Faris Khoirul Anam, alumni Universitas al-Ahgaff Yaman 2004 menulis
buku tentang jurnalistik dilihat dari sudut pandang fikih. Buku yang
diterbitkan oleh Pustaka al-Kautsar Jakarta pada bulan April 2009 itu
berjudul Fikih Jurnalistik – Etika dan Kebebasan Pers Menurut Islam.
Faris yang juga menjadi kontributor di Indonesia untuk situs ini mengungkapkan, buku setebal 180 halaman itu disajikan untuk memberi kesempatan pada praktisi dan pemerhati pers untuk melihat dunianya dari jendela fikih. Intinya, mantan Pemimpin Redaksi Majalah An-Nadwa milik pelajar dan mahasiswa Indonesia se-Yaman ini mengajak mereka untuk “mengaji”. Dia memilah bab, pembahasan, kajian, dalam literatur-literatur agama Islam, kemudian memilih poin-poin yang berhubungan dengan proses-proses kerja jurnalistik, untuk dapat dikaji oleh pekerja jurnalistik, juga oleh masyarakat umum yang selama ini “terkungkung” dalam kepungan media massa.
Berbagai komentar dari praktisi dan pemerhati pers muncul mengenai buku ini. Pendiri dan aktivis Lembaga Konsumen Media (Media Watch) Sirikit Syah menyebutkan bahwa bahasan tentang berbagai aturan dan etika media dalam Fikih Jurnalistik ini menarik karena mengambil sudut pandang berbeda, dan baru pertamakalinya digunakan oleh pengamat dan penulis media massa. Menurut mantan wartawati RCTI itu, berbagai contoh yang disajikan, dari isu pornografi hingga ghibah, kabar bohong, dan amplop wartawan, membuat buku ini terasa berpijak ke bumi, karena hal-hal itu dihadapi dan dialami sehari-hari oleh para praktisi pers.
“Penulis sekaligus membuktikan melalui buku ini, bahwa Islam adalah pedoman yang lengkap untuk profesi apapun dan di zaman apapun,” ujar wanita berjilbab ini memberikan penilaian.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya Prof Dr Moh Ali Aziz, M.Ag menilai buku ini unik, karena jurnalistik dan fikih sebagai dua disiplin keilmuan yang terlihat berjauhan, dapat dijodohkan di dalamnya. “Pemahaman penulisnya tentang syari’ah dan pengalamannya sebagai jurnalis menjadi modal buku ini,” ujar ustadz yang sering berdakwah di Hongkong itu.
Buku yang diberi kata pengantar oleh Ketua Komisi Informatika dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat H.M. Said Budairy ini juga mendapatkan penilaian dari mantan wartawan Tempo, Muhammad Baharun. Menurutnya, buku ini pada intinya bermakud menjelaskan bahwa nilai-nilai universal seperti kejujuran (dalam konteks ini kejujuran dalam menyajikan fakta-fakta berbagai perstiwa oleh wartawan) adalah selaras dengan ajaran Islam. “Melalui ini penulis juga sekaligus mengkritisi praktik pers umum yang bebas nilai dalam menjalankan kebebasan pers yang tidak jarang merugikan pihak lain,” ujar mantan fungsionaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu.
Wakil Katib Syuriah PWNU dan Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim KH Abdurrahman Navis menyatakan bahwa kajian ini merupakan upaya terpuji dari seorang yang memahami, sekaligus pelaku, agar karya jurnalistik sesuai dengan tuntunan Allah.
Sedangkan Pemimpin Redaksi Majalah al-Mujtama’ Hepi Andi Bastoni menyebutkan, buku ini tak hanya menjelaskan tentang pentingnya dakwah bil qalam bagi kaum Muslimin, tapi juga memberikan batasan mana yang ‘halal’ dan ‘haram’ dalam dunia jurnalistik. “Dalam kondisi dunia pers yang kini sering kehilangan kendali, buku ini layak jadi panduan,” tutur mantan Redaktur Pelaksana Majalah Sabili itu.
Terkait hal mendasar yang mendorong penulisan Fikih Jurnalistik, menurut penulisnya, adalah laju pers yang telah berkembang demikian pesat dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Dampak langsungnya, tergambar dalam fakta bahwa fenomena perkembangan pers ini mempunyai kekuatan dahsyat untuk mempengaruhi perubahan budaya dan etika masyarakat. Media massa, baik cetak maupun elektronik, punya kekuatan untuk mengendalikan jalan pikir, gaya hidup, keinginan, bahkan seluruh aktifitas manusia sepanjang hidupnya.