Batasan pembeda antara Karamah seorang wali dan istidraj (ilusi) seorang pengaku-aku
Banyak terjadi dizaman akhir ini pengaburan makna tasawwuf begitu juga buah ibadah dan amal saleh serta perilaku para penggedenya. Diantara bentuk pengaburan ini adalah penyama rataan batasan karamah yang muncul dari para wali Allah dengan sihir, hasil mantera yang biasa ditampilkan oleh penyembah setan, sehingga para generasi yang terpengaruh tidak percaya akan adanya buah dari amal saleh para wali apalagi sampai mangakui munculnya hal tersebut dari mereka.
Demi menutup kebutuhan zaman akan pencerahan dalam masalah ini dengan menggunakan bahasa zaman ini, maka kami telah mengumpulkan beberapa macam bukti ada dan terjadiya karamah dari para wali sekaligus kami paparkan argument-argumen logis tentang hal itu dalam kitab Syurut Al Ittishaf Fi Man Yuthali' Kutub Al Aslaf Ka Al Masyra' Wa Al Ghurar Wa Al Tiryaaq, Wa Al Jauhar Al Syaffaf.
Karamah dan hal-hal yang luar biasa
Karamah adalah buah ketaatan kepada Allah, dan bukan sesuatu yang lazim, kenyataan di Hadhramaut mengatakan karamah bukanlah target ketaatan ataupun syarat kewalian, mereka berpedoman bahwa consistensi adalah paling agung nya karamah, bila ada seorang hamba diberikan Allah SWT karamah sebab ketaatan dan ibadahnya dan dia terkenal dengn konsistensinya serta ketulusan dan keikhlasannya ketika berinterkasi kepada sesama, berperilaku sehari-hari, dan beribadah hanya demi Allah semata, maka orang akan menerima hal itu dan meyakini bahwa orang tersebut memiliki kebaikan, dan meminta doa darinya tanpa meyakini kemaksuman (baca : terjaga dari segala salah dan dosa) orang tersebut juga karamah tersebut tidak akan terus-menerus tampak darinya.
Dalam masalah karamah yang muncul dari sebagaian hamba Allah yang saleh juga hal-hal luar biasa yang biasa muncul dari mereka,kami berpijak pada dasar-dasar sebagai berikut :
Pertama : karamah adalah reflek yang diciptakan Allah pada sebagaian hamba-Nya yang saleh dalam bentuk hal-hal yang tidak biasa untuk menegakkan kebenaran atau membekuk kebatilan.
Kedua tidak setiap wali memiliki karamah, juga tidak semua orang yang tampak pada dirinya hal-hal luar biasa bisa dikatakan wali, dan karamah bukan pula syarat dari syarat-syarat kewalian menurut ahlu sunnah wal jamaah, karena syarat yang paling utama adalah takwa kepada Allah SWT.
Ketiga : sebagian orang tak dapat membedakan antara karamah, sihir, mantera dan lain-lain, memang ketiganya tak dapat dibedakan kecuali dengan melihat perilaku keseharian, dan kesaksian kebagusan dan ketakwaannya dari orang-oarng yang hidup dizamannya.
Keempat : bukan merupakan syarat iman mempercayai karamah si a atau keluarbioasaan si b hanya saja yang menjadi syarat iman adalah kita tidak boleh membohongkan hal-hal tersebut bila terjadi pada orang yang bertakwa kepada Allah secara umum.
Kelima : kita harus tahu bahwa cerita-cerita dan riwayat-riwayat seputar karamah yang banyak didapati dalam kitab-kitab biografi bukam merupakan penuturan wali itu sendiri, hal ini yang meyebabkan terjadinya pembesar-besaran fakta dari realita aslinya, kami banyak meneliti kitab-kitab biografi yang didalamnya dimuat tentang karamah wali tertentu, isinya banyak diperbesarkan dari kenyataanya sebab husnu dhan penulis yang berlebih atau kefanatikannya terhadap gurunya yang berimbas pula pada sikap penulis tersebut terhadap para kroni dan saingan gurunya, dari sini timbul penambahan dan pengurangan atau unobyektifitas dalam tulisannya, sebagai contoh apa yang dituturkan oleh penulis kitab Al Jauhar Al Syaffaf di awal kitabnya,
Terkadanng kami ubah suatu cerita dari bentuk aslinya, kami pahami isinya lalu kami samapikan lagi dengan bentuk yang lebih pas sesuai dengan tren bahasa saat ini, sehingga kami tidak begitu mempedulikan penambahan dan pengurangan, atupun maju mundurnya runtutan ceritanya, sebagian kata juga kami ubah dengan yang lain, kami juga tidak menyebutkan tiga generasi pertama dari sanad riwayat.
Ini sudah merupakan bukti yang cukup bahwa tulisan para narrator biografi banyak mengalami gubahan dari riwayat aslinya
Berikut kami berikan salah satu contoh kasus ini yaitu cerita yang didalamnya tedapat corengan dan perusakan nama sebagaian para wali yang disebabkan oleh para murid mereka yang tidak pintar memahami kata-kata.
Penulis Al Jauhar Al Syaffaf menulis tentang Al Faqih Al Muqaddam pada cerita ke tiga puluh lima :
Diriwayat kan dari para syekh bahwasanya Maha Guru Al Faqih Al Muqaddam suatu hari keluar ke jalanan Tarim, saat itu jalan itu diperbaiki lantas beliau berhenti disitu, tampak seorang badui lewat jalan itu dengan menarik onta yang membawa dedauanan korma, lantas Al Faqih Al Muqaddam menawar daun korma tersebut, namun si badui enggan untuk mejualnya kepada beliau, semua orang yang ada disitu berujar kepada badui jual dedaunan itu kepada syekh tersebut dengan harga yang ia mau, lantas Al Imam Ahmad bin Abdul Rahman Abu Alawi datang kepada badui tersebut seraya berkata, juallah dedaunan itu kepada syekh sesuai harga yang ia mau, karena syekh tersebut begini-begini sembari menyebutkan manaqib syekh tersebut, lalu si badui tersentak sembari mengatakan, Syekh Muhammad bin Ali itu Allah?, ketika syekh mendengar lafadz Allah disebutkan langsung dengan keras mengatakan, iya….saya Allah…lalu pingsan.
Cerita ini juga dinukil dalam kitab Al Tiryaq dan lainnya akan tetapi semuanya menukil kata-kata Al Faqih "saya Allah" bukan dengan ekspresi mengingkari tapi dengan ekspresi mengaku, ini sangat berlawanan dengan kenyataan karena Al Faqih pingsan sebab beturan keras ketika si badui memgatakan hal tersebut.
Keenam : merupakan kebiasaan klasik untuk sibuk dalam mengabadikan cerita-cerita seputar karamah dalam buku-buku biografi hal ini merupakan efek dari tingkat pemahaman, budaya, dan kecondongan orang dizaman tersebut, sebab pada saat itu hal yang paling membedakan seorang wali dari yang lainnya dikalangan orang awam adalah karamah adapaun hal-hal lain seperti amal, akhlaq, kebajikan dan lainnya semua orang hamper setara dalam masalah ini, sehingga hal ini tidak menjadi topic utama pembahasan dalam biografi justru hanya merupakan pembahasan lintas lalu.
Sebagai contoh dari sekian banyak buku yang menceritakan biografi Al Faqih Al Muqaddam, hamper semua naratornya tidak menggunakan logika agar tulisan mereka menjadi kisah-kisah yang terasa betul-betul terjadi dan bisa dinalar dan dipaham baik dengan cara menjelaskan kalimat-kalimat yang terasa asing atau dengan mengembalikannnya kepada kuasa Allah SWT, para narrator klasik dalam hal ini kita tidak bisa menyalahkan hasil karya mereka, karena itu merupakan buah pemahaman, keilmuan, dan tingkat peradaban dan budaya mereka.
Diantara generasi sekarang ada juga yang dalam menyikapi fenomena muatan buku-buku biografi ini mereka hanya membirakannya begitu saja tanpa ada usaha untuk memberikan analisa, argument ataupun mendiskusikan hal teresbut, mereka bersikukuh kepada kebenaran model tulisan yang telah ditulis semenjak masa itu dan kerusakan sebenarnya ada pada pemahaman orang zaman sekarang, budaya, dan methode pemelajaran mereka.
Berangkat dari kenyataan ini dan untuk keluar dari persilangan pandang antara satu generasi dengan lainnya, kami gunakan pena kami sebagai penjelas dan pemersatu kedua kubu dalam batas kemampuan kami, sekira semua pihak tetap menghormati hamba-hamba Allah yang saleh tersebut tanpa mengusik kepribadian dan keyakinan mereka, sembari kembali menelaah buku-buku peninggalan tersebut, memahaminya dengan bahasa sekarang dengan cara analisa dan mencarikan dalil-dalinya. Bila diantara peninggalan itu ada yang tak terpahami kami biarkan tanpa mengomentari penulis ataupun tokohnya, karena kisah-kisah ini adalah berita yang bisa dimanfaatkan ketika memberikan pemahaman tertentu, bila tidak maka dikembalikan pada kaidah yang telah tersebut diatas, bila sesuai maka itu termasuk hal luar biasa yang jarang terjadi, bila tidak maka kita biarkan dalam lingkaran tanda tanya. Kebajikan dan amalan-amalan orang-orang saleh tersebut merupakan tolak ukur pembeda antara kekasih Allah ataupun kekasih setan, juga pembeda antara karamah dan sihir, hal ini merupakan suratan hidup, sejak zaman Nabi hal ini telah terjadi, antara mukjizat seorang nabi dan ilusi para pengaku nabi seperti Musailamah, Al Aswad Al Ansi, Sajah dan lain-lain, disaat Al Quran turun dalam bentuk wahyu kepada Rasulullah SAW, Musailamah Al Kadzab menyatakan kebohongan Al Quran dan memlantunkan Al Quran lain dan menampakkan hal-hal luar biasa hasil ilusi dan tipu daya, meski begini Musailamah tetap memiliki banyak pengikut setia yang tidak habis meski Musailamah telah mati, Nabi Muhammad SAW juga memiliki para pengikut yang karamah mereka tidak terputus sepeninggal Nabi SAW dan mereka tetap ada dan setia , bahkan Allah memberikan keberkahan pada peninggalan-peninggalan mereka, hal ini cocok dengan firman Allah SWT dalam surat Al Kauthar:
ÅäÇ ÃÚØíäÇß ÇáßæËÑ() ÝÕá áÑÈß æ ÇÍÑ () Åä ÔÇäÃß åæ ÇáÃÈÊÑ
Sesungguhnya kami telah berikan kepada kamu nikmat yang banyak, maka salatlah untuk Tuhanmu dan sembelihlah hewan Kurban, sesungguhnya orang yang membencimu dialah orang yang terputus (dari kebaikan).
Batasan celaan dan ungkapan pengabur
Orang-orang tasawwuf dituduh kurang ajar terhadap Allah SWT sebab narasi dan bait-bait syair mereka yang banyak menuturkan ungkapan-ungkapan yang tak beretika, hal ini dibuktikan oleh ungkapan-ungkapan yang dituturkan oleh Ibnu Al Faridl, Ibn Arabi, dan Hallaj, dari sini mereka memukul rata semua yang dilakukan oleh madrasah Tasawwuf adalah rusak, bagaiamanapun dan apapun bentuknya, terutama di era ini dimana kitab-kitab dan selebaran-selebaran tuduhan itu banyak ditulis dan disebarkan dan dibagikan dari negri ke negri.
Kami katakan dalam penulisan biografi ini kami tidak akan mengomentari dasar yang dibangun diatasnya madrasah Hadhramaut, madrasah Al Faqih Al Muqaddam, namun dalam masalah ini sepertinya harus ada sedikit disinggung tentang hal itu, dan kami akan memaparkan eksistensi mederasi didalam tasawwuf sepanjang sejarah, sebab kemoderatan merupakan jembatan penemu antara dua kutub yaitu yang melebih-lebihkan mengenai madrasah tasawwuf dan yang mengurang-nguranginya, ucapan-ucapan yang tidak etis bukan hanya didapat didalam madrasah tasawwuf tapi lebih dari itu hal semacam ini juga ditemukan dalam ucapan ilmuwan-ilmuwan hadist dan ushul yang tak kalah bahaya disbanding dengan yang ada dalam tasawwuf.
Salafusaleh mengambil tindakan dalam menangani problem ini dengan logika dan hikmah, tidak serta merta mengkafirkan pihak yang bersangkutan, diantara arahan para guru madrasah hadhramaut dalam masalah ini adalah nasihat yang dituturkan Al Imam Al Haddad kepada sebagaian muridnya:
Jangan sampai kau sibukkan pikiranmu dengan apa yang dilakukan oleh Syekh Ibnu Arabi dan yang semisalnya, karena hal itu adalah mukjizat, sebagaian orang mungkin terjebak pada pendakwaan hal-hal yang tidak mereka lakukan kepada mereka, ikutlah methode Al Imam Al Ghazali dan orang-orang semisalnya dengan paham tasawwuf, fiqih, dan keilmiannya karena inilah ilmu syariat, dan makna tersurat dari Al Quran dan Al Sunnah, dimana dengan berpegang teguh kepadanya kamu akan mendapatkan keselamatan dan kemenangan, dan hindari selainnya karena hal itu bisa membingungkan orang lain.
Syekh Abdullah bin Ahmad Ba Saudan mengatakan dalam kitab Al Faydlu Al Asrar : Syekh Ahmad bin Abdul Qadir AL HIfdhi Al 'Ujaily bertanya kepada Saiyyid Ahmad bin Alawi Jamalu Al Lail tentang kitab Al Fusus karangan ibnu Arabi, lantas dijawab : pendapat saya jangan mendalami ilmu isyarat-isyarat tersebut, dan jangan menghabiskan waktu untuk memahami kalimat-kalimat didalamnya, sebab seorang penuntut ilmu tidak boleh memecah konsentrasinya untuk selain hal yang mendekatkannya ke garis ihsan, kode-kode dan isyarat-isyarat tersebut tidak bisa bermanfaat bagi tiap orang sama sekali, jika dikatakan hal itu terjadi dikalangan umat ini, kita tidak bisa mengatakan dari mana dan bagaimana hal itu terjadi pada lisan mereka, bagaimanapun juga jika orang yang oleh Allah ditakdirkan lisannya mengatakan hal-hal diatas termasuk orang yang berpendirian maka di tidak akan pernah menghirukannya kapan pun juga, sebab orang-orang yang arif billah (sangat dekat dengan Allah hingga seakan-akan dia mengetahui Allah) sering kali di bayang-bayangi gambaran-gambaran yang menjadikan mereka hidup dalam kehidupan yang sempurna, tapi sering kali juga mereka trgelincir dan terputus dari derajatnya sebab mengikuti gambaran-gambaran tersebut, maka perhatikan betul-betul habiskan waktu untuk melaksanakan wasiat Nabi Muhammad SAW untuk berdzikir, membaca AL Quran, berfikir tentang mahluk Allah, ibadah, khusyu', belajar mengajar, dan melaksanakan kesunahan sesuai dengan yang diajarkan oleh pemiliknya SAW dan para penerusnya.
Ada juga ulama dari madrasah Hadhramaut yang dituduh menyerukan ungkapan-ungkapan yang tidak etis tersebut, maka harus dilihat siapakah pengucapnya, bila muncul dari orang yang campur dan tidak karuan maka ucapan itu hasil ketidak karuannya dan bila orang muncul dari orang yang istiqamah consisten dalam ibadah, bila memang benar dia yang mengatakan maka kita interpretasikan kemakna lain yang bisa disandarkan ke kalimat tersebut.
Sayyid Ahmad Al Syatiri mengatakan dalam kitab Al Adwar mengenai berkembangnya tasawwuf di bumi Hadhramaut, dari sinilah berkembang hadhramaut setelah itu-setelah Al Faqih AL Muqaddam-tapi dengan wajah yang sopan, murni, jauh dari anti moderasi, dan jauh dari lepas dari syariat, meski begitu banyak juga figure-figur Hadhramaut yang ditengarai mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang keluar dari syariat, hal ini tidak diungkapkan dengan sengaja sebab kita tahu ketebalan iman dan keteladanan mereka, jika memang jelek tafsiran pernyataan-pernyataan tersebut maka patut dimaklumi sebab mereka mengungkapkannya dalam kondisi tidak sadar, hal ini lebih selamat ketimbang kita menuduh mereka dengan yang tidak semestinya.
Realita munculnya ungkapan-unkapan yang tidak etis bukanlah merupakan methode ataupun tuntunan yang termaktub dalam kamus para salafu saleh, hanya saja bila hal itu benar terjadi dari mereka itu semata-mata lepas dari control pribadinya, dan bukan merupakan karakter aslinya, dan kita tidak boleh dari sini mengambil kesimpulan tentang aqidah atau keyakinan dan keilmuanya serta cara hidup pilihannya, sebab sebagian para wali terkadang muncul dari mereka haal (perubahan kepribadian) sebab kemarahan, atau tantangan, atau kompetisi dengan musuh mereka atau lainnya. Atau sebab kegembiraan yang berlebih sebab rasa rindu kepada Allah yang merupakan efek taat dan ibadah yang sempurna sehingga dia terlontar dari lisannya kata atau kalimat yang secara dhohir meragukan dan bila didalami maknanya akan menyebabkan keanehan, bila kondisi ini terjadi seharusnya para murud tidak boleh menyebarkan kata-kata tersebut dikalangan teman-teman atao musuhnya karena menganggap kalimat atau kata tersebut istimewa dan memiliki makna khusus, seharusnya hal semacam ini jangan disebarkan dan tidak usah ditulis sebab hal ini menurut ahli thariqat tidak dianggap suatu keutamaan sama sekali bahkan menurut orang-orang yang berpendirian bukan merupakan tujuan ataupun target sama sekali.