Kembali ke Hadhramaut
Setelah beberapa tahun menetap di Dzi Duhaim, Syekh Nuruddin kembali ke kampung halamannya di Hadhramaut. Di kampung halamannya, ia giat menyebarkan ilmu hadits dan mentahqiqnya. Ssebagian kitab sejarah mengatakan, Syekh Nuruddin adalah orang pertama yang membuang (tidak menyebut) sanad hadits dalam meriwayatkan hadits agar lebih ringkas. Ide tersebut diterima secara baik oleh para ulama, hingga banyak ulama setelahnya mengikuti jejaknya tersebut.
Di antara hadits yang diriwayatkan dari Syekh Nuruddin adalah hadits Al-Khidir ‘alaihissalam, sebagaimana dinukil oleh Al-Hafiz Askhawy dalam kitabnya, Al-Maqashid Al-Hasanah.
Syekh Nuruddin Seorang Mujtahid
Dalam kitab Syarah Al-Ayinah dikatakan, jumlah ulama yang menjadi guru Syekh Nuruddin mencapi seribu ulama. Dengan wasilah para ulama tersebut, Syekh Nuruddin mencapai derajat mujtahid. Selain itu, ia juga mempunyai sanad yang tinggi, yang tidak dimiliki oleh ulama lain di zamannya.
Karya Cipta Syekh Nuruddin
Di antara hasil karya Syekh Nuruddin adalah kitab Takhrij Arbaina Haditsan fi Fadhailul A’mal. Selain itu, ia adalah orang yang mentahqiq Nasab Syarif, serta mensyahkannya. Hal tersebut disebutkan Syekh Ba Makhramah dalam kitab Qiladatunahri fi Wafayat A’yani Ad-Dahri. Ia berkata, “Ketika Imam Ahmad bin Isa tiba di Hadhramaut, penduduk daerah itu mengakui keutamaannya serta keturunannya. Tidak ada seorangpun yang mengingkari hal itu. Kemudian pada suatu waktu, keturunan Imam Ahmad bin Isa di Tarim Hadhramaut ingin memperkuat pengakuan mereka sebagai syarif (keturunan Rasulullah SAW) dengan menelusuri bukti-bukti. Pada waktu itu, di Tarim ada sekitar 300 orang Mufti. Maka untuk membuktikan hal tersebut, berangkatlah Imam Ali bin Muhammad bin Jadid ke Iraq dan di sana ia menetapkan silsilah keturunannya dengan disaksikan oleh sekitar 100 orang adil yang akan pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Setelah itu, ia juga menetapkan silsilah keturunan Imam Ahmad di Makkah dengan disaksikan oleh banyak orang Hadhramaut yang sedang melaksanakan ibadah haji.”
Kisah Syekh Nuruddin dengan Hakim Aden
Dikisahkan dalam kitab Qiladat an-Nahr, ketika Hakim Aden Al-Mas’ud bin Kamil menahan Syekh Mudafi’ bin Ahmad pada bulan Ramadlan 617 H, ikut ditahan pula menantunya Syekh Nuruddin Ali (Abi Jadid). Keduanya lalu ditahan di Benteng Taiz sampai akhir Rabiul Awal tahun 618 H. Kemudian dikembalikan ke Aden dan selanjutnya diasingkan ke India. Namun dalam perjalanan menuju India, perahu yang ditumpangi keduanya diterjang badai, hingga keduanya terdampar di Dhafar. Kehadiran dua orang ulama yang tidak disengaja tersebut disambut gembira oleh penduduk Dzafar, dan mereka meminta keduanya menetap di sana. Namun permintaan penduduk Dzafar tersebut ditolak secara halus oleh Syekh Mudafi’ dan ia berkata, “Aku ini adalah orang yang senang berkelana.”
Ketika badai reda, keduanya, dengan ditemani beberapa orang penduduk Dzafar, berlayar ke Dinawar. Di sana mereka tinggal selama dua bulan tiga hari, kemudian kembali lagi ke Dzafar.
Syekh Nuruddin Ali Meninggal Dunia
Tidak selang berapa lama setelah kembali dari Dinawar, tepatnya pada bulan Ramadlan tahun 618 H, Syekh Mudafi’ meninggal dunia. Sepeninggal sang mertua, Syekh Nuruddin kembali ke Yaman, namun ia merasa tidak betah di daerah pegunungan. Maka kemudian ia pindah ke Tihamah, kemudian ke Mahjam dan menetap di Kampung Al-Marjaf wilayah Surdad selama beberapa waktu. Ia mengajar dan berdakwah di wilayah itu. Kemudian ia pergi ke Makkah dan meninggal di sana pada tahun 626 H.
Kisah Wafatnya Syekh Nuruddin Versi Kitab Al-Iqdun An-Nabawi
Pengarang Kitab Al-Iqdu An-Nabawi menjelaskan secara gamblang perjalanan Syekh Nuruddin hingga kewafatannya di kota Makkah. Dalam kitab tersebut penulis mengatakan, “Syarif Abu Jadid (panggilan Syekh Nuruddin) kembali ke Yaman dan menetap sementara waktu di Tihamah, kemudian Zabid dan Mahjam. Ia mengajarkan ilmu Syariah serta menyebarkan dakwah di sana. Selain itu, ia juga belajar kepada Al-Faqih Al-Kabir Ashalih Muhammad bin Ismail Al-Hadhrami. Ia kemudian pergi ke Makkah dan kembali lagi ke Yaman. Dan untuk kedua kalinya, ia pergi lagi ke Makkah dan menetap di sana hingga wafat pada tahun 620 H.
Kedudukan Syekh Nuruddin di Makkah
Di kota Makkah, Syekh Nuruddin Ali dikenal sebagai orang alim terutama dalam ilmu hadits, di samping masyhur pula dengan kewaliannya.
Harapan Penduduk Hadhramaut Agar Syekh Nuruddin Kembali ke Hadhramaut
Kepergian Syekh Nuruddin yang lama meninggalkan tanah kelahirannya Hadhramaut, membuat penduduk Hadhramaut merasa kehilangan. Mereka berharap Syekh yang terkenal dengan keilmuan, arif dan bijak tersebut sudi kembali ke Hadhramaut. Kembali mengucurkan siraman ilmunya pada para penduduk dan pelajar yang haus ilmu pengetahuan.
Kerinduan para penduduk Hadhramaut tersebut diungkapkan Syekh Al-Allamah Muhammad bin Ahmad bin Abilhub At-Tarimi dalam suratnya pada Syekh Nuruddin Ali yang menggambarkan kerinduan para penduduk Hadhramuat atas kehadiran kembali Syekh Nuruddin di antara mereka.