Sebagian Murid Syekh Abdullah Ba Alawi
Sebagian muridnya adalah:
1. Tiga orang putranya; Ali, Muhammad dan Ahmad.
2. Keponakannya, Muhammad Muladawilah.
3. Sepupunya: Abu Bakar dan Alawi bin Ahmad.
4. Sayyid Muhammad bin Alawi.
5. Syekh Abdullah bin Al Faqih Ahmad bin Abdul Rahman.
6. Syekh Ali bin Silim.
7. Syekh Fadhal bin Muhammad Ba Fadhal.
8. Syekh Abdullah bin Al Faqih Fadhal.
9. Syekh Muhammad bin Ali Ba Syuaib Al Anshari.
10. Syekh Muhammad bin Al Khatib.
11. Syekh Muhammad bin Abi Bakar Ba Abbad.
12. Syekh Muhammad bin Ali Ba Syu'aib Al Anshari.
13. Syekh Muhammad bin Khatib.
14. Syekh Ahmad bin Ali Al Khatib.
15. Syekh Abdul Rahman bin Muhammad Al Khatib.
16. Syekh Umar Bawazir (dimakamkan di Al Ghail Al Asfal).
17. Syekh Khalil bin Umar bin Maimun peduduk Ahwar.
18. Syekh Maflah bin Abdullah bin Fahad.
19. Syekh Bahmaran (dimakamkan di Maifa'ah, ia bukan Bahmaran murid Al Faqih Al Muqaddam)
Mengatur Waktu
Disebutkan dalam Kitab Al Musyari' Al Rawi, “Di antara kebiasaannya, keluar masjid untuk shalat witir dan membaca Al Qur'an sampai terbit Fajar. Kemudian beri'tikaf, membaca Al Quran sampai terbit matahari. Lalu pulang ke rumah sebentar dan kembali lagi ke masjid untuk menyampaikan pelajaran sampai saat qailulah (tidur siang menjelang Dhuhur sampai waktu Dhuhur). Beliau ber-qailulah di rumah, lalu kembali ke masjid untuk Shalat Dhuhur. Setelah itu, kembali lagi ke rumah untuk muthala'ah sampai datang waktu Ashar. Kemudian Syekh Abdullah Ba Alawi melaksanakan Shalat Ashar bersama masyarakat dan duduk di masjid sampai datang waktu Maghrib. Setelah Shalat Maghrib, ia membaca Al Quran sampai Isya. Baru kemudian ia kembali ke rumahnya.
Di Bulan Ramadhan, ia berada di masjid sampai waktu Shalat Tarawih tiba. Setelah shalat tarawih, ia shalat dua rakaat. Saat shalat dua rakaat itu, ia menghatamkan Al Quran. Lantas Syekh Abdullah Ba Alawi pulang ke rumah dan sahur, kemudian kembali lagi ke masjid sampai waktu Dhuha tiba. Setelah Shalat Dhuha, ia pulang ke rumah untuk ber-qailulah sampai datang waktu Dhuhur. Setelah itu, ia kembali lagi ke masjid, Shalat Dhuhur berjamaah, lalu memberikan pelajaran sampai Ashar. Setelah itu ia berzikir.
Syekh Mauladawilah mensifati gurunya ini, “Aku belum mendapati orang seperti pamanku Abdullah, baik ketika aku di sini ataupun ketika aku berpergian.” Menurut Syekh Abdul Rahman al Segaf, “Semua ‘arifin (tingkatan di mana seseorang diberi kemampuan untuk merasakan kehadiran Allah) sepakat bahwa Syekh Abdullah Ba Alawi adalah sisa para mujtahid.”
Karamah Syekh Abdullah Ba Alawi
Karamah para wali adalah hal yang tidak dipungkiri kecuali oleh pembangkang atau orang zindiq. Al Quran dan Al Sunnah membenarkan terjadinya hal ini dari para kekasih Allah SWT.
Hanya saja generasi zaman ini menentang adanya karamah karena dua hal: Pertama, sebagian kisah tentang karamah diriwayatkan dalam bentuk yang tak logis, bahkan sebagian disebutkan keluar dari garis syariat. Hal ini mengundanng reflek dan respon negatif dari luar.
Kedua, metode belajar dewasa ini, baik agama maupun umum, diarahkan untuk menutup pendalaman segi spiritual dan condong menilai jelek dan menginkari ajaran ini, dengan cara mencampuradukkan antara karamah wali dan ilusi orang fasiq dan munafik. Termasuk juga mencampuradukkan dengan hal-hal luar biasa hasil sihir dan mantera.
Analisa ini menjadikan banyak pihak, dalam menyikapi fenomena karamah para wali, dengan menvonis puluhan wali dengan tuduhan tak beralasan. Bahkan oleh pihak yang menerima terjadinya karamah dari sahabat, tabi'in dan sebagian wali, sekira karamah mereka jika disebutkan, tidak menimbulkan reaksi berlebihan. Kita tidak akan mendoktrin orang untuk mempercayai karamah seorang wali tertentu, sebagaimana kita tidak membela cerita-cerita tambahan dari sebagian orang dalam meriwayatkan karamah wali tersebut, hal ini berandil besar dalam merusak figur tersebut. Kita akan berusaha seobyektif mungkin dalam bersikap dengan dasar kesaksian yang dituliskan oleh orang-orang terpercaya yang hidup di masa wali tersebut.
Karamah terjadi sebagai hasil ketaatan dan perjuangan melawan hawa nafsu. Islam tak menafiikan terjadinya karamah, dengan syarat-syarat tertentu. Namun jika keluar dari syariat dan lepas dari logika, maka harus diteliti tentang siapa pembawa berita tersebut. Ditelusuri pula tentang amanah penulis dan keberadaan cerita tersebut di buku lain. Perlu juga dikaji gaya penyampaian cerita yang digunakan di masa itu. Kita tidak meniru cara sebagian aliran yang mencoret dari daftar keislaman, puluhan bahkan ratusan orang saleh sebab ucapan yang kabur dan prilaku yang mencurigakan. Sebab memvonis seseorang bahwa ia keluar dari agama tidak dimiliki siapapun. Demikian juga pem-blacklist-an semua pengikut tasawwuf. Sebab dalam aliran ini terdapat orang semacam Ibnu Arabi dan Ibnu Faridl.
Sebagai contoh, Al Idrus dikatakan memiliki hak untuk mengatur alam; Syekh Abdullah Ba Alawi dapat memberi syafaat pada orang-orang yang memintanya padanya saat dihisab malaikat. Dan banyak lagi cerita yang mencoreng kharisma hamba-hamba Allah yang zuhud tersebut. Pencorengan nama ini tidak akan merubah atau menenggelamkan kebenaran. Bahkan justru akan menampakkan kekeliruan orang-orang yang melebih-lebihkan ataupun juga yang mengurang-ngurangi.
Di antara Karamah Syekh Abdullah Ba Alawi
Disebutkan dalam Kitab Al Musyarri' (hal 188), “Suatu saat Syekh melarang seseorang yang tinggal di Makkah untuk meminum khamer (minuman keras). Orang tersebut berkata, “Aku seorang penjahit dan khamer ini membantuku menjalani profesi ini.” Syekh Abdullah Ba Alawi berkata, “Jika Allah memberimu solusi lain apakah kamu berjanji tidak akan meminumnya lagi?” Orang itu menjawab, “Iya, aku mau.” Lantas Syekh Abdullah Ba Alawi berdoa agar Allah menerima taubatnya dan melepaskannya dari kebiasaan tersebut. Orang itu lalu bertaubat dan memperbaiki kondisinya.
Syekh Abdullah Ba Alawi meminta janji dari orang itu dan agar ia mempertahankannya selama tiga hari. Suatu malam, Syekh Abdullah Ba Alawi bermimpi ada orang yang berkata, “Galilah liang lahat untuk si fulan. Barang siapa menshalatinya akan diampuni dosanya oleh Allah.” Lantas beliau bangun dan menanyakan perihal si fulan tadi, ternyata ia telah meninggal dunia. Syekh Abdullah Ba Alawi lalu menshalatinya.
Dari kisah ini, tidak ada yang perlu dikritisi. Hanya mungkin sebagian orang bertanya-tanya tentang kalimat "Barang siapa menshalatinya, Allah akan mengampuni dosanya." Kalimat ini adalah kalimat yang didengar dalam mimpi, bukan ayat Al Quran atau hadits Nabi SAW hingga bisa dijadikan dasar hukum. Inti cerita tersebut mengkisahkan tentang kesalehan orang tadi. Adapun pengampunan dosa dalam mimpi ini, secara takwil mimpi, menunjukkan keridlaan Allah atas mendiang. Lalu apakah Allah SWT benar-benar akan mengampuni dosanya atau tidak? Hal itu kembali kepada-Nya semata.
Karamah Syekh Abdullah Ba Alawi yang lain, dikisahkan, suatu hari seseorang menyitir syair tentang hari pembangkitan dan hari perhitungan (hisab). Saat itu Syekh Abdullah Ba Alawi datang dan turut mendengarkannya, lalu beliau pingsan. Setelah sadar, Syekh Abdullah Ba Alawi meminta orang tersebut mengulangi bait-bait tadi. Orang itu menolak kecuali dengan imbalan “Minta imbalan apa?” tanya Syekh Abdullah Ba Alawi. Dijawab, “Sorga.” Syekh berkata, “Itu bukan urusanku. Mintalah uang seberapa yang kamu mau.” Orang itu tetap meminta sorga. Lalu Syekh Abdullah Ba Alawi berpikir, “Jika memang diberi ya diterima.” Ia lalu mendoakannya agar Allah memberinya sorga. Sesuai riwayat, orang tersebut semakin membaik perilakunya, lalu meninggal dunia.
Syekh Abdullah Ba Alawi ikut dalam penyelenggaraan jenazahnya dan turut menguburkannya. Lalu beliau duduk di kubur orang tersebut beberapa saat. Tak lama, mimik wajahnya berubah dan kemudian tertawa. Ketika ditanya, Syekh Abdullah Ba Alawi menjawab, bahwa orang itu saat ditanya dua malaikat tentang siapa Tuhannya? Ia mengatakan guruku Syekh Abdullah Ba Alawi. Kedua malaikat bertanya lagi dan dijawab dengan hal yang sama. Sampai akhirnya keduanya mengatakan, ‘Selamat datang untukmu, juga untuk untuk gurumu Syekh Abdullah Ba Alawi.’
Cerita ini banyak digunakan para penulis untuk memvonis kerusakan aqidah Ahlul Bait di Hadhramaut, dengan dalih Syekh Abdullah Ba Alawi memproklamirkan diri sebagai perantara agar bisa diterima dalam pertanyaan di alam barzakh. Padahal hal itu tidak pernah dilakukan seorang nabi pun ataupun malaikat. Menurut kami, cerita ini bukan ukuran apakah orang tadi diterima ataukah tidak. Tapi bila kita mau jeli, dan jika cerita ini memang sesuai kenyataan sebagaimana yang diriwayatkan, maka di dalamnya tidak terdapat penyimpangan sama sekali. Kami berpendapat demikian, karena setelah dianalisa, dengan menghadapkan cerita ini dengan akal, logika dan dengan landasan kita mempercayai terjadinya karamah para wali.
Beberapa hal yang mengganjal di benak sebagian orang dari cerita ini adalah:
1. Jaminan surga. Tidak seorang pun memilikinya kecuali para nabi dengan perintah Allah SWT. Boleh jadi sebagian penentang memasukkan hal ini seperti yang ada dalam ideologi kaum kristiani yang mengatakan adanya tanda jaminan pengampunan.
2. Pengetahuan Syekh Ba Alawi akan apa yang terjadi di alam barzakh, sedang dia berada di dunia.
3. Cerita pengarang yang menunjukkan bahwa Syekh menjaga muridnya walau murid tersebut telah meninggal dunia.
Kami katakan, “Dalam cerita tersebut tidak disinggung sama sekali perihal jaminan surga, yang ada dalam teks tentang karamah adalah sebagai berikut: Pertama, Syekh Ba Alawi mengatakan "Itu bukan urusanku, tapi mintalah uang seberapa yang kamu mau." Dengan jelas ia menafikan haknya untuk memberikan jaminan. Ini cukup dijadikan jawaban bagi para penentang.
Kedua, ketika orang tersebut bersikeras minta surga, Syekh Ba Alawi tidak mengatakan dengan pasti, tapi kalimat yang ia gunakan, "Jika memang diberi ya diterima.” Ia lalu mendoakannya agar Allah memberikannya sorga. Dari sini kita bisa melihat tingginya sopan santun syekh terhadap Allah SWT. Dan hal tersebut tergantung pada kehendak Allah.
Adapun pemahaman bahwa Syekh mengetahui apa yang terjadi di alam barzakh, hal ini bisa dikembalikan pada dua sisi: Pertama, pengetahuannya ini termasuk kategori kasyaf. Dan hal ini bukan sesuatu yang mustahil dari para wali, sekalipun orang-orang di zaman ini susah menerima dan meyakininya. Tapi fakta dan banyak dalil menunjukkan, ini bisa terjadi dari orang-orang saleh. Bukan maksud kami membuktikan bahwa kejadian itu memang betul terjadi, tapi dalam rangka untuk membela kehormatan penulis biografi tersebut dari vonis kekafiran.
Diriwayatkan dalam suatu hadits, seseorang berniat untuk mendirikan tenda dan ketika hendak memasang pasak mendengar dari dalam bumi suara Al Quran dilantunkan. Lantas hal itu disampaikan pada Rasulullah SAW. Beliau mengatakan, “Dia dulu membacanya di dunia dan sekarang dihidangkan di kuburnya.” Dalil ini merupakan jawaban bagi orang yang menafikan pendengaran hal ghaib.
Kedua, teks cerita mengatakan terjadinya pengetahuan Syekh tanpa menyebutkan caranya. Yang logis untuk cerita ini, syekh saat itu tertidur sejenak dan bermimpi tentang kondisi orang tadi. Ia lalu menceritakan apa yang dilihat dalam mimpinya. Hal ini dapat disimpulkan dari kalimat, “Lalu ia duduk di kubur orang tersebut beberapa saat." Dan terjadinya mimpi seperti ini bukan mustahil.
Yang mendorong kami untuk menempatkan cerita seperti ini pada logika adalah rasa sayang kami kepada pemeluk kalimat Laa Ilaha Ila Allah yang dilanda kebingungan dan kerancuan yang menyeret mereka untuk tidak sopan terhadap orang-orang yang dekat dengan Allah SWT oleh para penulis zaman ini.