Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufry dilahirkan pada hari senin 14 Sya'ban
1309 H / 15 Maret 1892 M di Tarim, sekitar 5 kilometer dari Seiwun,
Hadramaut, Yaman. Ayahandanya adalah Habib salim bin Alwi bin Assegaf
Al-Jufriy, seorang mufti di Hadramaut, sedang ibundanya, Syarifah Noer
adalah putri Raja Wajo, Sulawesi Selatan, yang bergelar Arung Matoa
Wajo.
Sayyid Idrus dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan mencintai ilmu, sehingga pribadinya tumbuh sebagai pecinta ilmu, terutama ilmu-ilmu agama. Sejak kecil beliau sudah menampakkan kelebihan-kelebihannya, menjelang dewasa beliau sudah memilki cakrawala berfikir yang luas. Beliau pun giat dan tekun menuntut ilmu. Kecintaannya pada ilmu, barangkali lantaran beliau sangat terkesan akan nasihat salah seorang gurunya agar beliau dapat menyamai ilmu kakeknya, Habib Alwy bin Saggaf Al-jufry, penyusun kitab Syarah Umdatu Salik.
"Aku tidak hanya ingin menyamai kakekku, tetapi lebih dari itu, ingin memiliki ilmu datukku, yaitu Imam Ali bin Abi Thalib, yang oleh Rasulullah saw dikatakan, Aku adalah kota ilmu pengetahuan, an Ali adalah pintunya; ilmu datukku lah yang hendak aku capai."
Mula-mula beliau belajar kepada ayahandanya. Dan ketika usianya mencapai 12 tahun, beliau sudah mampu menghafal Al-Qur'an. Selain itu beliai juga berguru kepada beberapa ulama besar sahabat ayahnya, seperti:
• Habib Muhsin bin Alwi Assegaf
• Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih
• Habib Abdurrahman bin Ali bin Umar Assegaf
• Habib Abdullah bin Shaleh bin Husein Albahar
Dalam usia yang relatif sangat muda, beliau sudah dapat memahami dan menghafal lebih dari 200 ayat Ahkam, landasan hukum.
Beliau juga sempat menjadi santri di salah satu rubath ( pesantren ) di Tarim. Usai menamatkan pendidikan di pesantren tersebut, beliau mulai berdakwah dan mengajar. Sebagai mubaligh, ketika itu beliau sempat dikenal dengan gelar Al-Bahrul Fahhamah ( pemilik pemahaman seluas lautan ). Penasihat pemerintah di bidang syariat, selama dua tahun, menggantikan ayahandanya yang wafat.
Bukan hanya sebagai ulama, sayyid Idrus juga dikenal sebagai Mujtahid yang menentang penjajahan Inggris terhadap negerinya, Yaman. Bersama sahabatnya, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, beliau berbagi tugas. Sayyid Idrus bertugas membawa dokumen rahasia ke markas Liga Arab di Kairo. Tapi sampai di Pelabuhan Aden, beliau tertangkap oleh tentara Inggris dan dikembalikan ke Hadramaut. Beliau dilarang pergi ke Timur Tengah, tapi boleh ke salah satu dari dua tujuan : Asia tenggara atau Cina. Beliau memilih ke Asia Tenggara, dan akhirnya ke Indonesia.
Tahun 1926, beliau menginjakkan kaki di Indonesia. Ini adalah kedatangannya yang kedua kali, sebab semasa kecil beliau pernah ke Indonesia bersama sang ayah. Selain melepas kerinduan pada kampong halaman ibundanya di Wajo, belakangan beliau menjadikan Indonesia sebagai tempat berdakwah. Maka mulailah Sayyid Idrus mensyiarkan islam. Ketika itulah beliau mulai mengajar, mula-mula di madrasah Jami'at Khair, Jakarta, kemudian membuka dan memimpin Madrasah Al-Rabithah Al-Alawiyah di Solo yang kemudian berganti nama menjadi Yayasan Diponegoro.
Aktivitas dakwahnya meluas hampir diseluruh Jawa. Beliau adalah ulama Ahlussunah Waljamaah yang bermazhab Syafi'i dengan mengamalkan Tarekat Alawiyah. Bukan hanya mengajar dan berdakwah di berbagai pelosok, Sayyid Idrus juga sempat menjalin hubungan erat dengan para ulama yang ketika itu aktif dalam pergerakan kemerdekaan. Salah seorang ulama yang sangat akrab dengannya adalah K.H.Hasyim Asy'ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan pendiri Nahdatul Ulama.
Tahun 1929, beliau mulai merambah Kawasan Timur Indonesia. Setahun kemudian, 1930, beliau mulai berdakwah di Palu, Sulawesi tengah. Beliau berdakwah di kalangan suku Kali. Kehadirannya di tengah-tengah suku Kali adalah takdir Allah swt, dan merupakan rahmat bagi suku terbesar di Sulawesi Tengah tersebut. Sesungguhnya kedatangannya kesana tanpa direncanakan ama sekali.
Kala itu, Sayyid Idrus tengah berada di Tondano, sekitar 35 kilometer dari Manado, Sulawesi utara. Beliau kebetulan bersilaturrahmi dengan dua orang saudaranya yang telah lebih dahulu hijrah ke Indonesia, masing-masing Habib Syekh bin Salim Al-Jufry dan Habib Alwi bin Salim Al-Jufry. Kedatangannya di Palu hanyalah untuk transit menuju Wani, kecamatan Tawaeli, Donggala, untuk memenuhi undangan tiga sahabatnya : Sayyid Ibrahim bin Zain al-Mahdi, Sayyid Muhammad bin Muhsin ar-Rifai dan Sayyid Ahmad bin Ali Al-Muhdhar.
Setelah itu barulah ia menuju ke Palu. Kedatangannya ke Palu ternyata kemudian menjadi catatan sejarah dalam mengawali dakwah di Kawasan Timur Indonesia. Melihat kondisi masyarakat Palu kala itu yang sangat membutuhkan pendidikan agama, beliau pun segera memutuskan untuk menetap disana. Tak lama kemudian, tanggal 30 Juni 1930, beliau mendirikan madrasah bernama Al-Khairaat.
Dalam rentang waktu 365 hari, beliau berdakwah dan mengajar keliling, menyusuri berbagai pelosok desa, menyeberangi sungai, menembus hutan dan perbukitan, merambah hamper seluruh Sulawesi. Dan akhirnya, kini, Al-Khairat berkembang tidak hanya di Sulawesi tengah, tapi juga Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku, Kalimantan, hingga Irian Jaya. Para alumnus santrinya tersebar di seluruh Kawsan Timur Indonesia, sebagai pegawai negeri, guru, dosen, pengusaha, ulama, bahkan juga para pejabat di daerah-daerah dan pejabat tinggi.
Kepada mereka, Sayyid Idrus berpesan dalam salah satu syairnya :
Wahai abna'ul Khairat, bangkitlah!
Tunaikan kewajiban mengajar
Kelak kalian menjadi pelopor terdepan
Kalian telah memiliki panutan yang di contoh-
kan oleh orang-orang sebelum kamu
yaitu para guru yang telah membimbingmu
Sayyid Idrus, ulama besar dan pelopor dakwah di Kawasan Timur Indonesia, wafat pada hari senin 22 Desember 1969, bertepatan dengan 12 Syawal 1349 H. Sebelum wafat, beliau berpesan agar pada setiap 12 Syawal para alumnus Al-Khairat, yang disebut abna'ul Khairat dari segenap pelosok, menyelenggarakan silaturrahim. Dan ternyata 12 Syawal adalah hari wafatnya, yang juga hari haulnya untuk memperingati jasa dan kepeloporan ulama besar ini.