Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang dilaksanakan oleh kaum
muslimin di seluruh dunia. Allah swt. telah mewajibkannya kepada kaum
yang beriman, sebagaimana telah diwajibkan atas kaum sebelum Muhammad
saw. Puasa merupakan amal ibadah yang telah diwajibkan atas setiap
umat-umat terdahulu.
Kewajiban puasa Ramadhan berlandaskan Al-qur'an, Sunnah, dan Ijma.
"Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Umar, bahwasanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda: Islam berdiri atas lima pilar: kesaksian tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, haji ke Baitullah (Makkah) dan berpuasa di bulan Ramadhan."
Berdasarkan keterangan di atas maka kewajiban puasa Ramadhan sangat terang. Barang siapa yang mengingkari atau mengabaikan keberadaannya dia termasuk orang kafir, kecuali mereka yang hidup pada zaman Islam masih baru atau orang yang hidup jauh dari ulama.
Fadilah Shaum
Sederetan hadits telah menjelaskan panjang lebar tentang keutamaan puasa Ramadhan diantaranya adalah disebutkan dalam ihya’ ulumud din di muqoddimah kitab shaum: 1) shaum adalah seperempat dari keimanan, 2) shaum adalah ibadah istimewa karena “innahu li wa ana ajzi bih”, 3) adanya pintu “ar-rayyan” di surga yang khusus diperuntukkan bagi ahli shaum, 4) shaum adalah pintunya ibadah, sabda nabi: “setiap sesuatu itu memiliki pintu dan pintunya ibadah adaah shaum. Dan masih banyak lagi keutamaan-keutamaan yang lainnya dan pembaca bisa merujuk langsung di kitab shaum dari ihya’ ulumddin oleh imam Ghazali.
Puasanya orang-orang saleh
Di samping pahalanya yang begitu menjanjikan, di sana juga ada pantangan yang dapat begitu saja menggugurkan pahala shaum. Maka tidak heran Nabi Muhammad memeperingatkan bahwa kelak ada suatu kaum yang shaum namun dia tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja. Oleh karenanya perlulah kiranya kita melihat bagaimana golongan orang-orang saleh melaksanakan ibadah shaum mereka agar shaum kita dapat meningkat kualitasnya dari tahun-tahun yang sebelumnya, amin.
Puasa orang saleh ini menurut imam Ghazali berada satu tingkat di atas puasanya orang awam yang hanya menahan lapar dan dahaga, karena mereka selain memenuhi syarat dan rukun puasa secara fikih mereka juga menahan diri dari perbuatan dosa. Dan perinciannya adalah sebagai berikut:
1) Menahan pandangan mata dari setiap penglihatan yang melenakan dari dzikir kepada Allah
2) Menjaga lisan dari perkataan kotor, dusta, ghibah dan perang mulut dengan diam dan syughul dengan dzikir pada Allah serta tadarus Al Qur’an.
3) Menjaga pendengaran dari perkara yang makruh dan haram untuk didengarkan, “setiap perkara yang diharamkan untuk diucapkan, haram juga untuk didengarkan.”
4) Menjaga semua anggota badan dari perbuatan dosa baik tangan maupun kaki, menahan perut dari memakan barang syubhat ketika berbuka. Karena akan tidak bernilai makna puasa yang menahan untuk tidak memakan barang halal tetapi ia berbuka dengan barang haram. Perumpaan orang ini seperti mereka yang membangun istana kemudian menghancurkannya kembali.
5) Seyogyanya tidak berlebihan memakan makanan halal ketika berbuka, karena tidak ada tempat yang lebih Allah benci dari perut yang penuh dengan makanan halal.
6) Hatinya setelah berbuka puasa selalu was-was antara harap dan cemas karena dia tidak tahu apakah puasanya diterima atau ditolak.
Semoga kita semua diberikan taufiq oleh Allah untuk selalu berada dalam ‘inayah-Nya sehingga kita akan diberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah di bulan yang penuh Rahmat dan ampunan ini. karena kedudukan bulan Ramadhan yang begitu tinggi serta dilipat gandakannya amal kebajikan di bulan ini maka sudah sepantasnya kita tidak mendatangi perbuatan di luar orientasi akhirat sebagaimana pesan habib Abdullah al-Haddad dalam risalah al-mu’awanah: “hendaknya tidak mendatangi amal keduniawiaan kecuali terpaksa harus melakukannya, bekerjalah untuk menopang kehidupan di luar bulan Ramadhan agar bisa beribadah secara total di bulan ini, apa lagi di sepertiga akhirnya sampai-sampai jika mampu untuk tidak keluar dari masjid pada hari-hari itu maka lakukanlah.” Wallahua’lam (Ade Machun Saputra)