Suatu hari, beberapa tahun silam, sebuah rumah di pemukiman padat Batu
Ampar, Condet, Jakarta timur terbakar hebat. Api berkobar menghanguskan
apa saja. Masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa, karena sumber air
jatuh, sementara petugas dinas pemadam kebakaran tak kunjung datang.
Tiba-tiba, di antara kerumunan penduduk, menyeruaklah seorang lelaki
berserban dan memegang tasbih. Dengan gagah berani ia maju kearah rumah
yang terbakar itu sambil mengibas-ngibaskan serbannya.Ajaib! Dalam waktu
sekejap, api yang berkobar hebat itu padam. Setelah itu, ia pergi
begitu saja. Siapa dia?
Penduduk Batu Ampar mengenalnya sebagai Habib Umar Al-Aththas. Ulama itu mula-mula tinggal di Kwitang, Jakarta Pusat, kemudia hijrah ke Batu Ampar.
Habib Umar bin Muhammad bin Hud Al-Aththas lahir sekitar tahun 1890-an di Huraidhoh, Hadramaut, Yaman. Sejak muda beliau menimba ilmu agama di Hadramaut. Sampai akhirnya beliau hijrah ke Jakarta pada tahun 1940-an untuk menemui kedua orang tuanya, Habib Muhammad bin Hasan bin Ali bin Hud Al-Aththas yang telah terlebih dulu menetap di Kwitang.
Dalam perjalanan ke Betawi, beliau singgah di Kuala lumpur, Singapura dan Brunei untuk menggelar dakwah yang dihadiri ratusan jemaah. Baru pada awal 1950-an beliau tiba di Jakarta, dan tinggal di Pasar minggu, kemudian, ia pindah lagi dan selanjutnya menetap di Batu Ampar. Di kediaman yang baru ini, beliau berdakwah dengan pendekatan persuasif, penduduk mengenalnya sebagai ulama yang berpenampilan sejuk dengan karomah luar biasa.
Karomah itu, misalnya, terjadi ketika beliau diminta membantu orang yang gemar membeli undian. Tapi anehnya dengan tenang dan baik, Habib Umar melayaninya. "Habib Umar, saya minta nomor undian." Kata lelaki itu tanpa sungkan. "Aku akan berikan engkau nomor undian, dengan syarat jika engkau menang undian segeralah bawa uang itu kepadaku." Jawab Habib Umar.
Beberapa hari kemudian lelaki itu datang lagi. "Habib, saya berhasil menang undian. Ini uangnya." Katanya berseri-seri.
Dengan tenang Habib Umar minta muridnya mengambil sebuah baskom, lalu katanya, "Perhatikan apa yang aku perbuat." Lalu beliau menggenggan uang segepok itu dan memerahnya di atas baskom. Aneh! Dari genggaman tangan Habib Umar mengucurkan darah segar, mengalir memenuhi baskom. "Lihatlah, apa yang telah engkau dapatkan dari undian itu." Katanya.Lelaki itu kaget, dan akhirnya bertobat.
Di saat lain, ketika Habib Umar tengah menggelar taklim di masjid, masuklah seorang lelaki berwajah putih bersih. "Wahai Habib Umar, bisakah aku minta nasi kebuli?" tanya lelaki itu.
Permintaan aneh itu tentu saja membuat terkejut seluruh jamaah. Namun, dengan tersenyum Habib Umar berkata arif, "Pergilah ke belakang, dan bersantaplah." Maka lelaki itu pun segera pergi ke dapur.
Tak lama kemudian taklim itu pun usai, dan Habib Umar bersama para jemaah menyusul ke dapur. Mereka melihat lelaki itu tengah menyantap nasi kebuli dengan sangat lahap. "Siapakah dia? "dia tamu kita, dia adalah Nabi Khidlir." Jawab Habib Umar.
Tidak semua Ulama besar mendapat kesempatan dikunjungi Nabi Khidlir. Dan kunjungan Nabi Khidlir itu menunjukkan betapa Habib Umar sangat alim dan shaleh.
Ada cerita lain mengenai karomahnya. Pada suatu hari datanglah seorang lelaki membawa air agar didoakan sebagai obat. Tapi baru saja ia mengetuk pintu, Habib Umar sudah menyuruhnya pulang. Tentu ia bersikeras dan bertahan menunggu di depan pintu. Akhirnya Habib Umar keluar. Katanya, "Pulanglah, air yang engkau bawa itu sudah bisa menyembuhkan." "Tapi, Bib..." "Pulanglah. Bukankah engkau sudah ditunggu oleh keluargamu?"
Mendengar jawaban Habib Umar yang begitu santun dan lembut, orang itu sungkan juga. Akhirnya dengan keyakinan yang kuat ia pulang membawa air dalam botol tersebut, dan menuangkannya ke dalam gelas untuk diminum oleh keluarganya yang sakit.Ajaib! Tak lama kemudian keluarga yang sakit tersebut sembuh. Setelah sembuh, mereka bertamu ke rumah Habib Umar untuk bersilaturrahmi.
Menurut beberapa Habib yang kenal dekat dengan Habib Umar, karamah yang dimilikinya itu berkat keikhlasan dalam merawat ibundanya. Selama 40 tahun, dengan tekun, ikhlas dan sabar, beliau merawat sang ibu hingga akhir hayatnya.
Habib Ismail bin Yahya, seorang pengurus Naqabatul Ashraf, alah satu lembaga penyensus para habib, juga menyatakan, karamah tersebut berkat keikhlasan Habib Umar merawat ibundanya. Bahkan karena lebih mementingkan merawat sang ibu, suatu saat Habib Umar tidak sempat menghadiri pengajian-pengajian di luar rumah, termasuk masjid Riyadh, Kwitang, yang digelar Habib Ali Al-Habsyi.
Ulama besar yang dikenal sangat sederhana dan tawaduk ini wafat pada tahun 1999 dalam usia 108 tahun, meninggalkan tiga putra : Habib Husein, Habib Muhammad dan Habib Salim.
Selama hidupnya, almarhum selalu menekankan pentingnya mencintai dan meneladani Rasulullah saw. Sebagai ulama yang shaleh, seperti halnya habaib yang lain, beliau juga suka menggelar maulid. Dalam maulid enam tahun lalu, sebelum wafat Habib Umar memotong 1600 ekor kambing untuk menjamu puluhan ribu jamaah.
Habib Umar dimakamkan di kompleks pemakaman Al-Hawi, Condet, Jakarta Timur. Upacara pemakamannya kala itu dihadiri puluhan ribu jemaah. Bahkan saking banyaknya jamaah yang ingin menyalalatkan jenazahnya, salat jenazah dilakukan sampai tiga kali dengan tiga orang imam.