Saat ini kita sedang berada di bulan Ramadan, bulan yang suci, momen
yang tepat untuk membenahi diri agar menjadi muslim yang sejati.
Untuk menjadi muslim yang sejati tidak cukup hanya dengan melakukan berbagai macam ibadah. Tetapi, perlu dibarengi dengan uzlah/khalwat (menyendiri), waktu dimana kita introspeksi diri, mendekatkan diri kepada Tuhan dan berfikir tentang keagungan-Nya.
Nabi Muhammad saw. di usianya yang menjelang 40 tahun sering melakukan uzlah beberapa malam, bahkan sebulan penuh, hingga beliau menerima wahyu. Tentunya ini menunjukkan bahwa uzlah sangat perlu dilakukan agar menjadi muslim yang sejati.
Beberapa masalah yang ada pada diri tiap manusia seperti sombong, dengki, ria, cinta dunia dan lainnya, bisa disembuhkan dengan beruzlah. Dengan beruzlah kita dapat memperbaiki dan melatih diri untuk cinta kepada Allah Swt. serta berfikir tentang keagungan-Nya. Bahkan ada orang arif yang berkata bahwa rukyatu nafsak (introspeksi/evaluasi diri) lebih baik daripada rukyatu arsy (melihat arsy), karena rukyatu nafsak bisa memperbaiki diri.
Istafti nafsak wain aftaaka an-naasu wa aftuka (Al-Hadis). Hadis tersebut memberi pesan akan pentingnya untuk introspeksi dan evaluasi diri. Memang terkadang dalam suatu persoalan, diri kita sendirilah yang bisa menyelesaikannya. Perkataan orang lain sebagai wasilah yang tentu sifatnya hanya membantu, maukah diri kita menerima hal itu?
Beberapa orang mengatakan bahwa beruzlah adalah memutus hubungan dengan manusia 100%, sehingga tidak bersosialisasi dan hanya menyendiri di tempat seperti gunung ataupun gua. Namun, sejatinya berkhalwat cukup dengan menyendiri yang bertujuan untuk memperbaiki diri.
Berkhalwat tidak baik jika berlebihan, dengan mengasingkan diri, tidak makan dan minum, melepaskan diri dari semua hal duniawi. Karena berkhalwat seperti obat yang harus diminum sesuai dosisnya dan jika berlebihan dapat membahayakan. Dan itu juga tidak sesuai dengan apa yang dianjurkan Nabi dan para sahabat.
Bukannya Nabi pernah mengingatkan, ketika ada sahabatnya yang beribadah dan membaca Al-Quran di setiap malamnya, dan puasa satu tahun penuh di setiap harinya. Dan Nabi pun membenarkan sikap Salman Al-Farisi ketika ia mengingatkan saudaranya, Abi Darda', yang hidupnya hanya untuk beribadah hingga menelantarkan istrinya.
Sungguh Tuhanmu memiliki hak darimu (tanggunganmu), dirimu memiliki hak darimu, dan keluargamu memiliki hak darimu. Berilah setiap hak tersebut kepada yang berhak.
Dan jika ditemukan beberapa hikayat tentang orang saleh yang berkhalwat hingga ke gunung dan tempat-tempat lainnya, bagaimana? Tentunya itu di luar konteks, dan ada alasan yang hanya terjadi dalam kondisi khusus. Dan itu tidak bisa dijadikan pedoman.
Terus berkelanjutan dalam memperbaiki diri, akan menuntun terhadap perubahan diri, terutama dalam hal keislaman. Sehingga nantinya bisa menjadi muslim sejati yang beramal karena takut kepada Allah Swt. cinta dan mengharapkan keselamatan dunia akhirat.
Seperti statement Imam As-Syatibi, dalam mengklasifikasikan 2 model umat Islam, yang satu beramal hanya karena Islam dan satunya lagi beramal hanya karena takut, berharap dan cinta. Takut kepada Allah Swt. ibarat cambuk, mengharapkan rida-Nya ibarat kusirnya, sedangkan cinta kepada-Nya ibarat kereta kuda.
Dengan adanya rasa takut, muncullah kesabaran dalam beramal meskipun dengan masyakah. Seperti itu juga orang yang berharap, walau badai menghadang ia akan terus maju untuk mencapai tujuannya. Dan dengan cinta dia akan melakukan apapun karena rindu akan menjumpai kekasihnya. Karena cinta pula yang jauh menjadi dekat, dan yang berat menjadi ringan.
Dengan datangnya bulan Ramadan tentu banyak waktu luang, mari gunakan waktu kita sebaik-baiknya. Beruzlah, memperbaiki diri, dan berfikir akan keagungan Tuhan yang Maha Esa, berzikir dan mengagungkan-Nya.
Oleh: M. Yusril Al-Usmani
Editor: Muhammad Rezani