Frasa 'ma ziltu tholiban' tentu telah masyhur di kalangan kaum
pesantren, terlebih mereka yang memiliki sanad keilmuan ke Rusaifah
Makkah. Hal ini tak lain, karena kata-kata tersebut diucapkan oleh
seorang muhaddits kenamaan asal tanah haram Makkah Mukarramah, yakni
Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki.
Sederhananya, frasa tersebut dapat diartikan dalam bahasa Indonesia, dengan 'selamanya aku tetaplah santri'. Namun maknanya tidak terbatas pada terjemah itu saja. Penulis melihat ada makna lain nan filosofis dari dawuh masyhur Abuya itu. Dan munasiban li "yaumi santri alwathoni" atau Hari Santri Nasional, penulis mencoba membuka sedikit makna dari dawuh di atas.
Di antaranya adalah:
1. Peneguhan identitas kesantrian.
Melalui dawuh singkatnya, Abuya Sayyid Muhammad seakan mengajak para santri di manapun berada, atau di manapun ia menuntut ilmu, agar kembali meneguhkan identitas kesantrian. Dalam artian, meski santri tersebut tak lagi aktif nyantri di pesantren atau di institusi lainnya, ia tetaplah santri.
Peneguhan ini bisa berbentuk banyak hal, seperti: mengenakan pakaian kaum sarungan baik di tempat-tempat khusus atau umum, mengamalkan ajaran para guru dengan sebaik-baiknya, bijaksana dalam membaca situasi terkini, dan cerdas dalam bermuamalah dengan masyarakat luas.
2. Jangan pernah berhenti belajar.
Menjadi santri adalah menjadi pembelajar. Baik pembelajaran tekstual, kontekstual, maupun lisanul hal.
Pembelajaran secara tekstual adalah dengan membaca, menyimak, dan menulis ilmu-ilmu yang ia dapati setiap waktu. Sedangkan secara kontekstual adalah memahami dengan baik makna dari kata yang ia baca, simak, atau tulis.
Pun tak ketinggalan penting adalah pembelajar lisanul hal atau praktek. Seorang santri usai mempelajari tekstual dan kontekstual, maka ia dituntut untuk ber-lisanul hal atau menerapkan ajaran serta larangan yang ia ketahui. Dalam makna yang lebih luas, pembelajaran lisanul hal dapat dimaknai sebagai belajar dari pengalaman dan kehidupan.
Santri kudu peka dengan situasi dan keadaan sekitar. Syaikhuna Maimoen Zubair tak jarang mengingatkan para santri dengan dawuhan dari Sofyan At Tsauri:
Úáì ÇáÚÇÞá: Ãä íßæä ÚÇÑÝÇ ÈÒãÇäå¡ ãÓÊÞÈáÇ Ýí ÔÃäå¡ ÚÇÑÝÇ ÈÑÈå.
"Bagi seorang yang berakal harus mengetahui zamannya, bersiap menghadapi urusannya, dan mengetahui Rabb-nya."
Sebagai pembelajar lisanul hal, santri haruslah mengamati ruang hidupnya, serta perubahan zaman terkini, agar ia dapat mempertimbangkan teori-teori dakwah yang cocok untuk diterapkan. Juga agar dapat survive di tengah terpaan perubahan zaman.
3. Santri sebagai pribadi yang kritis.
Asal kata tholiban dalam bahasa Arab adalah thalaba yang berarti mencari. Maka alangkah baiknya sebagai santri untuk selalu mencari-cari pengetahuan atau informasi terbaru dan mengkritisi tren-tren kekinian.
Jika dihadapkan pada sebuah situasi, santri harus memilah-milah antara positif dan negatif dari perkara tersebut. Kritis akan segala kemungkinan yang akan terjadi, agar dapat menyikapi perkara tersebut dengan bijaksana. Dan masih banyak makna-makna lainnya yang dapat kita gali.
Begitulah, semoga setidaknya dapat berusaha mewujudkan makna-makna tersebut dalam kehidupan kesantrian kita semua, agar kelak mendapat rido dan ampunan-Nya. Aamiin.
Oleh: Abdul Ghofur Syafi' (Mahasiswa Tingkat Empat, Universitas Al-Ahgaff Yaman)