Tarim – Hadramaut Info, Jurnalistik merupakan bagian penting dalam
ilmu komunikasi modern. Ibnu Khaldun al-Hadhrami, dalam Muqqadimah-nya,
menyebutnya sebagai ilmu lisan. Sementara dunia kepenulisan zaman itu,
populer menyebut jurnalis sebagai al-katib, al-nasikh,atau al-warraq.
Kini, dalam frame pers modern, aktivitas jurnalistik akrab disebut
al-shahafah.
Shahafah adalah hal ilhwal terkait pewartaan dan penulisan sebuah berita. Ia adalah aktivitas keilmuan, yang sejatinya tidak bisa dilepaskan dari agama Islam. Namun tantangan kita tidak sederhana. Dunia pers telah menunjukkan wajah barunya. Bahkan kekuatan pers bisa dikatakan lebih dahsyat dari kekuatan harta. Dalam dunia perwayangan, posisi pers nyaris ibarat sebuah dalang. Ia mampu menggerakkan kesana kemari opini publik.
Di tengah carut marut kebebasan pers yang berkembang saat ini, lantas muncul pertanyaan serius. Adakah konsep pers dan jurnalistik memiliki transenden yang nyata dalam turots Islam ?. ataukah justru kode etik yang berkembang saat ini hanya semata-mata inovasi Barat?
Persoalan inilah yang coba diangkat oleh Asosiasi Mahasiswa Indonesia (AMI) Universitas Al-Ahgaff, Tarim pada Ahad (23/12) dalam Forum Diskusi (Fordis). Acara yang dihelat di Auditorium Fakultas Syariah, Tarim tersebut berjalan sukses bekerjasama dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Hadhramaut. Dinarasumberi oleh M. Khotibul Umam, B.Sc (Alumnus Ahgaff 2012, mantan koresponden Hadramaut Info), dan dimoderatori M. Kholillurrahman, diskusi kali ini membedah kitab karya ulama klasik abad ke tiga hijriah “Adab al-Katib” karya Ibnu Qutaibah.
Fokus kajian terhadap karya Ibnu Qutaibah tersebut tentu bukan tanpa alasan. Selain bisa dikatakan buku pertama yang mengulas tentang kode etik jurnalistik Islam, buku tersebut juga terlahir dari sastrawan asal Kota Baghdad, Irak, yang dinilai multitalenta. Bahkan, adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala’, memberikan predikat Ibnu Qutaibah sebagai garda Ahlussunnah yang terpercaya. Hal itulah yang menginspirasi pemakalah untuk memberikat predikat Ibnu Qutaibah sebagai “Aswaja Journalist“.
Bagi Umam, ide cemerlang Ibnu Qutaibah dalam Adabul Katib perlu terus dieksplorasi oleh aktivis jurnalistik di era modern. Sehingga tidak hanya silau dengan kebebasan pers yang hanya digemborkan pihak Barat. Melalui karyanya tersebut, Ibnu Qutaibah tak hanya mampu memberikan prolog sebelum memasuki dunia kewartawanan. Namun ia juga berhasil mendialogkan sejumlah teori kepenulisan dengan nilai-nilai fundamental dalam Islam, dengan menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai titik berpijak.
“Kebebasan pers harus diimbangi dengan kode etik jurnalistik perspektif Islam,” tegas narasumber asal Sampang Madura yang baru saja menerbitkan buku Hahdramaut Corner tersebut.
Secara universal, kode etik dalam Adab al-Katib-nya Ibnu Qutaibah beranjak dari empat sifat Rasulullah Saw, yaitu ; kejujuran (al-shidiq), dapat dipercaya (al-amanah), menyampaikan (tabligh), dan kecerdasan (fathonah). Empat hal inilah yang menjadi poros segala kegiatan jurnalistik.
Dalam Adabul Katib, Ibnu Qutaibah merincinya menjadi enam poin utama. Pertama, akhlak mulia sebelum indah berbahasa. Dua, jujur dalam setiap situasi. Tiga, obyektif dan konstruktif. Empat, proporsional dan netral. Lima, sistematis dan praktis. Dan yang terakhir, konseptual dan kontekstual. Keenam poin inilah yang harus dimiliki seorang jurnalis, bukan hanya sekedar teori, namun juga aplikasi nyata dalam menjalankan tugas kewartawanannya.
Diskusi yang dihadiri kurang lebih tiga puluh mahasiswa diskusan tersebut semakin menarik saat memasuki sesi dialog. Terlebih, diantara diskusan ada yang melengkapi wacana malam itu dengan membawa beberapa referensi sekunder. Seperti buku Fikih Jurnalistik karya Faris Khoirul Anam, Lc. Sehingga fokus kajian menjadi semakin tajam. Acara yang berakhir pukul 23.00 KSA tersebut berakhir dengan kesimpulan : bahwa insan pers muslim harus mampu menjaga idealismenya bukan hanya sebagai seorang wartawan, namun juga seorang muslim yang membawa teguh ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian, kebebasan pers tidak harus berbenturan dengan norma agama. (Dzul Fahmi)