Sebagaimana buah yang jatuh tidaklah jauh dari pohonnya, demikian
kata pepatah yang mengibaratkan ke-eratan hubungan antara anak dan
orang-tuanya.
Tulisan ini akan mengupas sedikit tentang biografi ayahanda seorang ulama kenamaan asal bumi auliya' Tarim al-Ganna ini Sayyid Salim bin Abdullah asy-Syarthiri, sebagaimana beliau yang kini tengah mengasuh sebuah lembaga pendidikan Islam "Rubath Tarim" yang dari rahimnya banyak terlahir ulama yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai keislaman di segenap penjuru Yaman hingga luar negeri.Ayahanda beliau yaitu Sayyid Abdullah asy-Syathiri juga merupakan murabbi yang banyak memberikan kontribusi terhadap lembaga pendidikan Islam tersebut.
Nasab dan Kelahirannya
Beliau adalah Al-Imam Al-Allamah Syaikhul Islam Habib Abdullah bin Umar bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Ali bin Husein bin Muhammad bin Ahmad bin Umar bin Alwi ( Asy-Syatiri) bin Faqih Ali Al-Qadhi bin Ahmad bin Muhammad Asadullah bin Hasan At-Turabi bin Ali bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad (Shahib Al-Mirbath) bin Ali (Khali' Al-Qasam) bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir bin Muhammad bin Al-imam Ali Al-'Uraidhi bin Ja'far As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal 'Abidin bin Husein As-Sibth bin Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatina Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Muhammad SAW.
Beliau dilahirkan di kota Tarim Al-Ganna' (Hadramaut) pada bulan Ramadhan tahun 1290 H. dari pasangan yang mulia Habib Umar bin Ahmad Asy-Syatiri (wafat tahun 1350 H) dan Syarifah Nur binti Umar bin Abdullah bin Syihab.
Riwayat dan Perjalanan Pendidikan
Di masa emasnya yaitu masa pertumbuhan, beliau telah digembleng dan menerima pendidikan agama yang kental dari keluarganya. Mulai dari baca tulis, talaqqi al-Qur'an hingga fiqih dan tasawuf sebagai bekal kelak meniti jalan ilmu yang terjal dan penuh dengan tantangan serta membutuhkan kesabaran.
Rasa hausnya akan ilmu pengetahuan membuat beliau tak jera dan tak kenal lelah untuk menggali dan menyerap pelajaran dari guru-guru serta kibar masyaikh Tarim kala itu termasuk diantaranya adalah mufti diyar Hadramiyah Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur dan putranya yaitu Habib Ali bin Abdurrahman Al-Masyhur. Tidak cukup sampai di situ, beliau juga "nyantri" keluar dari kampung halamannya menuju kota Seiyun, sebuah kota yang kini dapat ditempuh dengan kendaraan umum selama satu jam. Di Seiyun beliau tinggal selama 4 bulan di Rubath Habib Ali.
Ketika usianya menginjak remaja sekitar umur 20 tahun, beliau bersama dengan ayahanda tercinta pergi keluar kota tepatnya ke Haramain untuk melaksanakan ibadah haji, setibanya di sana sang anak yang begitu menggelora untuk mencari mutiara ilmu berkehendak untuk memperdalam lagi pengetahuan agamanya dengan berguru pada ulama-ulama yang ada di Mekkah. Apalah daya, sang ayah tak dapat menolak I'tikad putranya itu dan pada akhirnya mengabulkan niatanya untuk mengunduh ilmu di kota suci Mekkah.
Restu dari ayahandanya tidak disia-siakan begitu saja, di hari-hari menuntut ilmu di Makkah, jam istirahat beliau tidak melebihi dari dua jam dalam sehari semalam, hal itu dikarenakan semua waktunya diinfakkan untuk menimba ilmu. Dan dalam hidup kesehariannya beliau mampu belajar tiga belas mata pelajaran, dan semuanya dikaji (muthala'ah) kembali setelah belajar. Adapun semua surat yang dilayangkan oleh ayahnya yang isinya memohon beliau untuk pulang ke kampung halaman, oleh beliau diletakkan begitu saja di bawah tempat tidur tanpa dipedulikannya, semua ini mencerminkan akan kehausnya beliau terhadap ilmu pengetahuan dan ketertarikan beliau terhadap ilmu yang bersih dan suci dari tempat yang mulia.
Kiprahnya dalam Kancah Pendidikan dan Dakwah
Dalam waktu yang relative singkat Habib Abullah asy-Syathiri dapat menyerap berbagai macam disiplin ilmu agama, maka dengan kapabilitas keilumaannya yang tinggi meskipun umur beliau masih tergolong belia kurang lebih 23 tahun, namun beliau telah layak untuk mengemban sebuah amanah besar yaitu melanjutkan perjuangan orang-tua beliau yaitu mengajar sekaligus memimpin administrasi di Rubat Tarim sepulangnya dari kota Mekkah, karena memang ketika itu sangat diperlukan tenaga menejeman. Namun kajian umum seperti "rouhah" dan "madras" yang rutin diadakan setiap hari Sabtu dan Rabu masih diampu oleh para guru-guru sepuh yaitu mufti hadhramiyah al-allahmah habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur.
Khidmah beliau terhadap ilmu serta penyebarannya kesegala penjuru dan kalangan sangatlah besar sebagaimana tercermin dari ucapan Habib Alwi bin Muhammad Al-Muhdhar bahwa beliau tidak mendapati daerah yang di dalamnya ada madrasah atau tempat mencari ilmu kemudian ditanyakan kepada siapa mereka belajar kecuali jawabannya adalah mereka berguru pada Habib Abdullah Syathiri atau murid dari muridnya.
Selain mengajar di Rubat Tarim beliau juga mengisi kegiatan baca mauled nabawi yang rutin dilaksanakan di masjid jami' Tarim tiap malam Jum'at yang dilanjutkan dengan muhadharah dan dakwah terhadap para hadirin, kegiatan ini berlangsung setelah wafatnya guru beliau Habib Alwi bin Abdurrahman bin Abi Bakar Al-Masyhur, meskipun beliau sering juga seringkali menggantikan gurunya kala berhalangan untuk hadir.
Beliau juga Sering kali mengadakan kegiatan membuka majlis di Tarim selain kegiatan ta'lim di Rubath, dan biasanya hadirin yang datang tidak sedikit baik dari kalangan ulama maupun masyarakat Tarim lebih-lebih lagi kalangan thalabah Rubath sendiri. Sedangkan untuk pengajian di Rubath tiap habis shalat Subuh, Ashar dan Maghrib tidak pernah beliau tinggalkan bagaimanapun keadaanya kecuali ada halangan syara', bahkan beliau sering memaksakan diri untuk hadir dan mengalami banyak kepayahan dan kesulitan. Apabila mengalami sakit sehingga tidak bisa berjalan ke Rubath untuk mengajar maka beliau memanggil para thalabah untuk datang ke rumahnya dan menyuruh mereka membaca kitab dihadapannya karena beliau ingin sekali agar thalabah tidak menyia-nyiakan waktu sehingga semuanya mendapatkan faidah ilmu. Beliau sering berujar: "kami datang (ke Rubath) dengan sakit kepala dan beberapa penyakit maka kami berobat dengan mendengarkan ilmu (bacaan kitab dari para santri)." Dan berkata pula: "jangan kalian sangka wahai anak-anakku (sapaan beliau terhadap para santri) bahwa tidak ada bagi kami teman yang meminta kepada kami untuk datang ketempat mereka untuk menghadiri jamuan secangkir kopi dan sedikit makanan, akan tetapi kami berpaling dari mereka (menolak untuk menghadirinya) dan kami lebih mengutamakan kalian, dengan harapan dapat memberikan kalian manfaat ilmu."
Diantara kebiasaan beliau di akhir hidupnya adalah jalan berkeliling mengontrol halaqah-halaqah yang ada di Rubath, hal itu beliau lakukan setelah shalat Subuh setiap harinya selain hari selasa, kamis dan Jum'at. Semua halaqah beliau datangi dan menanyakan apakah gurunya hadir atau tidak?. Apabila ada diantara dewan gurunya tidak hadir, maka beliau meminta seseorang untuk menemuinya dan memintanya hadir sedangkan beliau duduk di halaqah tersebut untuk menggantikan sementara sampai guru yang dipanggil tadi datang. Dan apabila seluruh dewan gurunya hadir semua, maka beliau duduk ditengah-tengah santri dalam suatu halaqah yang diinginkannya dan menanyakan tentang apa yang mereka baca dan membahas masalah yang sulit dipahami. Para santri pun sangat senang dan gembira dengan berkelilingnya guru besar mereka, menemui dan memberikan mereka semangat dalam belajar sehingga masing-masing dari mereka ingin diperhatikan oleh sang maha guru.
Wafatnya
Hampir satu bulan lebih sebelum wafat beliau sakit, menderita penyakit yang sedari dulu tak kunjung sembuh yaitu gejala penyakit ambien (wasir) dengan sering keluar angin dari dubur beliau, beliau sudah mencoba berobat kepada beberapa orang dokter tetapi hasilnya tetap saja nihil. Akan tetapi semua itu tidak mengganggu aktivitas beliau dalam beribadah, semua shalat fardhu beliau laksanakan bahkan terkadang menyuruh anak-anaknya atau sebagian dari muridnya untuk membaca kitab dihadapan beliau.
Pada tanggal 7 Jumadil Ula 1361 H. (menurut keterangan Sayyid Muhammad bin Hafizh dari Sayyid Muhammad Al-Mahdi) yaitu dua puluh hari sebelum wafatnya, beliau menyuruh hadir/datang seluruh anak-anaknya, kerabat dan keluarga semuanya baik laki-laki ataupun perempuan. Beliau berwasiat kepada mereka supaya saling kasih mengasihi, sayang menyayangi, saling membantu satu sama lain. Dan beliau membritahu mereka bahwa tidak lama lagi beliau akan meninggalkan mereka untuk menemuai kehadhirat Allah Swt. Mendengar perkataan tersebut menangislah seluruh yang hadir.
Pada hari Jum'at tanggal 28 Jumadil Ula beliau sudah tidak mau bicara, kemudian setelah shalat Jum'at anak-anak beliau membukakan pintu rumah kepada siapa saja yang ingin berziarah atau ingin ambil berkah, maka dengan spontan orang berdatangan kerumah beliau.
Pada malam sabtu tanggal 29 Jumadil Ula 1361 H. dua puluh empat menit setelah tenggelam matahari ruh beliau diambil Yang Maha Kuasa, jenazah beliau dishalatkan di Jabannah setelah shalat Ashar sore hari Sabtu. Banyak orang berdatangan dari penjuru daerah seperti Syibam, Seiyun, Qasam, Inad dan lain-lain untuk menghadiri shalat jenazah Habib Abdullah Asy-Syatiri. Pada kesempatan itu turut hadir ulama-ulama besar Hadhramaut seperti Habib Mustafa bin Abdullah bin Smith, Habib Muhammad bin Hadi As-Seggaf, Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi dan banyak lagi selain dari mereka.
Jenazah beliau dimakamkan di Turbah Zanbal Tarim berdekatan dengan ibunya Hababah Nur binti Umar bin Abdullah bin Syihabiddin tepatnya dibawah kaki ibunya tafaulan bahwa surga ditelapak kaki ibu.
Kota Tarim berduka dengan wafatnya sang guru yang sangat dicintai muridnya, tetesan air mata pun tak mampu dibendung, para santri merasa kaku tak mapu untuk bicara ditinggal sang panutan yang telah berjasa membimbing mereka. Masyarakat Tarim pun bersedih ditinggalkan salah seorang suri tauladan yang bijaksana telah tiada pergi untuk selama-lamanya. Semoga Allah membalas jerih payah beliau dalam membimbing umat dan dakwah ilallah.