Hijrah Sebelum Islam
Zaman dahulu, di kawasan Arab bagian
selatan (Hadhramaut dan sekitarnya) curah hujan sangat tinggi. Di
tengah cuaca Jazirah Arab yang panas dan kering, kawasan selatan yang
sangat subur itu laksana ‘surga dunia’. Hal ini sebagaimana diceritakan
orang-orang Yunani dan Romawi, bahwa di selatan Semenanjung Arab saat
itu, persediaan air selalu tercukupi. Hal ini terlihat dari banyaknya
kebun, buah-buahan, sawah, ladang, rempah-rempah dan tanaman bukhur
(gaharu) yang asri, hijau dan sedap dipandang mata.
Tidak mengherankan bila wilayah selatan Arab menjadi impian tempat tinggal bagi manusia, seperti Qitban dan Seba. Ribuan tahun mereka menempati wilayah ini.
Takdir berkehendak lain. Kesuburan, kemakmuran dan kenikmatan yang melimpah itu tidak berlangsung lama. Semenanjung Arab mulai dihantam krisis, seperti kekeringan, tak ada hujan, sehingga tumbuh-tumbuhan mati dan musnah.
Kondisi yang buruk serta perubahan memaksa orang Arab bagian selatan untuk mengungsi dan berhijrah ke luar negeri untuk bertahan hidup. Sebagian besar mereka mengungsi ke pesisir pantai barat India, khususnya Jadrazia yang terletak di antara pegunungan Kiralaa dan Sungai Sind. Di sanalah mereka kemudian bertempat tinggal dan mengembangkan perkotaan serta membangun armada perdagangan. Mereka bolak-balik antara India, selatan Arab dan Afrika Timur dengan membawa berbagai macam barang dagangan. Selain berziarah ke pesisir India, orang-orang Arab bagian selatan juga berhijrah ke pesisir Afrika, Eritrea dan Somalia.
Sulit untuk menentukan kapan pertama kali mereka berhijrah. Namun ahli sejarah mengatakan bahwa awal mula mereka hijrah terjadi beberapa abad sebelum kelahiran al-Masih (Nabi Isa AS).
Hijrah Setelah Islam
Orang-orang Arab selatan terus melanjutkan petualangan hijrahnya ke Eritrea dan Somalia, sampai Agama Islam muncul dan berkembang. Motivasi hijrah ini sama dengan motivasi pendahulu-pendahulu mereka yang telah hijrah sebelum Islam.
Hadharim (etnis Hadhramaut) yang telah hijrah kebanyakan berdomisili di pesisir pantai. Mereka berdatangan ke tempat tersebut disebabkan kondisi kehidupan di negerinya yang serba sulit.
Semakin lama, orang yang berhijrah semakin bertambah banyak. Dengan kemahiran dan kemampuan yang mereka miliki, mereka dapat menguasai perdagangan, bahkan mendirikan wilayah kekuasaan sendiri di daerah-daerah pesisir Somalia. Di antara kota yang penting dan terkenal adalah Zaila dan Maqdisou (Ibukota Somalia).
Setelah Khalifah Abu Bakar radliyallahu ‘anhu berhasil menumpas pergolakan orang-orang yang murtad, Beliau mengeluarkan perintah untuk melakukan perluasan daerah kekuasan Islam. Negeri Hadhramaut turut membantu dengan menyiapkan pasukan Islam dan mengerahkan ribuan pasukan berkuda lengkap dengan komandan panglimanya. Tokoh-tokoh cendekia dari Hadhramaut juga bergabung dengan pasukan Islam. Hal ini lambat laun berdampak buruk bagi Hadhramaut. Negeri itu menjadi sepi dari penduduk dan banyak sekali pejuang-pejuang tentara Islam yang memutuskan untuk bertempat tinggal di negara-negara yang telah ditaklukkannya.
Banyak dari mereka yang kemudian tinggal di kota Kufah (Iraq), dan membuat perkampungan-perkampungan yang diberi nama sesuai dengan nama-nama perkampungan mereka, seperti kampung Hadhramaut, Kindah, Sukun dan lainnya.
Di samping itu, Hadharim juga banyak yang tinggal di Hijaz. Ketika penaklukan tentara Islam benar-benar telah meluas hingga mencakup Syam dan Mesir, tidak sedikit dari Hadharim yang mendapat kedudukan penting di kota Hamas dan memilih untuk tetap bertempat tinggal di kota itu, khususnya tentara dari Kabilah Sukun. Sebagian lagi bertempat tinggal di Syam dan Damaskus. Banyak juga yang tinggal di Mesir, di antaranya dari Kabilah Shadaf, Sukun, Kindah, dan Mahra. Mereka memang turut berperan dalam penaklukan Mesir bersama tentara Amr bin Ash. Perkampungan mereka terdapat di daerah Fusthath dan Fiun. Kebanyakan mereka menjadi pejabat tinggi negara, panglima perang dan qadhi.
Faktor hijrah inilah, yang menyebabkan penduduk Hadhramaut menjadi berkurang dan negeri tersebut hampir tidak ada penghuninya, sebagaimana dikatakan seorang penyair :
Dan para qadhi telah benar-benar menguasai setiap bumi
Dari orang-orang terkemuka Hadhramaut yang muli, tak ada bandingnya
Dari gemblengan pemimpin-pemimpin yang ramah dan agung
Hijrah ke Yaman bagian Utara
Semakin lama, banyak pula Hadharim yang hijrah ke Yaman bagian utara untuk berdagang (saat itu Hadhramaut belum bergabung dengan Yaman). Pada permulaan abad ke-6 H mereka berhenti hijrah. Namun pada permulaan abad ke-7, jelajah hijrah dimulai lagi, yakni ke Yaman bagian utara untuk berdagang dan menuntut ilmu.
Di antara mereka yang paling terkenal adalah Muhammad bin Husain bin Ali bin Makhramah. Pada masa itu, dia menjadi sumber rujukan ilmu fiqh dan fatwa di Kota Zabid.
Hijrah ke Hijaz (Saudi Arabia)
Seiring dengan datangnya ajaran Islam, minat hijrah makin bertambah. Namun hijrah kali ini terbatas dan lebih teratur, dengan tujuan utama untuk berdagang. Pada masa Daulah Utsmaniyah di Turki, mereka bisa menguasai pemerintah, sehingga saat itu, mereka menjadi tempat kepercayaan bagi semua lapisan masyarakat.
Pada saat Syarif Abdul Muthalib dan keturunannya berkuasa, yang menjabat sebagai Menteri Keuangan adalah Sa'id Ahmad Ba Na'ma dari Hadhramaut. Dan ketika datang era as-Su'ud dengan mendirikan kerajaan Arab Saudi, Hadharim telah tersebar disana.
Hijrah ke India
Besarnya frekuensi muhajirin Hadharim ke India berada pada posisi kedua setelah Indonesia, dan berkurang setelah kemerdekaan India.
Sebagian besar dari Hadharim di sana aktif sebagai tentara dalam pasukan Raja Haidar Abad. Mereka mendapat kepercayaan dari para pembesar, hingga banyak juga dari mereka yang bekerja sebagai penjaga istana dan di instansi-instansi pemerintah. Namun kondisi ini berubah setelah India merdeka. Negeri yang baru saja merdeka itu merangkul pemerintahan Haidar Abad untuk mengusir orang-orang Arab serta menguasai harta mereka.
Hijrah ke Indonesia
Hijrah Hadharim ke Indonesia merupakan hijrah terbesar dan paling bersejarah dalam perjalanan hidup mereka. Hal ini dikarenakan hijrah itu berhasil menjadikan ajaran Islam tersebar di Asia Tenggara. Pada awalnya, tujuan mereka hijrah ke Indonesia bukan untuk menyebarkan Islam, tetapi untuk mencari nafkah.
Namun ketika mereka melihat rakyat Indonesia belum mengenal Islam, mereka tergugah untuk menyebarkan Islam di sana. Proses hijrah ini terus berlanjut sampai abad 19 M.