Sejarah Keturunan Bani Jadid
Sebagaimana telah disebutkan dalam biografi Imam Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bahwa Imam Ubaidillah hijrah bersama ayahandanya, istri dan putranya (Ismail) dan kemudian dikenal dengan nama Bashri. Hijrah pertama mereka ke Hijaz, kemudian ke Hadhramaut.
Di Hadhramaut Imam Ubaidilllah bin Ahmad dikenal sebagai seorang alim yang menjadi rujukan para ulama. Apalagi sepulangnya dari Makkah dengan membawa segudang ilmu pengetahuan. Sepeninggal ayahandanya, Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir pada tahun 345 H, Imam Ubaidillah memilih pindah dari kampung asalnya, Al-Husaysa ke kampung Sumal. Di tempat tinggal yang baru, Imam Ubaidillah membeli tanah untuk tempat tinggal dan perkebunan. Sedangkan harta benda yang berada di kampung asalnya ia hibahkan pada pembantunya, Ja’far bin Makhdam.
Setelah berdomisili di Sumal, Imam Ubaidillah mempersunting gadis setempat bernama Ummu Walad. Dari Ummu Walad inilah ia dikaruniai putra pertamanya yang dilahirkan di Hadhramaut. Putra Imam Ubaidillah ini diberi nama Jadid yang berarti baru. Disebutkan dalam Kitab Al-Masyra’ hal 31, “Nama Jadid itu sebagai isyarat bahwa ia adalah keturunan baru bagi Imam Ubaidillah setelah keluar dari Bashrah.”
Sayyid Jadid tumbuh besar dalam asuhan ayahanda serta kakaknya di kampung Sumal. Dalam usia masih belia, ia sudah hafal Al-qur’an. Selain mendapat pengajaran dari ayahanda dan kakaknya, Sayyid Jadid pun dengan tekunnya menimba ilmu dari para ulama di Hadhramaut. Setelah usianya menginjak dewasa, Sayyid Jadid pergi berkelana menimba ilmu kepada para ulama Negeri Yaman, Hijaz, Iraq, Ahsa dan Dzafar.
Dalam Al-Masyra’ hal 31 dikatakan, Imam Jadid adalah seorang alim yang mempunyai derajat tinggi, mempunyai sanad (silsilah periwayatan hadits) yang paling tinggi pada zamannya. Ia mewarisi ilmu ayahandanya serta kedua kakaknya. Imam Jadid menimba ilmu dari para ulama yang tak terhingga jumlahnya di Yaman, Haramain, Iraq, Ahsa, dan Dzafar.
Keluarga Imam Jadid Pindah ke Bait Jubair
Sepeninggal ayahandanya, Imam Ubaidillah bin Ahmad pada tahun 383 H, Imam Jadid bin Ubaidillah pindah ke kampung Bait Jubair yang terletak berdekatan dengan kota Tarim. Di tempat tinggal yang baru ini, Imam Jadid mempersunting gadis kampung setempat. Di situ pula ia menyebarkan dakwah serta mengajarkan ilmu syariah pada masyarakat setempat. Selain berdakwah dan mengajar di kampungnya, Imam Jadid juga sering menyempatkan diri berkunjung ke Tarim untuk menemui para ulama di sana untuk saling menimba ilmu pengetahuan.
Keturunan Imam Jadid Pindah ke Kota Tarim
Tidak jelas kapan keturunan Imam Jadid pindah ke Tarim. Namun ahli sejarah menyebutkan, setelah wafatnya Imam Jadid bin Ubaidillah, keturunannya berdomisili di Tarim. Dalam kitab Al-Masyra’ hal 31, disebutkan bahwa di Tarim terdapat suatu tempat yang biasa dipakai berkumpul oleh keturunan Imam Jadid. Tempat tersebut berada di masjid Bani Jadid yang dikenal dengan nama Masjid Brum. Hal yang sama disebutkan dalam Kitab Gurarul Baha Adhawi, mengutip dari kitab Al-Yaqut Atsamin.
Riwayat Hidup Sebagian Ulama Keturunan Imam Jadid
Penulis Kitab Al-Ghurar mengatakan, “Keturunan Imam Jadid sebagian besar adalah orang-orang terkenal dengan keilmuan, ketakwaan, zuhud serta wara’nya. Namun para ahli sejarah tidak menyebutkan biografi mereka, keculai tiga orang ulama ahli fiqh, yaitu:
1. Syekh Nuruddin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid
Riwayat Hidup
Syekh Nuruddin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam beberapa kitab sejarah seperti kitab karya Al-Jundy, Kitab At-Thabaqat, kitab Al-Masyra’, Kitab Al-Ghurar, Kitab Al-Iqdunnabawy. Ia dilahirkan di Hadhramaut dan meninggal dunia di Hadhramaut juga.
Syekh Nuruddin Ali sejak dini mendapat pendidikan agama dari ayahandanya serta para ulama lain di Hadhramaut. Setelah menginjak remaja, ia berkelana menimba ilmu pengetahuan dari para ulama di luar Hadhramaut. Pengembaraan Syekh Nuruddin dimulai dari wilayah utara Yaman hingga ke Haramain. Setelah sekian lama dengan tekun menimba ilmu pengetahuan dari para ulama di Makkah dan Madinah, Syekh Nuruddin meneruskan petualangannya dalam mencari ilmu. Kali ini negeri yang menjadi tujuannya adalah Iraq, kemudian India dan negeri-negeri lainnya.
Kembali ke Yaman
Setelah menjelajahi beberapa negara, Syekh Nuruddin kembali ke Yaman. Setibanya di Aden, ia kembali menimba ilmu dari Al Qadli Ibrahim bin Ahmad bin Maan Al Quraidzy. Ia mempelajari kitab karangan Al-Qadli sendiri yaitu Al-Mushtashfa min Sunani Al-Mustafa. Selain menimba ilmu dari Al-Qadli, Syekh Nuruddin juga belajar pada Syekh Mudafi bin Ahmad Al-Uyaini dan Al-Faqih Al-Khaulani di kota Al-Wajiz. Syekh Nuruddin menikah dengan putri gurunya, Syekh Mudafi’, dan kemudian menetap di kampung Dzi Duhaim.
Murid Syekh Nuruddin Ali
Di Dzi Duhaim, para pelajar berbondong-bondonglah menimba ilmu dari Syekh Nuruddin, terutama ilmu hadits. Di antara ulama yang menimba ilmu dari Syekh Nuruddin ketika ia tinggal di Dzi Duhaim adalah Syekh Al-Imam Muhammad bin Mas’ud As-Safaly, Al-Imam Abi Nashir Al-Himyari, Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Jundy, Al-Imam Hasan bin Rasyid dan Al-Imam Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Fasyly.
Tentang gurunya itu, Al-Fasyly berkata, “Abu Jadid (Syekh Nuruddin) adalah orang yang dipercaya dan ia termasuk penghafal hadits.”