa sebenarnya nilai baik dan buruk justru disebabkan oleh kecenderungan dan karakter yang memantul pada kedua istilah tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa karakter seorang penialai sangat berpengaruh terhadap hasil penilaian itu sendiri. Sederhananya, baik dan buruk adalah term yang subyektif. Jadi, apa yang selama ini diduga banyak orang bahwa term baik dan buruk memiliki subtansi makna adalah hal yang salah, karena term baik dan buruk di tentukan oleh karakter, korelasi obyek, dan budaya masyarakat tertentu.
Syariat islam, seperti yang telah kita maklumi bersama, merupakan sistem yang menjamin terwujudnya kemaslahatan manusia, baik sebagai individu atau sebagai bagian dari komunitas sosial. Para intelektual islam, dalam merumuskan dasar yang di jadikan pijakan Syariat telah melakukan dealektika tentang dua term ini. Sehingga kemudian paa jurism, setelah sekian lama melakukan studi mendalam menyimpulkan, bahwa baik dan buruk adalah istilah nisbi. Menurut para intelektual islam, secara esensial, setiap sesuatu tidak memiliki nilai, namun korelasinya dengan obyek lain dan bentuk konstruk sesuatu itulah yang menentukan nilai baik dan buruk. Maka ketika korelasi sesuatu terhadap obyek lain terputus, atau bentuk konstruknya hilang, sesuatu akan kembli pada esensi awalnya, tanpa makna.
Kita tidak dapat menilai bahwa jujur merupakan sifat baik dan berusaha memiliki sifat tersebut kecuali karena jujur merupakan sikap yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan bermasyarakat, sehingga tanpa kejujuran kita akan terisolasi dari komunitas kita. Atau sekian banyak pengunjuk rasa, misalnya, tidak akan menuntut keadilan di depan gedung dewan, kecuali karena keadilan yang mereka tuntut dan perjuangkan itu adalah kebutuhan yang harus di penuhi demi berlangsungnya kehidupan bermasyarakat. Jadi, korelasi sifat jujur dengan kebutuhan hidup bermasyarakat dan keniscayaan sifat adil dalam bermasyarakatlah yang sebenarnya menyematkan adil dan jujur sebagai hal baik.
Salah satu intelektual islam yang mencurahkan perhatian untuk menelaah hal ini adalah Imam al-Ghazali. Sebagai filosof islam terkemuka yang pemikirannya banyak diadopsi oleh para filosof barat, beliau banyak melakukan kajian untuk menguak hal ini sampai pada ahirnya menemukan pengetahuan tentang undang-undang jiwa, sebuah prestasi ilmiyah yang seringkali dihubungkan dengan Baflouv, seorang ahli fisiologi dari Rusia ( 1849-1936 ), dan banyak orang yang menganggap dialah yang pertama kali menguak tabir itu.
Jiwa manusia, menurut Al-Ghazali, memiliki kecendrungan alami untuk larut dalam angan-angan. Angan-angan sendiri, lanjutnya, memberikan gambaran sifat yang bukan sesungguhnya. Ketika jiwa berangan-angan tentang sesuatu, maka anggota tubuh dan kekuatan lantas membantunya dan mendorongnya menuju sesuatu yang diinginkan, sehingga ketika seseorang berangan-angan tentang rasa makanan yang lezat, misalnya, maka mengalirlah air dalam mulutnya dan bangkitlah kekuatan perangsang yang mempermainkan bagian dalam perutnya.
Demikianlah teori Al-Ghazali dan para jurism islam lain dalam menguak term baik dan buruk. Bahwa keduanya adalah sesuatu yang nisbi, karena pada dasarnya, makna term ini muncul dalam diri manusia setelah sebelumnya mengalamai proses perbandingan dengan kecenderungan karakter manusia itu sendiri atau dengan kesesuaian pada konstruk masyarakat di mana ia berada. Kecenderungan karakter dan nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu inilah, yang sebenarnya memunculkan nilai baik dan buruk dalam diri manusia. Bahkan sekalipun dua kecenderungan ini sudah tidak ada, misalnya, nilai baik dan buruk ini tetap mendikotomi pemikiranyya, karena pada dasarnya nilai tersebut telah terlanjur mengkristal dalam jiwanya dan menjadi pijakan baginya.
Setelah kita mengetahui bahwa nilai baik dan buruk sebenarnya lurus sejajar dengan kecenderungan karakter manusia dan nilai yang dianut oleh komunitas tertentu, maka mengemukalah premis baru : Lantas kenapa kita harus mengikuti nilai baik dalam Syari’at, dan menjauhi nilai buruk enurut syari’at jika ternyata baik dan buruk hanya istilah yang nisbi ?? Dan dasar apakah yang sebenarnya dibuat pijakan jurisprudensi Islam dalam menentukan halal, haram, fardlu, mandub, dan makruh ??
Untuk menjawab pertanyaan ini, lebih dulu kita haarus menngetahui bahwa nilai baik yang dibuat acuan dalam syari’at islam bukan sekedar berpijak pada esensi sesuatu yang berlaku, melainkan merupakan sistem yang merespon dua hal :
1. Kecenderungan terhadap otentitas fitrah manusia.
2. Interaksi manusia sebagai imbas dari adanya komunitas sosial dalam bentuk konstruk yang ada.
Oleh karena fitrah manusia merupakan setting langsung dari Allah dan keselarasan dalam eksistensi masyarakat disusun hanya oleh-Nya, maka hanya Allah-lah yang paling mengerti tentang kemanfaatan yang sesuai dengan fitrah manusia dan lebih mengerti tentang ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan masyarakat berikut sistem yang berfungsi sebagai protektor terhadap segala sesuatu yang mengancam keselarasan dan merubah konstruk masyarakat sosial ke masyarakat saling bermusuhan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ar-Rum, ayat 30 :
Fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. ( itulah ) Agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Begitu juga firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 15-16 :
Sesungguhnya telah datang kepadamucahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan Kitab iulah Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang di ridloi-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizing-Nya, dan menunjukkan mereka ke jalan yang lurus.
Setelah para jurism mengerti subtansi ini, mereka lantas berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah untuk menentukan dasar-dasar pijakan setiap maslahah dan mafsadah sebagai standard acuan dalam menentukan nilai baik dan buruk pada setiap sesuatu, sesuai dengan kebutuhann fitrah manusia dan respon terhadap keniscayaan untuk selalu menjaga keutuhan masyarakat.
Observasi yang telah dilakukan para intelektual islam terhadap teks-teks Al-quran dan As-Sunnah menunjukkan bahwa semua bentuk kemaslahatan manusia dalam hidup terbentuk dalam lima pokok yang tersusun dengan urutan sebagai berikut : Agama, hidup, akal, keturunan, dan harta. Untuk mencapai lima pokok diatas manusia harus mengikuti tahapan tertentu secara gradual : kebutuhan primer, sekunder, dan pelengkap. Sehingga jika kita amati, maka kita tidak menemukan bentuk kemaslahatan selain lima pokok di atas, dan untuk menempuhnya kita tidak akan menemukan jalan lain kecuali melewati tahapan di atas.
Terahir, perlu kita ketahui juga bahwa konteks yang sebenarnya menjadi pokok pembahasan bukanlah bentuk kemaslahatan itu sendiri, melainkan pada korelasi keselarasan antara kemaslahatan tersebut dengan konstruks sosial yang telah di setting Allah sesuai dengan kebutuhan manusia dalam kehidupan. Jadi, selama fitrah manusia masih sesuai dengan setting awal dan selama karakter sosial yang menjadi bias fitrah itu masih tetap pada kondisi semula, maka lima pokok tujuan syariat dan peraangkat untuk mencapainya akan tetap berlaku, sampai kapanpun dan sebanyak apapun topic perubahan yang ada. Fungsi sistem ( baca: Syariat ) itu akan tetap berlaku dan memenuhi kebutuhan manusia sebagai pengemban amanat menjaga harmonisasi dunia dan bahagia di kehidupan kelak. Wallahu a’lam. ( Nawahgaff )
Bibliographi :
1. Tahafut al Flasafah, Al Ghazali
2. Almustashfa, I, Al Ghazali
3. Fiqh Sirah, Dr. M. Saeed Ramadlan Al Bouthi.
4. Al Quran dan terjemahnya
5. Min Al fikr wa Al Qolb. Dr. M. Saeed Ramadlan Al Bouthi.
6. The Art of loving, Erich Fromm.
7. Beyond good and evil, Friedrich Nietzsche.