Setiap insan tidak dapat menjadi mukmin yang hakiki kecuali dia telah
banyak ingat pada Allah SWT. Hingga ia masuk kedalam golongan yang Allah
sebutkan dalam Al-Qur’an: “laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut
(nama) Allah,” (al-Ahzab: 35). dan jika seorang mukmin telah banyak
ingat pada Allah sebagaimana yang diperintahkan Nya niscaya dia tidak
akan pernah mendapati satu kejadian pun di dunia ini melainkan dia akan
selalu ingat pada Allah.
Sesungguhnya pengamatan kita pada semesta alam ini akan memperlihatkan kepada kita tanda-tanda kemaha-esaan Allah, kebesaran pencipataan-Nya yang kemudian akan menuntun lisan kita untuk bertahlil, bertasbih dan beristigfar. Saat kita perhatikan sang surya ya mulai menyembul dari ufuk timur, kita akan diingatkan pada saat kita balita dulu, saat kita masih kanak-kanak yang polos dan mengetahui makna dibalik kehidupan di dunia ini, mentari pun terus merangkak hingga tepat di atas ubun-ubun yang mengingatkan kita pada masa remaja dan dewasa dan kita pun mulai mengetahui akan makna kehidupan ini, kita jua merasakan kasih sayang Tuhan pada diri kita yang atas segala anugrah yang dilimpakan-Nya, hingga tibalah waktu sore yang menggugah manusia pada umur yang semakin menua dan fisik yang semakin melemah. Sehingga kita harus sudah mempersiapkan diri dan bangkit dari kelengahan dan lenaan dunia dengan segala gemerlap kehidupannya yang fana, keimanan yang tertanam dalam di hati menuntun diri untuk memperbanyak dzikir pada sang Maha Pencipta, waktu sore ini pun akan memberikan peringatan bahwa sebentar lagi kita akan meninggalkan dunia ini dan tidak lama lagi kehidupan yang lain akan segera kita lakoni. Hingga tenggelam-lah sang mentari ke peraduannya di ufuk barat sana yang berarti kehidupan alam barzakh dimana kita akan kembali kepada-Nya.
Demikian lah seharusnya seorang mukmin, jika tidak maka ia bukanlah mukin yang hakiki… tidak seorangpun dari golongan orang-orang yang beriman, yang berinteraksi dengan Allah dalam memahami ayat-ayatnya, merenungi tanda-tanda keberadaan-Nya dan malakoni syari’at dari-Nya kemudian hatinya tidak dijadikan bejana untuk selalu berdzikir pada Allah, tidak hal itu tidak akan terjadi. Tidak mungkin seorang hamba yang beriman tidak mampu mengaitkan antara kekuatan imannya kepada Allah dan antara semua kejadian yang wujud di semesta alam ini dengan selalu mengingat Allah.
Jika kita dapati seorang yang lisannya sering mengumandangkan symbol-simbol iman dan islam sedangkan hatinya lalai pada esensi yang ia ucapakan, maka ketahuilah bahwa ia memiliki dualisme identitas. Kita dapati lisannya beriman bahkan keimanannya itu sangat agung, sangat bersemangat untuk berdzikir pada Allah namun saat kita telusuri pada hakikat yang ada dalam hatinya sungguh akan kita dapatkan perkara yang sama sekali berlawanan, karena hatinya penuh dengan mengingat kehidupan duniawi, syahwat, hawa nafsu, kenikmatan sesaat, impian-impian kosong, gemar menjadi pimpinan dan suka berkuasa dan seterusnya.
Ketahuilah bahwa bangunan yang fisik yang kokoh, apa yang membuat bangungan itu kuat dan tahan dari segala goncangan? Jawabnya ada pada pondasi bangunan tersebut. Pondasi yang ada dalam bangunan itulah yang menjadikan bangunan itu kokoh dan pondasi itu tentunya tidak terlihat oleh mata telanjang kita. Tanpa adanya pondasi yang kuat, tidak mungkin bangunan itu akan tahan lama bahka ia akan runtuh seketika dengan hanya sedikit goncangan saja. Demikian juga dengan bangunan ke-islaman kita, tidaklah jauh berbeda. Panampakan yang terlihat tidak mungkin akan menjadi kokoh jika tidak disokong dengan adanya pondasi yang juga kokoh, dan sedalam apa akar keimanan yang tertancap pada jiwa seorang muslim sekuat itu pulalah bangunan amal ibadah hamba tersebut dihadapan Allah, ibadahnyapun akan diterima-Nya dan perilakukanya akan memberikan dampak positif bagi masyarakat. Maka apa yang ada dalam batin kita, itulah yang akan mampu menopang dzohir ke-imanan kita.
Namun dari apa saja batin ini tersusun, yaitu terdiri dari unsure cinta yang menguasai hati, tercipta dari unsure penga-gungan kita pada Allah, teridiri dari rasa takut kita pada Allah, kemudian juga terdiri dari memperbanyak dzikir pada Allah, bukan hanya dzikir denga lisan semata meskipun hal itu merupakan bagian dari keimanan secara dzohir, bukan hanya lisan saja yang berdzikir tapi lebih dari dzikirnya qalbu kita. dan cinta adalah ruh ke-Islaman yang tersembunyi, dan barangsiapa yang belum mendapati dalam dirinya hal ini, maka sadarlah bahwa ia akar yang ada dalam batin itu sedang terkena penyakit, persis seperti akar pohon yang sedang terkena hama penyakit. Karena tidak akan tegar ke-imanan seorang jika akar keimanannya belum disuburkan dengan pupuk cinta pada Allah.
Oleh: AM Saputra,
Disadur dari pilihan khutbah Jum’at Dr. Said Ramadhan al-Bouthy