Ahwal dan Karomah Syekh Ubaid
Konon, Syekh Ubaid adalah sosok yang sering menampakkan hal dan
karamahnya. Yaitu sebuah anugerah Allah SWT yang diberikan kepada
hamba-hamba pilihannya.
Dalam naskah biografinya, Syekh al Hasan Bal Haj Ba Jufair menyebutkan sekelumit dari karamah dan hal yang terdapat pada diri Syekh Ubaid, antara lain : Dalam perjalanan pulang dari Iynat menuju daerahnya, Syekh Ubaid mendapatkan anugerah dari Allah SWT yaitu dihubungkannya dengan tokoh-tokoh besar, dan dinisbatkannya kepada orang-orang yang sudah mencapai hakekat, hingga mimpi-mimpinya bagaikan fajar yang menyingsing (kiasan akan kebenaran mimpi), menurut riwayat, bahwa Syekh Ubaid dan para sahabatnya merambah ke beberapa kota dan desa hingga sampai di penghujung daerah Syabwah, pada hari itu mereka tertidur, Sedangkan Syekh Ubaid tidur di bawah naungan pohon, beliau bermimpi didatangi oleh rombongan para wali dan orang-orang shaleh dari berbagai penjuru, rombongan pertama yang mendatanginya adalah para wali dari daerah Rukhaiyah, kemudian dari lembah Dahr, kemudian dari penduduk al Kasr dan Hainan, keluarga Ba Wazir, dari Haurah, keluarga Ba Jabir, keluarga lembah Amd, keluarga Huraidah, keluarga Ba Hafs, keluarga al Muallim, keluarga al Afif dari Hijrain, seluruh wali daerah Dauan, kemudian datang Syekh Besar Said bin Isa al Amudy bersama rombongan besar, lalu datang pula al Faqih Muhammad bin Ali Ba Alawy, setelah itu datang penduduk Syibam di bawah pimpinan Syekh Abdullah bin Muhammad Ba Abbad dengan kelompok besar, setelah itu datang rombongan yang sangat besar dan kumpulan manusia yang memenuhi ufuk, Syekh Ubaid berkata : aku bertannya : siapakah mereka itu? Mereka menjawab : “Ini adalah Syekh Abdulkadir al Jailany dan penduduk Irak”. Mereka semuanya berkumpul di tempat itu. Syekh Ubaid berkata : kami adalah tamu.
Kemudian mereka menghidangkan kepada kami dengan makanan yang tidak pernah ada di dunia, karena berasal dari syurga, kami makan hingga puas, kemudian mereka mengambilnya dari kami, dan sebagian yang lain masih berkumpul serta makan dari bekal kami, mereka menyuguhkan minuman dari kendi-kendi yang berwarna sangat menakjubkan, memberikan yang terbaik untukku, memberi para sahabatku sebuah kendi, setelah itu kami berpamitan kepada mereka, masing-masing rombongan menuju ke arah tujuannnya masing-masing. Aku terbangun dengan perasaan berbunga-bunga”. Sungguh kabar gembira dan karamah yang luar bisa, segala puji bagi Allah SWT Tuhan sekalian alam .
Mengenai halnya, dalam manuskrip biografinya Hal 24 disebutkan :
Diriwayatkan bahwa Syekh Ubaid –semoga dengannya Allah memberikan manfaat- ingin menulis “Syarah al Hikam” , saat itu dari muridnya tidak terdapat satupun yang dapat menulis dengan bagus, ketika itu keponakannya al Faqih al Allamah Husain bin Abdul Alim, Syekh Abdulwahab bin al Husain bin Abdulhaq, Rabi’ bin Mursyid pelayanannya berada bersamanya. Syekh mengambil pena dan menyerahkan kepada putra saudaranya Husain bin Abdul Alim dan berkata : “Selesaikan penulisannya bersama Rabi’, tulislah dengan tulisan yang indah”, petuah Syekh Ubaid menjadi kenyataan, tulisan Husain indah dan termasuk dari keajaiban zaman, hingga di Makkah mereka berbangga dengan tulisan Husain. Demikian pula Rabi memiliki tulisan yang bagus. Pada saat Syekh Ubaid memberikan pena kepada Husain putra saudaranya, beliau menoleh kepada Syekh Abdulwahab dan berkata : “Kamu ingin seperti keduanya atau ingin seperti mereka yang berkata “Wahai kakekku” (berbangga dengan datuknya), mendengar kata-kata beliau Syekh Abdulwahab dihinggapi perasaan malu karena keluarga Abdulhaq masih terkesan kebaduiannya, mereka berkata (dengan berbangga) : “Datuk kita adalah Abdulhaq”. Kata-kata seperti ini diucapkan oleh Syekh Ubaid kepada Syekh Abdulwahab sebagai bimbingan baginya untuk memenuhi haknya. Karena ia termasuk murid dari Syekh Ubaid, dan hal itu dipahami oleh Syekh Abdulwahab. Kelak ia menjadi seorang shaleh, menempuh suluk, melakukan mujahadah, antara dia dan Husain bin Abdulalim terdapat jalinan persaudaraan yang erat dalam ketaatan kepada Allah SWT .
Dalam manuskrip Hal. 25 disebutkan pula mengenai halnya, sebagai berikut :
Diriwayatkan bahwa al Faqih Ali bin Abdulalim di waktu kecilnya pemahamannya kepada al Quran sangat minim. Pamannya Syekh Ubaid memasukkan dia dengan saudaranya Husain kepada ma’lam Abdurrahim (tempat belajar al Quran untuk anak kecil), karena Syekh menjadi wali mereka berdua sepeninggal saudaranya Abdulalim yang wafat ketika Ali berada dalam kandungan, setelah itu ia berada dalam asuhan Syekh Ubaid. Selama setahun berada di ma’lam Ali tidak dapat memahami apapun. Sang pengajar kemudian mengadu kepada Syekh Ubaid dan berkata : “anak ini tidak dapat faham, mereka yang sekelas dengannya sudah selesai” Syekh Ubaid berkata : “lewati bacaannya hingga surat al Thalaq” dengan harapan semoga Allah dapat melancarkan lisannya dan membuka mata hatinya, maka dilewatilah bacaannya sampai surat al Thalaq, berkat itu ia dapat menghatamkan al quran dalam setahun.
Murid-murid Syekh hafal al quran di luar kepala. Al Faqih Ali berkeinginan menghafal al Quran di luar kepala seperti mereka, akan tetapi Syekh Ubaid memerintahkannya untuk membaca kitab, Syekh Ali berusaha membaca akan tetapi sulit untuk memahami, Syekh Ubaid menyuruhnya untuk membiarkan bacaan sampai ke Bab Thalaq dalam ilmu Fiqh, berkatnya Allah membuka pemahaman kepadanya dan ia dapat melampaui yang lain baik dalam segi keilmuan maupun kewaraan .
KHARISMA SYEKH UBAID DI DAERAH AL AWALIQ DAN SEKITARNYA
Dalam naskah biografi Syekh Ubaid Hal. 23 disebutkan bahwa Syekh Ubaid bin Abdulmalik ketika berkeinginan untuk tinggal di kediaman Syekh Abubakar bin Salim di Iynat, beliau berkata : “Wahai Ubaid, hendaklah engkau berada di daerahmu dan menjadi penerang dari kegelapan, adapun Hadramaut tidak membutuhkan sinarmu”. Atas dasar itu Syekh Ubaid kembali ke daerahnya, menghidupkan agama dan memakmurkan dengan bacaan al Quran, ilmu, ratib, dan wirid. Sehingga banyak dari orang-orang shaleh dan ulama dari Hadramaut, daerah Yaman dan daerah bagian timur yang mengunjunginya, berkat jasanya muncullah di daerahnya 40 orang Alim dan membangun masjid-masjid.
Dalam tulisan yang terdapat dalam lembaran Syekh Abu Najmah Ba Nafi’ disebutkan tentang munculnya figur Syekh Ubaid di daerah Yasybum yang saat itu ibukota dari kesultanan al Awaliq. Para kabilah menyambut kedatangannya, menghormatinya, dan berbondong-bondong mengunjunginya siang dan malam, memenuhi kebutuhannya. Beliau mendamaikan silang sengketa dan menyambung hatinya. Pengaruh Syekh Ubaid menyebabkan sedikitnya masyarakat yang datang kepada Sultan Shalah bin Naqib. Lantas Sultan mendatangi Syekh Ubaid dan berkata : “Dua pedang tidak dapat terkumpul dalam satu sarung” akhirnya ibukota kesultanan dipindah dari Yasybum kepada Nisab.
Sejak saat itu ibukota kesultanan al Awaliq berada di Nisab. Sinar Syekh Ubaid menerangi daerah Yasybum dan sekitarnya hingga dirinya tersohor ke setiap penjuru daerah al Awaliq, beliau banyak dilazimi murid, di antara mereka adalah : Syekh Abubakar bin Ali bin Syekh Abubakar bin Nafi’ dari al Hiq daerah al Mahfad. Yang wafat pada bulan syawal tahun 913 , kuburannya berada di al Hiq. Atau disebut juga dengan al Haq.
Dalam manuskrip biografinya Hal. 39 disebutkan : Di al Haq yang membuat hauthah adalah tuanku Syekh Ubaid bin Abdulmalik, yaitu hauthah yang keberadaannya tidak asing lagi , mengenai hal tersebut ada yang bertanya kepada beliau : “Mengapa engkau tidak membuat hauthah di daerahmu Yasybum”? beliau berkata : “Aku tidak membuat hauthah di Yasybum karena para kabilah di situ tidak menghargai adanya hauthah, Yasbum daerah kafir sejak dulu, penguasanya di zaman jahiliyah di kenal dengan nama “Kahil” tidak menghargai siapapun, aku khawatir ketika membuat hauthah di situ mereka tidak menghormatinya. Akan tetapi insyaAllah aku akan tinggal di situ, di situ aku bagaikan pedang yang tajam dan racun yang mematikan, tidak akan beruntung siapapun yang tidak menghormati keberadaannya, aku bagaikan api dalam sekam jika tidak memperhatikan dengan seksama mengenai nilainya. Aku tidak membolehkan putra saudaraku Abdulhalim mengadakan perdamaian antara kabilah, alsayyarah (mengambil uang dari kabilah sebagai bayaran di bawah pengaruh Syekh Ubaid), dan tidak memasuki daerah Dastinah kecuali dengan tujuan yang jelas, atau melalui isyarat dariku setelah istikharah, mimpi dsb. Serta tidak membolehkan dari keluarga Ba Nafi’ menempati saum haidar (perbatasan tertentu di Yasbum) yang terletak di tengah kota Yasybum dari keluarga Ba Nafi’, aku tidak bertanggung jawab dari siapapun yang melanggar salah satu dari ketentuan tersebut .
MURID-MURID SYEKH UBAID BIN ABDULMALIK
Semenjak kedatangan Syekh Ubaid meluaslah pengajaran di daerah al Awaliq, sosoknya terpandang, memiliki banyak murid dari beberapa penjuru untuk menimba ilmu, tarekat, dan barakah. Beliau bagaikan hujan yang menyirami rerumputan, hati dan rumahnya terbuka, seluruh waktunya dihabiskan untuk menyebarkan dakwah, mengajari orang-orang awam, dan membimbing murid-muridnya.
Konon, Syekh Abubakar bin Salim mengutus salah seorang muridnya al Nasik al Sayyid Yusuf bin Abid al Hasani al Maghriby untuk mengunjungi Syekh Ubaid untuk mengetahui keadaan beliau serta muridnya di Yasybum, sebagaimana disebutkan dalam manuskrip biografinya Hal. 28 sebagai berikut :
Diriwayatkan bahwa al Sayyid al Jalil al Arifbillah Yusuf bin Umar al Fasy al Hasani yang tinggal di daerah Maryamah salah seorang dari murid Syekh Abubakar bin Salim di utus untuk mengunjungi Syekh Ubaid di Yasybum. Maka sampailah sang utusan di kediaman Syekh Ubaid, tahun itu warga Yasybum dilanda kekeringan, mereka berkumpul dan keluar bersama warga yang lain untuk mendatangi Syekh Ubaid, mereka kekurangan air dan berada dalam kegersangan yang menyusahkannya dalam waktu yang lama, kemudian mereka meminta kepada Syekh Ubaid agar memohon agar diturunkan air hujan, Syekh ubaid menyerahkan permohonan tersebut kepada Sayyid Yusuf, para warga kemudian menekan Sayyid Yusuf agar memohon diturunkan hujan, dan berkata : “Wahai tuanku mohonlah agar hujan turun kepada kami, kalau tidak maka kami akan melemparkanmu kepada pohon ini –yang berduri- dan di al majannah (kuburan)". Mendengar itu Sayyid Yusuf gentar dengan ancaman dilempar ke pohon berduri, padahal perkataan mereka : kami akan melemparkanmu, senda gurau belaka. Seketika Syekh Yusuf berkata : “Alfatihah, wahai Syekh Ubaid semoga rahmat turun”, mereka kemudian membaca al fatihah, lantas Sayyid Yusuf berdoa agar diturunkan hujan. Seketika mendung menyelimuti seantero tempat itu.
Di antara murid-murid pilihannya terdapat beberapa orang yang disebutkan dalam manuskrip biografinya, mereka antara lain :
1. Al Ghazali bin Abdullah al Ghazali
Dalam manuskrif Hal. 19 disebutkan : dari anugerah Allah yang sangat besar kepada tuanku adalah keberadaan putra saudara dan kesayangannya, seorang muridnya al Fani al Shadiq U’jubah al Zaman waraihanah al Ikhwan al Abdusshaleh al Nasih al Mahbub al Mauhub al Salik al Nasik Gharib al Zaman Mustaufi Thali’ al Ihsan Akhas Khawas al Muhibbin Aun Ibadillah al Shalihin Jamal al Dunya wa al Din Muhammad al Ghazali bin Abdullah al Ghazali, semoga Allah memulyakannya sebagaimana dimulyakan hamba-hambaNya yang shaleh dan para pelayan yang benar, beliau berperan sebagai pembantu dan penopangnya, rekan, pembantu, dan sahabatnya. Sebagaimana perkataan mereka :
Jika salah seorang di zaman itu ada yang terpilih (wali Allah), sungguh zaman itu sangat beruntung dan beruntunglah orang yang terpilih tersebut.
Di antara Syekh Ubaid dan Syekh al Ghazali memiliki kaitan dengan firman Allah SWT :
ÓäÔÏ ÚÖÏß ÈÃÎíß æäÌÚá áßãÇ ÓáØÇäÇ ÝáÇ íÕáæä ÅáíßãÇ ÈÂíÇÊäÇ ÃäÊãÇ æãä ÇÊÈÚßãÇ ÇáÛÇáÈæä.
Artinya : “Allah berfirman : “Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak dapat mencapaimu ; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mu’jizat Kami, kamu berdua dan orang-orang yang mengikuti kamulah yang menang”. (al Qashah : 35)
Sungguh Syekh al Ghazali telah membantu dengan jiwa dan raganya dalam membahagiakan Syekh Ubaid, beliau tenggelam dalam ibadah dan kedermawanan, hingga beliau tidak melihat keberadaan jiwa, hal, dan raganya. Berada dalam fana, dan kecintaan yang benar dan khusus, bahteranya mengarungi lautan cinta, dipenuhi dengan kemanfaatan di dunia dan akhirat, menuju pantai keselamatan, tempat ridla dan kemulyaan, di sisi Allah SWT di tempat kemulyaan dan ditampakkannya maqam setiap hambaNya.
Di setiap injakan kaki tersisa keharuman dan kebenaran, tidak memberikan jalan dan peluang kepada syaitan dan bala tentaranya, perjalanan hidup dengan sahabat-sahabatnya berada dalam ketaatan dan muhajahadah, menjaga shalat, waktu, membaca surat Yasin, mereka berada dalam kesehatan dan kebajikan, hari-harinya terbebas dari deki dan kotoran zamannya, Allah menyepurnakan hal tersebut. Menambahkan keutamaan dan kebajikannya dengan dilipatgandakan. Allah menjadikan cintanya benar terhadapku, dari hati sanubari dan bukan dari luarnya. Segala puji bagi Allah yang telah menampakkan sosok yang mulya ini laksana terbitnya mentari di waktu dluha. Kami senantiasa bernaung dalam sirnya, menjadikan benderanya yang tinggi sebagai penunjuk jalan kami.
2. Keturunan anak putranya al Faqih Ali bin Abdulalim bin Abdulmalik.
Mereka adalah Husain bin Abdulalim dan Ali bin Abdulalim, yang berada dalam asuhan Syekh Ubaid, sepeninggal saudaranya Abdulalim. Beliau menjadi wali dari kedua putranya. Abdulalim meninggal ketika Ali masih berada dalam kandungan. Mereka berdua terbimbing dalam asuhan Syekh Ubaid dengan bimbingan yang baik, dalam manuskrip Hal. 20 disebutkan : Adapun keturunan dari saudaranya al Faqih Ali bin Abdulalim bin Abdulmalik memiliki kharisma yang besar dan pengaruh yang kuat serta pangkat yang agung. Merupakan barakah dari tuanku Ubaid, ada sebuah cerita yang aku dengar sendiri dari lisan Syekh Ubaid tentang larangannya kepada mereka, di antara larangan tersebut, beliau berkata : “Barang siapa yang memasuki daerah Dastinah dan keluarga Abdulmalik tanpa tujuan yang sesuai dengan syariat atau atas perintahku, atau abr al sair atau syal al sulh , menempati saum Haidar dan berada di dalamnya, maka aku tidak bertanggung jawab terhadap dirinya (jika terjadi sesuatu) hingga ia kembali kepada keadaannya semula .
Syekh Ubaid tidak menginginkan keponakannya bertindak atas pengaruh dan kharismanya kecuali dengan sepengetahuan atau sesuai dengan pendapatnya. Hal tersebut ditakutkan menyebabkan sesuatu yang tidak patut (kolusi).
3. Ahmad bin Abdulmalik yang bergelar dengan “al Maknun”
Beliau belajar kepada saudaranya Syekh Ubaid, menemaninya dalam beberapa perjalanannya ke Hadramaut, dan belajar juga kepada Syekh Abubakar bin Salim, beliau membantu saudaranaya Syekh Ubaid mengenai masalah agama dan keduniaan .
4. Abdulwahab bin al Hasan bin Abdulhaq.
Beliau belajar kepada Syekh Ubaid dan bersungguh-sungguh dalam mengambil pelajaran darinya. Dalam naskah manuskrif Hal. 24 disebutkan : Beliau adalah seorang yang shaleh, menempuh suluk, melakukan mujahadah, antara dia dan Husain bin Abdulalim terdapat jalinan persaudaraan yang erat dalam ketaatan kepada Allah SWT.
5. Al Hasan bin Ali Bal Haj Ba Jafir.
Beliau adalah salah seorang murid pilihan dari Syekh Ubaid dan orang yang memiliki hubungan erat denganya. Beliaulah yang mengumpulkan biografi tentang Syekh Ubaid dan menulisnya ke dalam naskah untuk generasi selanjutnya. Walaupun dalam usahanya tersebut beliau menemui beberapa penentangan dan hal yang berkaitan dengan masalah adab.
Dalam tulisan yang terdapat dalam naskah Hal. 9 disebutkan : “Manakib ini murupakan naskah yang dikumpulkan oleh al Faqih al Syahid al Shaleh al Hasan bin Ali bin Ahmad bin Umar Bal Haj Ba Jafir, dari daerah “Manif” beliau adalah salah seorang murid pilihan dari Syekh Ubaid bin Abdulmalik Ba Nafi’, mengumpulkan manakib Syekh Ubaid, setiap kali Syekh Ubaid mengetahui tentang apa yang ditulisnya beliau meminta dan menghapusnya, serta melarangnya agar tidak menulis apapun tentang dirinya, ketika peristiwa tersebut terjadi berulangkali beliau berkata kepadanya : “Jika kamu tidak menyelesaikannya dengan baik maka Allah akan menimpakan mara bahaya kepadamu dan kamu akan celaka, karena berharap dapat berjumpa dengan Allah dengan bejana yang penuh sebagaimana halnya al Faqih Ahmad bin Musa bin Ujail”. Al Hasan tidak menyelesaikan dengan baik, maka suatu hari ketika ia pulang ke daerahnya Manif di lembah Yasybum, petir menyambar dan meninggal dunia. Setelah Syekh Ubaid mendengar suara petir dan kilat beliau berkata kepada sahabatnya :”Mari kita semua pergi menghadiri jenazah saudara kita al Hasan bin Ali yang telah wafat dengan syahid setelah menjalani kehidupan dengan kebahagiaan dan kedamaian .
6. Rabi’ bin Mursyid
Beliau adalah pelayanan dari Syekh Ubaid dan penyanjungnya, murid yang selalui menyertainya baik di daerah maupun dalam perjalanannya. Syekh Ubaid menyukainya dan memperhatikannya serta mengkhususkannya dengan perhatian yang lebih, bahkan menugaskan dirinya dengan Husain bin Abdulalim untuk belajar tulis-menulis dan menulis kitab-kitab .
7. Nafi’ bin Farhan beserta anak keturunannya dari keluarga Zaitun.
Nafi’ bin Farhan beserta keluarga Zaitun belajar kepada Syekh Ubaid, menghadiri majlis Syekh Ubaid baik dalam ketika di daerahnya maupun dalam perjalanannya. Mereka bertugas sebagai pembawa nasyid dan sama dalam Hadrah Syekh Ubaid, dalam naskah biografinya disebutkan : “Tuanku Syekh Ubaid memiliki ahli suara, pembawa nasyid yang terkenal dengan nama “Alu Zaitun” dari Jardan, melayani Syekh dan mengerti tentang kaidah-kaidah sama’, tidak ada yang lebih ahli dari mereka, mereka adalah Nafi’ bin Farhan dan anak-anaknya.
8. Ahmad bin Abdul Hadi Baljafar.
Beliau adalah salah seorang Syekh dari Ahwar yang belajar kepada Syekh Ubaid dan menyanjungnya, dalam naskah Hal.32 dituturkan : diriwayatkan bahwa Syekh al Kabir Ahmad bin Abdulhadi Bal Jafir adalah salah seorang murid dari Syekh Ubaid bin Abdulmalik, di akhri hayatnya beliau sering mendatangi Syekh Ubaid setiap tahun di bulan ramadlan, menghadiri acara khataman pada tanggal 27 di masjid Syekh Ubaid, pada acara ini para hadirin yang hadir banyak dari daerah Abyan dan Ahwar. Syekh Junaid bin Abdulhadi saudara Syekh Ahmad kurang setuju ia sering menghubungi Syekh Ubaid, hal ini sangat merisaukan Syekh Ahmad, hingga suatu hari ketika ia sampai di kediaman Syekh Ubaid, beliau berkata kepadanya : “Wahai Syekh Ahmad kamu sangat antusias dalam mencintai kami, sedangkan saudaramu Junaid mendatangi kami, aku tidak tahu apakah akan menerimanya ataukah tidak? Maka tidak usah risau. Dan kenyataannya memang seperti apa yang disampaikan oleh Syekh Ubaid, di akhir hayatnya Syekh Junaid bin Abdulhadi mendatangi Syekh Ubaid dan berkata : “aku mendatangimu, semoga Allah mengabulkan (niat kedatanganku)” maka Syekh Ubaid berkata : “InsyaAllah dikabulkan wahai Syekh Junaid”.
Konon, ketika Syekh Ubaid meninggal dunia, dan terdengar oleh Syekh Ahmad bin Abdulhadi, beliau mengeluh dan memuji Allah SWT seraya berkata : “Cobaan yang telah menimpa tuanku Syekh sangat besar atas seluruh umat Nabi Muhammad Saw”.
Syekh Ahmad bin Abdulhadi meninggal 2 tahun setelah wafatnya Syekh Ubaid .
9. Stabit bin Muhammad bin Abdussamad
Beliau adalah salah seorang anak didik Syekh Ubaid, berada dalam perhatian dan ayomannya. Dalam naskah biografinya Hal. 41 disebutkan : diriwayatkan bahwa Syekh al Shaleh al Nashih al Arif Billah Stabit bin Abdussamad seorang Salik yang tekun dari kecilnya, bangun malam dan puasa di siang hari, senantiasa menyendiri dan menghindar dari manusia, apalagi setelah wafatnya tuanku Syekh Ubaid, beliau menyepi di gunung-gunung dan lembah, hingga ketakutannya bertemu dengan manusia sangat mempengaruhinya, jika melihat manusia beliau melarikan diri dari mereka, kalau ada yang ingin mengundangnya menghilang, jika tidak begitu ia beralasan untuk tidak hadir.
Beliau memiliki ilmu yang luas, diperoleh dari pelajaran tuanku Syekh Hasan bin Abdulalim, menurut beberapa riwayat beliau belajar kepada Syekh Ahmad bin Abdulmalik, beliau shalat malam di masjid hautah yang di bangun oleh Syekh Ubaid bin Abdulmalik, dari masjid tersebut sering terdengar suara tawon, menurut apa yang aku dengar beliau mendapatkan futuh di masjid tersebut.
10. Syekh Abdullah bin Abdullah Ba Mukhairim
Beliau juga termasuk murid dari Syekh Ubaid dan sosok yang suka mujahadah, antara beliau dengan Syekh Stabit terdapat jalinan persaudaraan dan persahabatan, hal tersebut di kupas dalam biografinya Hal. 42. Sebagai berikut :
Menurut riwayat, antara Syekh Stabit bin Muhammad bin Abdussamad al Khatib dan Syekh Abdullah bin Abdullah Ba Mukhairim terdapat persahabatan dan persaudaraan karena Allah dan ketaatan kepadaNya. Konon setiap hari mereka menghatamkan alquran, karean Syekh Abdullah Ba Mukhairim berada di Makkah selama 7 tahun dan menghafalkan alquran dengan baik, kemudian berada dalam keadaan seperti itu hingga berlalu 15 tahun. Kediaman Syekh Abdullah Ba Mukhairim terletak di Atfah daerah Yasybum yang bernama “Kharban”. Syekh Stabit bin Muhammad pergi menemui Syekh Abdullah di kediamannya, karena Syekh Abdullah Ba Mukhairim terkena penyakit judzam, namun penyakit tersebut sebatas pada ujung tangan dan kakinya saja, adapun sisi badannya tetap bersinar laksana cahaya patahan perak. Pada Saat Syekh Abdullah berada di Makkah, saudaranya Syekh Muhammad Ba Mukhairim mendatangi tempat yang terkenal dengan “Kharban” dan menempatinya dengan takdzim, menghargainya, dan sangat menghormatinya. Beliau – Syekh Abdullah – membujang dalam menempuh suluknya kepada Allah, sibuk dengan ketaatan hingga wafatnya. Dimakamkan di al Shaid di pekuburan Syekh Ubaid Ba Nafi’ saudara dari Syekh Abdurrahim bin Nafi’ Shahib Ahwar.
11. Syekh Salim Ba Quthyan
Beliau adalah salah seorang Syekh yang belajar dari Syekh Ubaid dan Syekh Rabi’ bin Umar, dalam manakibnya Hal. 35 disebutkan : Syekh Ba Quthyan termasuk murid pilihan Syekh Rabi’ dan Syekh Ubaid, beliau melaziminya dan mempunyai majlis-majlis yang terkenal.
12. Syekh Salim bin Fadil
Beliau merupakan salah seorang pengagum Syekh Ubaid, terkenal dengan kesalehan, termasuk dari pengikut Syekh Ubaid, pernah menyertai Syekh Ubaid ke Hadramaut dan kunjunganyan kepada Syekh Abubakar bin Salim, mengambil pelajaran darinya sebagaimana Syekh Ubaid mengambil pelajaran dari para ulama Tarim semasa perjalanannya .
13. Syekh Salamah bin Mas’ud
Beliau belajar kepada Syekh Ubaid dan terus melaziminya hingga termasuk dari orang-orang yang bernisbat kepadanya. Dalam manakibnya Hal. 29 disebutkan : diriwayatkan bahwa al Wali al Syekh al Nasih al Ghazali bin Abdullah mencari uang untuk keperluan Syekh Ubaid di daerah Dastinah, Ahwar dan sekitarnya, mereka sangat mempercayai Syekh Ubaid. Pada suatu hari mereka sepakat agar al Ghazali pergi ke Dastinah ditemani oleh Salamah bin Masud salah seorang murid dari Syekh Ubaid, dengan tujuan agar dapat membantu urusannya. Sesampainya di Dastinah, warga antusias dalam menyambut kedatangannya, sehingga urusannya lancar dan dapat mengumpulkan uang banyak serta barang-barang dagangan, makanan, onta dan beberapa hewan, jumlah makanan mencapai 200 muatan onta. Pada saat Syekh al Ghazali dalam perjalanan pulang dan sudah keluar dari Dastinah sekitar setengah marhalah, beliau berpikir – dari segi kewaraan – bahwa barang ini adalah milik orang dan tidak tahu apa maksud dari pemberian sebanyak itu, Karena Allah atau Karena yang lain? Apakah akan diterima oleh Syekh Ubaid atau tidak? Jika diterima maka masalahnya menjadi gampang, akan tetapi kalau ditolak, bagaimana akan membagi makanan dan barang-barang itu kepada pemiliknya masing-masing? Perasaan ini terus mengganggu relung hatinya dan tidak ada yang mengetahui hal ini kecuali Allah SWT yang Maha Melihat apa yang tersirat dalam sanubari.
Lantas Syekh al Ghazali mengutus rekannya yang bernama Salamah bin Masud, salah seorang dari murid Syekh Ubaid, beserta dengan barang bawaannya, beliau mengutusnya kepada Syekh Ubaid dan menyampaikan salam kepadanya serta memberitahukan perihal kesampaiannya. Sang utusan berangkat dan sampai waktu ashar di hari kedua. Tatkala masuk kepada Syekh Ubaid, beliau berkata sebelum sang utusan mengucapkan salam kepadanya : “Selamat datang Salamah, al Ghazali mengutusmu di saat hatinya risau dengan apa yang dikumpulkannya, kembalilah dan sampaikan salamku kepadanya, dan katakan : "milik orang yang ingin di serahkah kepada yang berhak, InsyaAllah kami akan menyerahkannya kepada yang berhak, selamat datang buat al Ghazali". Salamah kemudian berpamitan kepada Syekh dan menyampaikan apa yang dikatakan al Ghazali tentang perjalanan dan urusannya. Syekh Ubaid memberikan bajunya sebagai bisyarah untuk al Ghazali, lantas Salamah berangkat menuju al Ghazali. Di hari ketiga, di tengah perjalanan ia bertemu dengan al Ghazali dan memberitahukan apa yang telah dikatakan oleh Syekh Ubaid, dengan lega al Ghazali mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT.
14. Syekh Ahmad al Rifai bin Rabi’
Beliau adalah putra dari Syekh Rabi’ yang telah kita sebutkan sebelumnya, dalam manakib terdapat cerita seputar Syekh Ubaid, sebagai berikut :
Diriwayatkan bahwa Syekh Ubaid berziarah ke makam ayahnya al Faqih Abdulmalik setiap hari jumat dan duduk di bawah pohon berdampingan dengan masjid yang di dalamnya terdapat makam Sultan Shalah bin Baqib. Pada suatu hari beliau berkata kepada Syekh Ahmad al Rifai bin Rabi’ bin Umar dan murid yang lain : “Aku melihat sebuah cahaya dari tempat ini” al Rifai berkata : “wahai paman, mana mungkin ada cahaya dari kuburan shalah yang dzalim ini”. Syekh Ubaid terdiam hingga hari jumat yang selanjutnya, beliau menziarahi lagi tempat tersebut dan berkata : “lihat...di sini ada cahaya” al Rifai menimpalinya seperti perkataannya yang pertama, dan tidak memahami arti ucapan tuanku Syekh Ubaid, pada saat itu Syekh ubaid mendatanginya dan memegang jenggotnya seraya berkata : “Wahai Rifai, kamu tidak percaya kepada orang tua ini?” aku bersumpah bahwa di sini terdapat cahaya yang naik ke langit menuju Arsy,” akhirnya al Rifai terdiam, dan bertaubat dari kealpaannya.
Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, Syekh Ubaid –semoga Allah merahmatinya – berpulang ke rahmatullah. Selepas shalat Isya’ malam kamis tanggal 26 bulan Shafar al Khair tahun 1006. Sultan Shaleh bin Nami membangun masjid pada kuburannya untuk tempat shalat. Orang-orang berbeda pendapat tentang letak kuburannya di masjid tersebut. Di antara mereka ada yang mengusulkan agar dimakamkan di masjid desa, akan tetapi Allah mentakdirkan lain, Sultan dan saudara Syekh Ubaid yang bergelar al Maknun beserta keponakannya putra Abdulalim sepakat untuk membaringkan jenazahnya di luar desa pada pohon yang mana Syekh Ubaid pernah menyaksikan cahaya keluar darinya. Makamnya menjadi salah satu tempat yang tanahnya menyejukkan jiwa .
15. Al Muhib (Sang Pengagum) Haidarah al Maqhawi.
Beliau adalah seorang hamba sahaya dari Habasyah yang shaleh mengabdi kepada Syekh Ubaid dan bekerja di dapur Syekh. Memiliki jalinan yang erat dengan Syekh Ubaid, menyertai perjalanannya ke Hadramaut. Banyak cerita seputar ihwalnya sebagaima tersebut dalam pembahasan mengenai karamah Syekh Ubaid yang telah lalu.
ORANG YANG PERNAH BELAJAR KEPADA SYEKH UBAID.
Dalam manuskrip biografinya terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan beberapa keluarga yang saleh dan pernah mengambil pelajaran dari Syekh Ubaid, di antaranya adalah para masyayekh dari keluarga Syekh Salim di Abyan , keluarga al Kudy di Ahwar , al Hayastim di Dastinah, keluarga Bal Jafar di Ahwar , dari keluarga ini banyak yang mengadakan perjalanan ke Hadramaut, mengunjungi pelosok dan kotanya untuk mengambil pelajaran dari orang-orang shaleh dan ulamanya. Khususnya Syekh Imam al Syahir Abubakar bin Salim. Tidak sedikit dari mereka yang mengunjungi Yasybum – tempat kediaman Syekh Ubaid -, mengenai hal ini penyusun manakibnya Hal. 25 menyebutkan :
Menurut riwayat bahwa al Hayastam berkunjung kepada Syekh Ubaid di Dastinah, begitu pula rombongan dari keluarga Baljafar dan keluarga al Kud, dari Abyan keluarga al Faqih Salim serta yang lainnya. Di situ mereka di sambut dengan pemotongan 4 ekor kambing untuk dihidangkan kepada mereka. Pada saat makan siang tiba, datanglah Sultan Shalah bersama rombongan dari daulah al Hayasam untuk bertemu Syekh ubaid. Beliau kemudian mempersilahkan mereka bersama yang lain. Pembantunya yang bernama Mursyid enggan dan berkata : “Wahai Syekh, makanan yang tersedia tidak mencukupi seperempatpun dari mereka, begitu pula lauknya”. Syekh Ubaid mendatangi makanan tersebut dan tempat daging lalu memasukkan dengan siwaknya. Mursyid kemudian menghitung jumlah tempat daging tersebut dan jumlahnya mencapai 36 porsi. Demikian pula jumlah makanannya. Jadi, empat ekor seperti delapan belas ekor kambing.
Dalam pembahasan lain disebutkan pula beberapa keluarga yang memiliki jalinan dengan Syekh Ubaid seperti keluarga al Faqih Umar bin Said dari Umanjidah, keluarga Barik dsb .
Kabilah-kabilah tersebut sangat segan terhadap Syekh Ubaid, menghormati kedudukan serta pengaruhnya dalam mendamaikan kabilah, hampir tidak terdapat seorangpun yang berani menentangnya kecuali tertimpa musibah. Hal ini tertera dalam manakibnya, lembaran-lembaran sejarah dll. Dalam naskah biografinya di pembahasan mengenai daulah al Awaliq terdapat cerita tentang salah seorang muridnya, yaitu Syekh Abdulwahab al Tyib bin Shalah, beliau berkata : “Si pembunuh berasal dari al Hayastam di mana Syekh Ubaid bin Abdulmalik Ba Nafi’ mengadakan perdamaian di daerah itu. Kemudian si pembunuh dan anaknya disambar petir, demikian pula kuda dan anaknya”.
Daulah memberikan tempat minum (saqiyah) di Dastinah kepada Syekh Ubaid yang diberi nama : Daghir. Saqiyah tersebut tetap berada dalam pengelolaan keluarga Ba Nafi’, kemudian dikembalikan kepada keluarga Abdullah bin Shaleh dari daulah Dastinah yang terkenal dengan “Ahli Daghir”. Adapun pengembalian tersebut tidak terdapat keterangan perihalnya .
Bersambung...