Dilaksanakan Tradisi keber-agama-an yang unik di Tarim
Hadhramaut adalah sebuah propinsi yang kaya akan kebudayaan. Sepertinya adagium tersebut tidaklah berlebihan mengingat banyaknya peninggalan aset budaya yang terdapat di Hadhramaut seperti Qoshr ( Istana ) Al Katsiri, Al kaff, dan beberapa Qoshr lainnya. Adagium tersebut juga terbukti dengan keragamam tradisi yang merupakan by-produc ( hasil ) dari dialog kreatif yang dilakukan oleh para Ulama' Salafussholih dengan tradisi setempat sehingga melahirkan bentuk keberagamaan yang unik dan tidak keluar dari koridor Syariah Islamiyyah .Dalam bulan Dzulhijjah misalnya, bertepatan dengan bulan yang terdapat beberapa banyak dalil baik dari alquran dan Assunnah tentang keutamaan sepuluh hari terhitung dari permulaan bulan tersebut, penduduk kota Tareem, - salah satu kota budaya di wilayah Provinsi Hadhramaut - melakukan puasa Sunnah yang merupakan menifestasi dari Taqorrub kepada Allah SWT. Disamping rutinitas puasa yang lazim dilakukan banyak kaum Muslimin di bulan Dzulhijjah tersebut, warga Tareem memiliki serangkaian tradisi yang cukup unik dan berbeda dari sekian budaya kaum Muslimin kebanyakan dalam menyambut Hari Raya Idul Adha.
Rangkaian tradisi yang sampai sekarang masih bertahan dilakukan oleh penduduk Kota Tareem, Provinsi Hadhramaut tersebut dimualai dari tanggal tujuh Dzulhijjah yang oleh warga setempat dinamakan Mathla'ul Khathob. Entah bagaimana asal-muasal istilah ini di pakai, yang pasti pada hari tersebut para penduduk berkumpul membentuk kelompok-kelompok tanpa memandang usia. Kelompok-kelompok tersebut dipimpin oleh ketua yang dipilih masing-masing kelompok yang bertugas mengumpulkan iuran yang telah di sepakati anggota dan mengatur lancarnya acara. Setelah semua perlengkapan sudah siap, sore hari setelah Sholat Ashar, mereka berkelompok mulai berbondonng-bondong menuju tempat yang telah disepakati bersama. Ada yang memilih mendaki bukit dan menyelenggarakan acaranya di puncak, ada yang ke kebun kurma, dan ada juga yang hanya memilih berkumpul merayakan malam itu di rumah. Setelah sampai pada tujuan masing-masing, mereka segera memulai acara yang telah direncanakan. Misalnya menabuh alat-alat musik tradisional dan menari Samar. Setelah cukup lama bernyanyi dan menari Samar, acara dilanjutkan dengan makan malam bersama. Selesai makan, acara dilanjutkan dengan acara saling bertukar syair dan cerita sampai hampir tengah malam dan kemudian mereka kembali ke rumah masing-masing setelah acara ditutup.
Pagi harinya, bertepatan pada tanggal 8 Dzulhijjah, penduduk Tareem sengaja berlibur dari aktivitas keseharian mereka untuk menghibur anak-anak. Oleh penduduk setempat, hari tersebut disebut dengan Ied Al-Shoghirin yang artinya hari raya anak-anak. Pada hari tersebut kebanyakan penduduk menyembelih kambing. Hal itu sengaja mereka lakukan untuk membahagiakan anak-anak hingga hari tersebut dinamai Ied Al Shoghirin, di mana anak-anak pada hari tersebut bergembira dengan makanan penuh daging. Malam Harinya, penduduk setempat menyebutnya dengan Lailah Haya' al-Shoghir atau malam untuk anak-anak. Pada malam tersebut, para orang tua membagikan manisan dan beberapa makanan kecil untuk membahagiakan anak-anaknya. Acara tersebut berlangsung sampai waktu sahur, dan di tutup dengan sahur bersama untuk berpusa hari Arafah di pagi harinya, dan dilanjutkan dengan acara membaca Maulid Nabi secara bersamaan setelah jama'ah Subuh di Masjid Al-Muhdlor.
Rangkaian tradisi untuk menyambut Idul Adha yang tidak kalah unik dari serangkain kegiatan sebelumnya adalah kegiatan yang dilaksanakan pada sore tanggal 9 Dzulhijjah yang merupakan acara puncak. Acara tersebut adalah Dzikir Jamma'iy ( Dzikir bersama) yang di ikuti ribuan warga, baik warga kota setempat atau pendatang. Acara tersebut Dilaksanakan di Halaman sebelah barat Masjid Habib Husain Maula Kheila.
Tidak seperti kebanyakan Dzikir Jamma'iy, tradisi yang yang di sebut At-Ta'rif ( dalam Kitab Sunan Bayhaqi 5/117 No.9260 di jelaskan bahwa yang pertama kali memberikan istilah At-Ta'rif adalah Ibnu Abbas ) ini merupakan salah satu tradisi keagamaan yang unik. Hal itu disebabkan karena ritus Dzikir Jamma'iy tersebut dimaksudkan untuk menyerupai Jama'ah Haji yang sedang melakukan Ibadah Wuquf di padang Arafah. Dalam ritus Dzikir Jamma'iy tersebut, jama'ah membaca beberapa doa secara bersamaan, antara lain adalah Doa bulan Dzilhijjah 10 kali, di lanjutkan dengan membaca Shalawat dengan shighot husus sebanyak 10 kali. Setelah itu, di ikuti pembacaan do'a yang di tulis oleh Sayyid Ali Zainal Abidin oleh salah satu tokoh Ulama'.
Setelah pembacaan do'a, acara di lanjutkan dengan Mauidloh Hasanah yang di sampaikan Oleh Ulama' setempat yang dipandang paling Alim. Setelah acara mauidloh yang biasanya disampaikan dengan singkat tersebut, secara bersamaan panitia mulai membagikan kurma dan air putih untuk berbuka puasa yang diiringi dengan bacaan Ya Arhamarrohimin dari jama'ah Dzikir. Setelah waktu berbuka tiba, Adzan maghrib dikumandangkan. Sesuai tradisi yang diwarisi secara turun temurun, yang berhak mengumandangkan adzan adalah Muaddzin dari Qobilah Baghorib. Kemudian di lanjutkan Sholat Maghrib yang dilakukan dengan berjamaah. Setelah itu Jamaah bersama-sama mengumandangkan Takbir. Setelah pembacaan Takbir bersama, Imam kemudian membaca Doa yang kemudian di susul Rotib yang juga di bacakan Muaddzin dari Qobilah Baghorib dan disusul kemudian pemberitahuan waktu di selenggarakannya Sholat Ied bersama keesokan harinya di Jabanah.
Beberpapa tradisi keberagamaan yang unik tersebut selain merupakan media reaktualisasi ubudiyah warga setempat, juga merupakan kejeniusan para Ulama' Salaf dalam men-subordinasi-kan sebuah tradisi lokal dalam bentuk ritus ibadah yang mengajak warga untuk senantiasa Dzikrullah, dan mensyukuri nikmat-nikmatNya. Hal tersebut tidak lain menunjukkan pemahaman yang mendalam terhadap esensi agama dan kearifan dalam perumusan methode da'wah Islam dari Salafussholih yang harus kita teladani sebagai bekal menuju Muslim Kaffah. Wallahu A'lam