Krisis Reverensi Sejarah Provinsi Hadlramaut Pada Medio Masa Kejayaan Islam (Bagian I)
The Source: indo.hadhramaut.info - 17/3/2009
Home \
Kolom Pelajar
Adanya reverensi dalam kajian sejarah tertentu adalah sebuah
keniscayaan, karena pada reverensi tersebutlah studiy tentang sejarah
berpijak. Seperti halnya yang sering diungkapkan, bahwa sejarah berdiri di atas data-data otentik, sehingga ketiadaan data tersebut berarti ancaman terhadap punahnya sejarah. Hal inilah yang pada beberapa kurun terahir menjadi problematika yang amat pelik dalam berbagai studiy yang dilakukan oleh para sejarawan, baik Arab, maupun non Arab terhadap sejarah provinsi Hadlramaut pada masa pertengahan kejayaan Islam, terlebih mulai paruh terahir abad ke dua hijriyyah sampai berahirnya abad ke delapan, atau mulai paruh ahir abad ke delapan sampai ahir abad ke empat belas hijriyyah.
Ketiadaan bahan rujukan sejarah merupakan salah satu problematika yang akut bagi para sejarawan dalam melakukan kajian terhadap sejarah daerah tertentu. Karena pada sumber-sumber tersebutlah seorang sejarawan mampu mengetahui beberapa aspek yang merupakan bagian dari sejarah daerah tersebut, baik ekonomi, Sosial, atau kecenderungan dalam berpikir.
Menurut para sejarawan yang telah mlakukan observasi lapangan, permasalahan tidak-adanya reverensi sejarah Hadlramaut tidak lain disebabkan karena kebodohan masyarakat Hadlramaut pada masa itu, sehingga mereka abai terhadap hazanah-hazanah sejarah yang mereka miliki. Permasalahan seperti ini, menurut sebagian sejarawan, didasarkan pada kecenderungan untuk menghapus jejak hitam dalam sejarah itu sendiri, seperti halnya yang dilakukan para generasi keturunan kaum Ibadliyyah yang enggan membicarakan sejarah pendahulunya yang telah di-black list dalam buku sejarah Islam. Ada juga beberapa sejarawan lain yang berasumsi bahwa krisis reverensi sejarah tersebut disebabkan karena beberapa agresi militer yang banyak terjadi pada masa itu, hususnya Wahabiyyah ayang pada tahun 1222 hijriyyah ( Bertepatan 1807 M ) yang melakukan agresi ke daerah Hadlramaut dan dengan brutal melakukan aksi pembakaran besar-besaran terhadap beberapa hazanah-hazanah sejarah yang dimiliki Hadlramaut pada waktu iu.
Ada juga sejarawan lain, misalnya Sholih bin Ali Al Hamid yang berpendapat bahwa krisis reverensi sejarah tersebut disebabkan oleh kecenderungan sufistik yang pada waktu itu menguasai masyarakat Hadlramaut pada umumnya, sehingga hal ini berkonsekuensi terhadap minimnnya perhatian intelektual islam Hadlramaut terhadap kajian sejarah dan kodifikasi sejarah.
Ali Salim Bakir dalam Bahst fi Mashodir Al Tarih Hadlramaut, mengkritik keras upaya-uapaya penghapusan sejarah seperti ini. Katanya dalam buku itu : Sejenius apapun sesorang, maka sebenarnya dia tidak akan mampu mengaburkan sejarah atau bahkan menghapusnya dari lembaran sejarah. Andaipun generasi Abadliyyah, lanjutnya, berusaha mengingkari hal buruk yang dilakukan oleh pendahulunya dan berusaha menghapusnya dari catatan sejarah, maka itu tidak akan membuat para sejarawan besar islam seperti Ibnu Mas’ud, Al Thabariy, Ibnul Atsir, dan Ibnu Khaldun lalai untuk tidak membukukannya dalam buku sejarah yang mereka karang, sehingga upaya-upay penghapusan sejarah tertentu hanya berahir sia-sia. Dia ( Bakir ) juga menolak dugaan yang menyatakan bahwa agresi militer yang dilakukan oleh Sekte wahabiyyahlah yang menyebabkan permasalahan krisis sejarah Hadlramaut pada masa pertengan kejayaan Islam yang saat ini dihadapi. Menurut dia, hal itu tidak bisa dibenarkan mengingat beberapa data yang merujuk pada masa sebelum agresi militer itu terjadi masih tetap utuh. Terlebih lagi, agresi tersebut dilakukan pada masa belakangan. Menurut Bakir, tidak adanya kodifikasi buku sejarah pada masa Abadliyyah disebabkan oleh kaum Abadliyyah sendiri yang menganggap bahwa kodifikasi sejarah bukanlah hal yang penting. Pendapat seperti ini sesuai dengan pendapat Abdullah Bin Hamid As Salimiy dalam bukunya Tuhfatul A’yan.
Jika kita meniliti beberapa pendapat seputar tidak adannya kodifikasi sejarah dan ketiadaan bahan rujukan sejarah, maka kita tidak akan sepakat dengan sekian pendapat tersebut, apalagi kemudian menganggap masyarakat Hadlramaut adalah masyarakat yang bodoh seperti yang di ungkapkan Alawi Al Haddad dalam Janiyyu Al Syamarikh. Annggapan seperti ini tidak memiliki data yang kuat sehingga tidak mampu mendukung statemen yang dia keluarkan. Oleh karena itu, kita perlu mengoreksi statemen tersebut dan memberikan batasan yang jelas pada klaim bodah yang dikatakan Al Haddad tersebut.
Beberapa kecelakaan asumsi sejarah tentang Hadlramaut juga dsampaikan oleh Muhammad bin Yusuf Al Jundi dalam As Suluk Fi Thobaqat Al Ulama wa Al Muluk. Dalam buku tersebut ia mengungkapkan bahwa Propinsi Hadlramaut merupakan propinsi yang kebanyakan dihuni oleh masyarakat baduwi ( primitif ). Asumsi sejarah seperti ini tidak bisa diterima karena tidak mencakup hadlramaut secara keseluruhan yang mencakup daerah pegunungan dan pesisir pantai. Alasan kekeliruan ini justru diperjelas sendiri oleh Al jundi dalam buku yang sama. Misalnya ketika dia menulis beberapa daerah lain dengan nama-nama terpisah dari propinsi hadlramaut seperti Meyfah, Hijr, dan Syihr berikut beberapa tempat yang berada di bagian pegunungan yang dalam litelatur tersebut dimulai dengan Michlaf yang berarti Propinsi. Misalanya " Michlaful Hajrain " padahal pada kenyataannya beberapa tempat yang disebut terahir bukan propinsi terpisah baik sekarang atau dalam kurun sejarah. Dan bahkan masuk bagian dari provinsi Hadlramaut, dalam beberapa tempat ini, Al Jundi menyebutkan terdapat beberapa Ulama.
Oleh karena itu, Statemen Al Jundiy tersebut tidak bisa kita gunakan sebagai acuan terjadinya krisis reverensi yang di sebabkan oleh kebodahan penduduk Hadlramaut. Hanya saja, menurut beberapa sejarawan lain, kebodohan tersebut diduga berbentuk pada tidak adanya profesionalitas dalam bidang menulis. Hal ini seperti dikatakan Ali Abu Bakar Assegaff dalam bukunya, bahwa ditemukan buku biografi Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Ba'abad yang tertulis tanpa nama pengarangnya.
Dari beberapa pemaparan di atas, kita mampu mengetahui bahwa kebodohan yang diduga sebagai penyebab raibnya reverensi sejarah adalah dugaaan yang salah. Dan lebih tepatnya kebodohan yang dimaksudkan oleh sekian sejarawan adalah ketidak-mampuan warga Hadlramaut membuka tabir sufisme dari Bani Alawi, mengingat pada masa tersebut telah terdapat sekian banyak Ulama' yang memiliki kapabilitas tinggi dalam bidang kebudayaan, sastra, sejarah, Fiqh. Bahkan menurut beberapa sejarawan asal Yaman seperti Ibnu Samroh Al Ja'diy, pada masa pra datangnya Bani Alawi, di Hadlramaut telah terdapat sekian banyak tokoh intelektual. ( Nawafalacha )
Bersambung...
|