Husaisah (05/07) - Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Muhammad
Rizieq Syihab menjadi narasumber dalam seminar di Convention Hall Habib
Abdul Qadir As-Seggaf, Ribath Muhajir, Husaisah, Hadhramaut, Yaman pada
Rabu (5/7) lalu. Acara yang diselenggarakan atas kerja sama antara AMI
al-Ahgaff, PPI Yaman, PPI Hadhramaut, PCI-NU Yaman, dan FLP Hadhramaut
ini bertajuk “Wawasan Kebangasaan NKRI”. Acara ini dihadiri oleh ratusan
mahasiswa dan pelajar di wilayah Hadhramaut dan sekitarnya.
Menurut Habib Rizieq, kalau kita bicara wawasan kebangsaan -dimanapun dan kapanpun-, bagi seorang muslim, tak bisa melepaskan diri dari ikatan syariat Islam yang wajib untuk dijalani. Meskipun tetap berdasarkan dari NKRI sebagai dasar yang berlaku di Negara. Akan tetapi, bagaimana kiranya nilai-nilai syariat islam itu menjadi bagian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, kalau kita ingin mengkaji “Wawasan kebangsaan Indonesia” ini, kita tidak bisa melepaskan diri dari fakta sejarah tentang kebangsaan Indonesia. Yaitu tak luput dari perjuangan para ulama agama Islam.
Habib Rizieq mengawali seminar dengan menjelaskan Empat pilar Negara. Pilar pertama, adalah Pancasila. “Sekarang di Indonesia sudah terjadi distorsi Pancasila. Istilah Pancasila memang lahir dari Bung Karno pada 1 Juni 1945 namun isi Pancasila adalah hasil Rumusan dari 9 Tokoh, yg tercantum dalam Piagam Jakarta yang kemudian diangkat dalam Sidang BPUPKI” paparnya.
Habib yang terkenal sebagai sosok yang gigih dalam berdakwah di tanah air tersebut menyibak diskursus Pancasila dari aspek sejarah kemunculannya, hingga problematika yang timbul dari pembentukan Pancasila tersebut.
Pancasila harus dimaknai dan ditafsirkan secara Islam, karena pancasila lahir dari rahim agama Islam, sehingga pancasila harus dirawat dengan ajaran islam. Dimulai dari sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa". Artinya Negara Indonesia wajib tunduk pada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah. Maka dari itu harus tunduk pada hukum Allah.
Sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, artinya Negara Indonesia wajib untuk menegakkan hak asasi manusia yang sesuai dengan ajaran Islam. LGBT bukanlah hak asasi manusia , orang berzina, minum minuman keras juga bukan hak asasi manusia, itu HAM dari barat. Sementara HAM menurut Islam berbeda.
Ketiga, "Persatuan Indonesia". Bagi negara wajib menjaga NKRI. Jangan sebaliknya, malah memecah belah NKRI.
Sila keempat, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan". Negara Indonesia wajib menjalankan kebijakan dengan musyawarah. Bukan demokrasi yang dimaknai dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat dengan mengabaikan hukum Islam. Kalau demokrasi yang dimaksud adalah kebebasan untuk menyampaikan pendapat, menjunjung tinggi musyawarah, menghargai pendapat orang lain, menjaga toleransi. Tentu Islam sejalan dengan Demokrasi.
Sila kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Maka, negara wajib menyejahterakan rakyat; negara tidak boleh seenaknya menyetop subsidi, seenaknya menggusur rakyat kecil. Rakyat harus dikedepankan, diutamakan, dan tidak boleh ada penggusuran yang merugikan rakyat.
Kesimpulannya Bahwa gerakan Islam tidak pernah menolak Pancasila karena Isi Pancasila adalah Kontribusi dari Ulama dan merupakan Konsesus Nasional.
Selanjutnya, Habib Rizieq memaparkan materi undang-undang dasar (UUD)1945. Kesimpulannya, gerakan Islam tak pernah menolak UUD 1945 sbagai konstitusi Negara, selama UUD 1945 tak bertentangan dengan syariat Islam. Jika, UUD 1945 bertentangan dengan syariat Islam, maka wajib diamandemen. Artinya, kita tak menolak amandemen UUD 1945, dengan syarat amandemen tersebut tak bertentangan dengan syariat islam. Kalau amandemen UUD bertentangan dengan syariat islam. Maka, wajib bagi kami untuk menolaknya.
Pilar Ketiga, Bhineka Tunggal Ika. Kebhinekaan ini kerap disalahgunakan, yaitu dijadikan payung pluralisme, membela aliran sesat dan lain sebagainya. Oleh karenanya, islam memberikan sikap bagaimana membedakan antara perbedaan dan penistaan. Perbedaan—baik madzhab maupun agama ini dalam agama islam disebut dengan kebhinekaan yang harus kita hargai. Namun, yang namanya penistaan agama—baik dari internal agama itu sendiri atau dari agama lain ? itu adalah suatu kejahatan yang harus ditanggulangi. Dengan kata lain perbedaan berbeda dengan penistaan.
Kesimpulan, gerakan Islam akan mengakui Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara, selama dimaknai dengan pluralitas. Namun, jika dimaknai dengan pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama sama, tiada kebenaran mutlak—termasuk kebenaran agama, dan tidak boleh ada agama yang mengklaim bahwa agamanya yang paling benar diantara agama yang lain. Maka, pluralisme semacam inilah yang kami tolak. Dan majlis ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa pada tahun 2006, bahwa Pluralisme, liberalisme adalah komunitas yang sesat dan menyesatkan—bukan dari ajaran Islam.
Pilar Keempat, NKRI. Gerakan Islam tidak pernah menolak NKRI. Sebab, NKRI tersebut adalah hasil perjuangan umat Islam.
Sementara itu, Dasar Negara Republik Indonesia yang dicantumkan dalam UUD 45—baik dalam Pembukaan UUD ?alinea keempat, maupun dalam pasal 29 ayat 1 yaitu; Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, tak satupun yang tercantum di dalamnya, bahwa dasar Negara adalah pancasila. Dan yang ada adalah Negara Kesatuan Repulik Indonesia adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. “Jadi, ada dasar Negara dan ada pilar Negara; dasar Negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dan pilar Negara adalah salah satunya Pancasila. Kalau kita umpamakan Indonesia itu sebuah bangunan. Maka, pilar pertama adalah Pancasila, pilar kedua adalah undang-undang dasar (UUD)1945, pilar ketiga adalah Bhineka Tunggal Ika, dan pilar ke-empat adalah NKRI. Dan bangunan ini belum bisa kokoh kalau tak ada pondasi. Sedangkan pondasinya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasalnya, keempat pilar tersebut harus berdiri atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan Ketuhanan Yang Maha Esa ini adalah Tauhid”, pungkas Ketua Front Pembela Islam ini.
Diskusi semakin hangat saat dibuka dialog interaktif. Dan akhirnya diakhiri dengan acara Halal bi Halal. (Red/Azizi)