Laporan Bedah Buku “Nuansa Fikih Sosial” karya KH. Sahal Mahfudz
Tarim – Hadhramaut Info, Eksistensi fikih Islam dalam memecahkan kebuntuan problematika kehidupan terus menerus dipertanyakan. Anggapan bahwa fikih Islam bersifat rigid dan stagnan harus dijawab secara tuntas. Beberapa konsep pengembangan fikih telah coba dirumuskan ulama dunia, tak terkecuali ulama nusantara. Salah satunya adalah KH. Sahal Mahfudz dalam bukunya berjudul “Nuansa Fikih Sosial”.
Dengan membawa spirit ilmiah untuk terus mengkaji dan mengkaji, Forum Diskusi (Fordis) Asosiasi Mahasiswa Indonesia (AMI) Al-Ahgaff mengadakan acara bedah buku tersebut pada Senin (15/04). Acara yang diselenggarakan di Auditorium Fakultas Syariah Universitas Al-Ahgaff, Tarim, tersebut diikuti dengan antusias oleh sekitar 35 diskusan. Hadir selaku pembedah kali ini adalah M. Nur Salikin, mahasiswa tingkat tiga fakultas syariah wal qanun, dan M. Shofwan Jauhari.
Memulai presentasinya, pembedah memaparkan secara ringkas biografi Kiai Sahal. Kiai Sahal lahir pada tangga 17 Desember 1937 M. di desa Kajen, Pati, Jawa Tengah.Beliau adalah putra Kiai Mahfudh Salam yang memiliki jalur nasab dengan Kiai Ahmad Mutamakkin, salah satu ulama' besar di Pati Jawa Tengah.Setelah beberapa tahun belajar di lingkungannya sendiri, Sahal muda kemudian melakukan pengembaraan untuk menuntut ilmu. Pesantren pertama yang ia tuju adalah pesantren Bendo, Pare, Kediri Jawa Timur, asuhan kiai Muhajir. Setelah di Bendo, ia melanjutkan ke pesantren Sarang Rembang Jawa Tengah, asuhan kiai Zubair. Pada pertengahan tahun 1960-an Sahal belajar ke Mekkah di bawah bimbingan langsung Syekh Yasin al-Fadani. Sementara pendidikan umumnya hanya diperoleh dari kursus ilmu umum di Kajen antara tahun 1951-1953.
Kendati pendidikan formal kiai Sahal hanya ditempuh di pesantren, namun semangat membacanya tidak hanya terbatas kepada buku-buku agama. Disamping mengikuti kursus yang hanya tiga tahun itu, kiai Sahal juga mempelajari ilmu umum secara otodidak. Baginya, ilmu apapun perlu dibaca dan dipelajari selama itu bisa bermanfaat.
Salikin lantas mulai membedah isi buku yang berisi kumpulan makalah serta ceramah Kiai Sahal dalam berbagai seminar tersebut. Ia menyatakan, bahwa ada tiga ide pokok yang diusung oleh Kiai yang kini memangku amanah sebagai Rais ‘Am PBNU tersebut. Pertama, kontekstualisasi hukum fikih. Kedua, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Dan yang ketiga, pesantren, pendidikan, dan masyarakat.
Upaya pengembangan fikih, bagi Kiai Sahal, bisa dimulai dari kontekstualisasi kitab salaf. Bagi kiai Sahal, Jawaban-jawaban fuqoha' masa lampau yang tertuang dalam kitab-kitab salaf itu tidak boleh dipahami secara tekstual tetapi secara kontekstual.Sebab, pada dasarnya jawaban fuqoha' tersebut tidaklah muncul dari ruang hampa. Ia muncul ke permukaan berdasarkan latar belakang tertentu. Oleh karenanya, komitmen untuk tetap setia mengikuti fuqoha' masa lampau tidaklah selalu harus menundukkan problem masa kini terhadap jawaban mereka secara tekstual. Langkah demikian terkadang justru bisa menyalahi maksud yang sesungguhnya dari para fuqoha' tersebut. Karenanya, seorang pakar fikih disamping harus menguasai ilmu fikih secara mendalam ia juga diharuskan memahami situasi dan kondisi dimana ia hidup.
Dalam hal ini, Imam al-Qarafi mengatakan, "Apabila tradisi masyarakat mengalami perubahan maka perhitungkanlah dan apabila tradisi itu sudah tidak berlaku maka tinggalkanlah dan janganlah kamu terpaku kepada yang tertulis didalam kitab-kitab. Akan tetapi, jika seseorang dari daerah lain datang kepadamu meminta fatwa maka janganlah kamu berlakukan baginnya tradisi daerahmu akan tetapi tanyakanlah tradisi daerahnya dan berfatwalah sesuai tradisi itu bukan sesuai tradisi daeramu dan ketetapan dalam kitabmu. Cara seperti inilah yang benar, sementara terpaku kepada yang tertulis dalam kitab adalah kesesatan dalam agama dan kebodohan terhadap tujuan-tujuan ulama-ulama dahulu".
Selain melalui kontektualisasi kitab salaf, upaya pengembangan fikih juga bisa dilakukan dengan cara memperluas penggunaan kaidah fiqhiyyah dan kaidah ushuliyyah untuk digunakan bukan hanya pada persoalan fikih individual yang menyangkut halal haram, tetapi juga untuk memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut kebijakan publik, baik menyangkut kebijakan politik, kesehatan dan lain-lain.
Satu contoh kaidah “idza ta'aradla mafsadatani ru'iya a'dhohuma dlararan bi irtikabi akhoffuhumma”. Bagi kiai Sahal, kaidah ini bisa dipalikasikan misalnya, untuk melihat fenomena lokalilisasi pekerja seks komersial. Meski prostitusi jelas dilarang oleh agama.Namun, sebagai persoalan sosial yang sangat kompleks, prostitusi bukanlah sesuatu yang mudah untuk dihilangkan. Dalam kondisi semacam ini tentu saja kita dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama mafsadah ; yaitu membiarkan prostitusi tidak terkontrol di tengah masyarakat atau melokalisir sehingga prostitusi bisa terkontrol. Bagi kiai Sahal, berdasarkan tinjauan fikih sosial tindakan lokalisasi terhadap Wanita Pekerja Seks Komersial bisa dibenarkan, sebab, kebijakan itu merupakan pilihan yang didasarkan atas prinsip memilih perbuatan yang dampak buruknya lebih ringan sesuai kaidah diatas.
Lebih dari itu, kiai Sahal memandang adanya kebutuhan akan pergeseran paradigma fikih; yaitu pergeseran dari fikih yang formalistik menjadi fikih yang etik. Secara metodologis hal ini bisa dilakukan dengan cara mengintegrasikan hikmah hukum ke dalam illat hukum. Atau dengan kata lain, mengintegrasikan pola pemahaman qiyasi murni dengan pola pemahaman yang berorientasi pada tujuan-tujuan universal syariah (maqashid al-syariah).Tujuan-tujuan universal syariah itu berkisar pada lima hal, yaitu memelihara tegaknya agama (hifzh al-dîn), perlindungan jiwa (hifzh al-nafs), perlindungan terhadap akal (hifzh al-'aql), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan perlindungan atas harta kekayaan (hifzh al-mâl).
Dengan demikian, fikih akan senantiasa mampu menemukan relevansinya dalam menghadapi tantangan zaman. [Dzul Fahmi]